Nusantarakini.com, Jakarta-
Wahai Big Boss, Sampai Kapan Anda Melindunginya?
Ahok Bahayakan Persatuan NKRI
Oleh Edward Marthens
“Asyik dong koh, temen-temen sudah pada konsolidasi Februari 2017 buat menangin Ahok,” kata saya, kepada seorang pedagang elektronik di Glodok, Jakarta Barat.
“Asyik apaan. Kalo dia dateng ke sini, kita bakal gebukin rame-rame,” ujarnya dengan nada gusar.
“Kok?” tanya saya lagi.
“Kelakuan dan mulutnya itu, bikin suasana ga aman. Banyak orang marah sama dia. Eh, lama-lama orang marahnya merembet ke etnis Cina. Kalau sampai kejadian kayak 1998, gimana? Dia sih enak, orang kaya gampang kabur ke luar negeri. Nah kita yang di sini? Bisa jadi korban bakar-bakaran lagi,” paparnya dengan nada kian tinggi.
Yang di atas itu cuplikan dialog singkat saat saya menemani teman membeli barang elektronik di Glodog, Jakbar, pekan silam. Dalam dialog tersebut, memang nyata sekali kekesalan, bahkan kemarahan, para pedagang Glodok yang sebagian besar beretnis Cina. Seperti kata pedagang tadi, mereka benar-benar khawatir perilaku Basuki bakal memicu kerusuhan etnis seperti yang pernah pecah pada 1998 silam.
Gubernur Petahana yang satu ini memang sudah teramat banyak menyakiti hati penduduk Jakarta. penggusuran brutal terhadap ratusan titik permukiman penduduk, sepertinya menjadi catatan paling hitam dalam hal kebengisan penguasa dalam sejarah negeri ini.
Selain itu, sihir media mainstreamtentang sok bersih dan sok lurusnya Basuki juga menjadi dagelan paling menyedihkan. Skandal RS Sumber Waras, pembelian lahan milik sendiri di Cengkareng, skandal bus Trans Jakarta, taman BMW, penunjukan langsung pengadaan ratusan bus Scania untuk armada Trans Jakarta, dan reklamasi pantai utara Jakarta adalah serenceng jejak kelam Basuki dalam hal korupsi.
Namun sampai sejauh ini, mantan Bupati Belitung Timur itu masih saja melenggang, tak tersentuh hukum. Dapat dipastikan ada tangan-tangan sakti mandraguna yang terus saja melindunginya. Entah siapa? Entah untuk kepentingan apa (dan siapa) ?
Aroma tangan penguasa nan sakti itu juga kembali begitu menyengat pada kasus penistaan al Quran yang lagi-lagi dilakukan Basuki. Ucapannya di Kepulauan Seribu yang mensitakan surat al Maidah ayat 51 dan menghina ulama benar-benar sudah keterlaluan. Laporan sudah bertubi-tubi disampaikan kepada Polisi. Aksi turun ke jalan ummat Islam juga sudah pecah, bukan hanya di Jakarta, tapi bisa dikatakan merata di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan berita yang sampai kepada kita pun menyebutkan, dunia internsional pun ikut tersulut. Kendati begitu, toh polisi seperti gorogi. Seperti ada tembok besar yang menghadang langkah mereka untuk memproses secara hukum.
Padahal, kalau saja polisi, dan khususnya penguasa pelindung Basuki, mau sedikit saja bersikap negarawan, mungkin kejadiannya bakal berbeda. Cobas saja perhatikan cara umat Islam yang mayoritas di Indonesia memperlakukan Ahok yang telah menghina al-Quran dan Ulama. Jutaan orang yang turun ke jalan hanya menuntut hukum ditegakkan. Kini coba bayangkan, jika yang terjadi adalah seorang muslim menghina kristen secara terbuka (seperti yang Ahok lakukan) di Amerika, misalnya. Hampir pasti pelakunya sudah dibunuh oleh kelompok-kelompok radikal dantransnationalizm di sana. Fakta inilah yang sudah sering terjadi di negeri-negeri yang konon disebut maestro demokrasi.
Unjuk rasa massif yang menyebar di seantero negeri menunjukkan betapa moral dan sikap toleransi umat Islam Indonesia sanga sangat tinggi. Jadi, jangan lagi kalian, orang-orang nonmuslim dan kaum munafik, meminta dan mengajari ummat Islam tentang toleransi.
Di sisi lain, coba perhatikan perilaku Ahoker terhadap tuntutan yang manusiawi yang penuh dengan nilai moral dan toleransi ini. Bukannya berinstropeksi diri, mereka malah menyerang umat Islam dan lembaga keagamaan. Para Ahokers itu meminta MUI mencabut pendapat keagamaan terkait pelecehan dan penghinaan yang dilakukan Basuki terhadap al Quran dan ulama. Mereka juga membuat petisi pembubaran MUI di media sosial. Bahkan mereka melancarkan fitnah pada para ulama dan meluncurkan kata-kata hinaan pada Islam sebagai agama.
Sadar atau tidak, para Ahoker sedang menyusun perpecahan negeri ini. Demi seorang Ahok, mereka berani berjudi dengan risiko yang amat besar, tercabik-cabiknya NKRI, terbakarnya kesatuan bangsa oleh amuk dan amarah.
Siapa sesungguhnya Ahok? Siapa sesungguhnya para Ahokers yang sepertinya punya loyalitas tinggi? Apakah mereka hanya para relawan yang mengais nasi bungkus semata? Atau mereka adalah pasukan yang memang sudah dipersiapkan? Berapa banyak sumber dana yang digelontorkan untuk keperluan ini? Siapa saja donaturnya? Kepentingan dan skenario apa yang tengah mereka mainkan?
Kepada para Ahokers, saya sarankan, kalian berhentilah sekarang! Berpikirlah rasional, bahwa ‘dewa’ yang kalian puja-puja itu memang sudah teramat banyak melakukan kesalahan besar. Dia memang sudah pantas dan harus dihukum! Terlalu besar risiko yang harus ditanggung negeri ini jika kalian terus saja bermain-main seperti itu.
Dan kepada anda, big boss yang selalu melindungi Basuki, cobalah bersikap sebagai negarawan. Tanyakan ke hati nurani anda (maksud saya, itu pun kalau anda masih punya), apakah anda rela mengorbankan keharmonisan NKRI hanya untuk membela seorang Basuki yang amat nista? Nista mulutnya, nista kelakuannya.
Relakah anda Indonesi akan tercabik-cabik oleh koflik horisontal hanya karena seorang Basuki? Dosa dan utang apakah anda kepada Basuki, sehingga anda harus mempertaruhkan seluruh negeri ini untuk membelanya? Ingat, pembelaan membabibuta yang anda berikan kepada Basuki itu, bisa membahayakan singgasana yang kini anda duduki.
Jika anda masih punya nurani, segera perintahkan polisi untuk memproses segala pelanggaran yang dilakukan Basuki, baik dari sisi korupsi maupun penistaan terhadap agama. Jika anda masih sayang pada negeri ini, segera lepaskan belenggu anda kepada KPK, agar lembaga antirasuah itu bisa bertindak secara profesional dan proporsional terhadap Basuki.
Kami tunggu sikap negarawan anda. Jang biarkan kemarahan rakyat membakar Indonesia yang kita sangat kita cintai ini… (*mc)
*Edward Marthens, pekerja sosial, tinggal di Jakarta