Nusantarakini.com, Jakarta-
Strategi Desa Mengepung Kota VS Strategi Ketenangan Menanti Kebisingan
Oleh : Birgaldo Sinaga
Dunia mengenal Sun Tzu sebagai ahli strategi seni berperang. Sun Tzu hidup sekitar 2500 tahun lalu. Ia lahir di Tiongkok. Nasihat seni perangnya hingga kini selalu dijadikan referensi oleh para perwira militer dalam mengatur strategi perang.
Indonesia juga punya Jenderal A.H Nasution yang dikenal sebagai ahli perang gerilya. Nasution banyak belajar seni berperang dari Sun Tzu. Tidak heran Pak Nas begitu cakap dalam mengatur strategi perang gerilya.
Tentara Vietnam yang mengalahkan pasukan Amerika Serikat pada perang Vietnam banyak belajar dari buku Pokok Pokok Perang Gerilya karya Pak Nasution.
Dalam bukunya, Nasution menuliskan secara lengkap strategi perang gerilya, tantangan, hingga pemerintahan darurat gerilya. Buku ini diakui sebagai buku terbaik soal gerilya. Beberapa negara termasuk Amerika Serikat ikut-ikutan mempelajarinya.
Buku itu mengajarkan inti perang gerilya. Intinya bagaimana yang tidak punya kekuatan, senjata dan lemah bisa menghancurkan kekuatan yang kuat dan memiliki persenjataan lengkap.
Ilmu perang gerilya mengadopsi strategi perang ala Mao Zedong. Mao Zedong menciptakan teori perang yang terkenal yakni strategi Desa Mengepung Kota saat merebut Beijing. Kuasai desa, buat kekacauan hingga kota melemah lalu setelah melemah serang dan kuasai kota itu.
Nah menarik memperhatikan pola gerakan perpolitikan nasional akhir akhir ini. Apa yang kita lihat dari peristiwa politik yang terjadi di Indonesia beberapa minggu terakhir ini bisa kita analisa sebagai penerapan strategi Desa Mengepung Kota atau DMK. Merebut Ibukota dari desa.
Taktik DMK terbaca ketika mobilisasi pergerakan massa pendemo FPI bergerak serentak di banyak kota-kota kecil Indonesia. Kota yang jauh dari Ibu Kota Jakarta sebagai tempat terjadinya perebutan kekuasaan Jakarta 1 .
Kota kota kecil seperti Tapsel, Malang, Pekanbaru, Bandung, Makassar, Tangerang, Bekasi, Banten dlsb diorganisir untuk melakukan aksi demo menuntut agar Ahok ditangkap. Sementara lucunya warga ibukota Jakarta cuek cuek bebek. Acuh.
Sejak pertengahan Oktober lalu, strategi DMK ini sepertinya bakal sukses menjegal Ahok. Aksi demo perdana FPI dan genk pada pertengahan Oktober lalu cukup kuat menggoyang Ahok. Aksi demo pertama itu memanaskan suhu politik. Ahok terpojok. Jokowi simalakama.
Aksi demo Jilid 2 sebagai lanjutan aksi demo Jilid 1 dirancang. Kali ini aksi demo tangkap Ahok secara sporadis semakin gencar terjadi di banyak daerah luar Jakarta. Mereka bergerak dengan satu isu Tangkap Ahok. Tujuannya jelas, Ahok kena diskualifikasi. Siapa yang diuntungkan jika Ahok kena diskualifikasi?
Setelah daerah daerah luar Jakarta panas, FPI lalu membuat rencana demo besar besaran bakal menurunkan massa sekitar 200 ribu orang. Targetnya malah meningkat. Duduki istana negara. Jatuhkan Presiden Jokowi. DMK akan masuk Ibukota dan menguasai.
Tentu gerakan Aksi Demo besar besaran pada 4 November itu bikin panas politik nasional. Tidak sedikit tokoh publik ketar ketir atas tensi panas pilkada DKI ini. Medsos menjadi pertempuran paling keras. Silih berganti serangan provokasi.
Rasanya Jakarta bakal jatuh jika Ahok tidak ditangkap dengan segera. Anehnya tuntutan demo pertama mereka agar Polri memproses hukum sudah dilaksanakan. Tapi mengapa masih demo lagi??
Isu yang digoreng malah sudah melebar macam macam. Dari tekanan proses hukum, lalu Presiden Jokowi diseret seret sebagai pihak yang dituding membela Ahok. Dituduh melindungi Ahok karena hingga 30 Oktober tidak bersuara. Diam.
Presiden Jokowi sadar bahwa strategi lawan DMK sejatinya sedang mengepungnya. Kecerdasan dan ketenangan Jokowi diuji lagi. Ini tidak main main. Salah langkah bisa celaka. Salah bicara bisa rontok.
Jokowi sadar ketenangan dan tidak mudah terpancing harus dikuasainya. Salah sedikit bakal jadi serangan balik buatnya. Ia tahu ini bukan saja menyerang Ahok tapi akan menyerang dirinya juga. Ahok hanya sasaran antara saja.
Strategi DMK itu menggetarkan dan menakutkan. Pergerakan DMK dengan tenang dianalisis oleh Jokowi. Jokowi sadar gerakan DMK pasti membutuhkan pendanaan dan pengorganisasian yang matang.
Tidak mungkin orang awam mampu melaksanakan aksi demo sporadis di banyak tempat dengan agenda tangkap Ahok. Apalagi demo itu butuh duit puluhan milyar. Siapa pihak yang sanggup mendanainya jika bukan orang yang ingin meraih keuntungan berlipat kali ganda?
Tapi siapa aktor intelektualnya? Tidak mudah mengatakannya ke publik. Ini bukan operasi saber pungli. Ini pasti permainan politik tingkat tinggi. Ini pasti operasi senyap dan tersembunyi.
Disinilah kecerdikan dan kecerdasan Jokowi terlihat. Jokowi tidak langsung menembak lawannya. Jokowi menggunakan ilmu perang Sun Tzu lainnya yakni:
“Gunakan keteraturan untuk menantikan kekacauan. Gunakan ketenangan untuk menantikan kebisingan. Inilah yang dimaksud dengan mengatur hati dan pikiran”.
Strategi pemikir asal Tiongkok beradu. Lawan menggunakan strategi Mao Zedong Desa Mengepung Kota, Jokowi memakai strategi Sun Tzu.
Ibarat dua sniper profesional sedang saling mengintai. Jokowi menang bukan karena jago dan berpengalaman menembak, namun karena lebih tenang, sabar, cerdik dan cermat.
Lawan akhirnya termakan umpan Jokowi. Lawan mengira Jokowi sudah tidak berkutik karena mati langkah, bakal kena hantam pada 4 November.
Saat publik bingung, empat hari menjelang aksi demo, tak ada hujan tak ada angin tiba tiba Presiden Jokowi muncul menemui Prabowo Subianto. Jokowi menemui Prabowo di kediamannya Hambalang, Bogor, Jabar.
Saat bertemu, keduanya rileks, santai dan penuh kehangatan. Prabowo memberi topi koboi sebagai cindera mata. Prabowo lalu mengajak Jokowi naik kuda bersama.
Dorrr… Lawan Jokowi kena tembak tidak langsung. Pertemuan keduanya bak bom berkekuatan tinggi menghantam lawan Jokowi. Tepat ke ulu hati. Makjlebbb.
Siapakah lawan itu?
Tadinya publik mengira pihak Anies Sandi. Prabowo Subianto. Buni Yani relawan Anies adalah orang pertama yang mengedit dan melempar postingan pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Ternyata banyak yang kecolongan.
Secara eksplisit verbal Jokowi tidak pernah menyebut nama siapa. Bahkan di rumah Prabowo keduanya tidak ada menyinggung sama sekali siapa pendana aksi demo itu. Mereka hanya ketawa-ketiwi sambil bercanda tentang kuda yang happy ditunggangi Jokowi karena badan Jokowi yang ringan.
Anehnya, bagai disambar geledek, kemarin siang Pak Mantan melakukan konferensi pers menyikapi adanya tudingan bahwa dirinyalah yang disebut sebagai pendana untuk aksi demo 4 November.
Pak Mantan marah besar. Wajahnya benar benar menunjukkan kegeraman. Pak Mantan tidak terima akan berita desas desus yang marak di medsos bahwa seolah olah dirinyalah pihak yang mendanai aksi demo 4 November. Pak Mantan meradang. Pak Mantan tidak terima. Pak Mantan merasa difitnah.
Banyak orang terperanjat sikap Pak Mantan yang over reaktif ini. Pengamat menilai kegeraman Pak Mantan menyikapi pertemuan Jokowi dan Prabowo sebagai over reaktif dan blunder.
Itu artinya Pak Mantan mengkorfimasi desas desus di medsos hanya karena publik membaca pertemuan Jokowi dengan Prabowo. Publik jadi semakin percaya ternyata ada orang menunggangi aksi demo 4 November untuk kepentingan sendiri meski Pak Mantan membantahnya.
Narasi, deskripsi dan intonasi ucapan Pak Mantan dengan mudah dibaca publik sebagai caranya membela diri. Padahal satu kalimatpun tidak ada dikatakan Jokowi tentang siapa pendana aksi demo. Mengapa Pak Mantan baper? Mengapa Pak Mantan yang merasa?
Apa yang terjadi di arus dalam samudra perpolitikan nasional akhirnya muncul ke permukaan. Kita menjadi tahu siapa sesungguhnya dan apa motiv demo politik tanggal 4 November mendatang. Siapa yang mendapat manfaat dan keuntungan.
Jokowi menggunakan nasihat Sun Tzu dengan cerdik. Para pemain di balik layar selalu bergerak dengan rapi tanpa pernah ketahuan. Jokowi memukul sarang lawan. Jokowi mengisolasi radius zona terbang lawannya. Jokowi mengcluster musuh musuhnya. Akhirnya keluarlah barang itu.
Menghadapi para sniper politik yang jago kamuflase caranya hanya dengan kesabaran tingkat maha dewa. Sabar, tenang dan mau mengulur waktu, buying time. Mengulur waktu lebih panjang lalu buat mereka ribut sendiri agar mereka keluar dari sarangnya.
Buat mereka membuka baju pelindungnya. Paksa mereka membuka perisainya masing masing. Tampaklah apa dan siapa di balik perisai itu. Kita tercengang. Mengerikan. Selama ini kita seperti merasa di laut tenang, padahal di bawah begitu keras arus perebutan kekuasaan.
Sekarang, strategi DMK ambruk total ketika rencana mereka terbongkar. Mereka tanpa sadar sudah masuk jebakan yang dirancang mereka sendiri. Mereka keluar dari persembunyian untuk membela diri sekuat tenaga.
Tidak ada kamuflase lagi. Mereka menelanjangi dirinya masing masing. Mereka sudah keluar dari sarangnya. (*mc)