Nusantarakini.com, Jakarta – Berlainan dengan orang China, Arab dan pendatang asing dari Eropa di Indonesia, orang-orang Pribumi di Indonesia adalah orang-orang yang slow, peka dan suka menjauhi risiko. Sedapat mungkin mereka memilih mengalah demi menghadapi suatu konflik yang disulut oleh persaingan materi, kecuali sudah melewati batas psikologis mereka. Persaingan bukanlah hal yang menyenangkan bagi mereka.
Namun adakalanya orang-orang pribumi ini berubah drastis menjadi sangat ganas dan keras. Biasanya sifat seperti itu timbul setelah merasakan berkali-kali kepahitan dan kekecewaan yang ditimpakan kepada mereka. Gejala kejiwaan dan perilaku yang berubah drastis dari slow menjadi heavy inilah yang disebut amuk pribumi.
Ketika sifat ganas dan keras itu muncul, maka tak ada satu pun yang dapat meredamnya sampai pelampiasan mereka benar-benar berhasil ditumpahkan.
Di situlah kita mengerti apa yang disebut semboyan tijitibeh, mati siji mati kabeh, bumi hangus, perang semesta, mati berkalang tanah, rap mate, dan semboyan-semboyan mengerikan lainnya.
Ingat, semboyan-semboyan itu akan dengan ringan dilaksanakan orang pribumi ketika puncak kesabaran sudah tak tertahankan.
Namun uniknya, mereka akan dengan cepat melunak manakala musuhnya berinsiatif mengulurkan tangan untuk memohon maaf. Dan mereka benar-memaafkannya sekaligus melupakan apa yang baru saja mereka rasakan.
Sifat yang lembut inilah yang kerap digunakan orang Blanda di masa lalu untuk menipu dan menjerumuskan pribumi. Ingat bagaimana Diponegoro diperdaya.
Itu semua menjadi pelajaran berharga bagi kita bagaimana seharusnya memperlakukan secara terhormat kaum pribumi Indonesia. (sed)