Nusantarakini.com, Jakarta – Kepulauan nusantara sarat dengan dinamika persaingan etnik. Setiap etnik memiliki sistem dan pelembagaan kekuasaan yang khas.
Dahulu, dua etnik besar pernah merajai kepulauan nusantara. Sriwijaya misalnya, merupakan kemaharajaan yang membentang luas hingga mencapai kawasan Vietnam. Kemaharajaan ini ditopang oleh etnik Melayu.
Hukum sejarah berlaku. Setiap kekuasaan akan mengalami pertumbuhan dan kemunduran. Saat Sriwijaya mundur, muncullah kemaharajaan Majapahit. Wilayahnya juga tidak kalah luasnya dengan Sriwijaya.
Kemahajaan Majapahit berpusat di Jawa Timur. Kekuasaannya ditopang oleh etnik Jawa. Antara etnik Jawa dan Melayu, memiliki karakteristiknya sendiri. Jawa, memiliki sifat yang tekun, pelan, namun sistematis. Sebaliknya Melayu, mengandung sifat menantang bahaya dan cenderung impulsif. Hanya saja, sejak periode penjajahan Eropa ke kawasan Melayu, sifat Melayu semacam itu, terkikis dan berganti menjadi pemurung dan kehilangan gairah hidup. Para pengamat yang sinis menggambarkan orang Melayu sebagai orang yang pemalas. Padahal bukan pemalas, yang benar adalah kehilangan gairah. Orang impulsif dan periang memang begitu. Kadang dia punya semangat berkobar-kobar, tapi jika dia dilanda kesedihan, dia akan lesu dan murung.
Kelesuan dan kemurungan Melayu hanyalah akibat kerajaan-kerajaan mereka ditaklukkan oleh Eropa.
Menurut William Thorn, di Kepulauan Nusantara, Jawa dan Melayulah etnik dominan. Kedua etnik ini umumnya menganut agama Islam.
Adapun Arab dan Cina merupakan etnik pendatang yang paling dominan di kepulauan. Arab, umumnya memainkan peranan dalam mengislamkan penduduk di nusantara. Banyak dari etnik Arab kawin dengan para bangsawan yang akhirnya memuluskan islamisasi penduduk.
Sedangkan etnik Cina tampaknya punya perhatian khusus untuk menguasai perdagangan. Hanya sedikit dari etnik Cina yang memiliki sasaran untuk mencinakan para penguasa. Mereka merasa cukup dengan diberikannya proteksi dan konsesi dalam perdagangan di Nusantara.
Dalam perjalanannya, baik Cina dan Arab, saling memberi pengaruh terhadap perjalanan ekonomi dan politik di kepulauan ini.
Setelah penjajah Eropa tiba dan berusaha merebut kekuasaan di Nusantara, mereka memisahkan Arab dan Cina dari pribumi. Bahkan selain diisolasi, juga dibenturkan dengan pribumi. Namun yang paling berhasil untuk dibenturkan adalah etnik Cina. Uniknya, antara etnik Cina dan Arab tidak pernah berbenturan secara rasial.
Pasalnya, ketika penjajah Eropa memisahkan-misahkan berdasarkan ras, Arab dan Cina merupakan kelompok yang diuntungkan. Yang menjadi target penindasan adalah pribumi. (sdf)