Nusantarakini.com, Jakarta-
Wajah pendidikan Indonesia kembali ditampar oleh kasus kriminalisasi mahasiswa, dengan dalih pencemaran nama baik universitas. Andriyan Rizky Saputra, salah satu mahasiswa STMIK Bumi Gora Mataram digugat oleh pihak kampus dengan tuduhan melanggar UU ITE, atas kritiknya terhadap praktik komersialisasi yang dilakukan oleh pihak kampus. Tanggal 27 September 2016, surat pemanggilan yang berpijak pada “Pasal Karet” 27 dan 28 UU No 11 tahun 2008 tentang ITE, pihak kampus kembali berencana mempidanakan 8 mahasiswa lainnya.
Situasi ini jelas merupakan tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia, yang menjunjung tinggi demokrasi kerakyatan. Berbekal UU ITE dan dalih penghinaan, pihak kampus telah menjelma menjadi institusi yang anti demokrasi dan menutup rapat ruang kekebasan beraspirasi bagi mahasiswa. Dengan ditutup rapatnya ruang demokratisasi kampus, menandakan sebuah kemunduran harkat dan martabat institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjunjung tinggi budaya kritis dan ilmiah.
Hal ini bisa menjadi barometer implementasi demokrasi di Indonesia, yang semakin mundur dan justru mengarah kepada penciptaan budaya bisu. Kebudayaan bisu, menurut Freire adalah ‘kondisi kultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidakberdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri’, sehingga “diam” nyaris dianggap sesuatu yang sakral, sikap yang sopan dan harus ditaati. Budaya bisu inilah titik awal kemunduran sebuah peradaban bangsa.
Muhamad Yassin, Ketua Cabang Senat Mahasiswa Indonesia (SMI) Mataram, menegaskan bahwa kasus kriminalisasi mahasiswa yang dialami mahasiswa STMIK Bumi Gora Mataram semakin menegaskan bahwa dalam lingkup universitas, mahasiswa dipandang sebagai warga kelas dua. Mahasiswa tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan maupun beraspirasi demi kemajuan institusi pendidikan tinggi. Inilah realitas umum di hampir seluruh kampus di Indonesia.
“Kami menuntut pencabutan kasus yang mengkriminalisasikan mahasiswa STMIK Bumi Gora Mataram, dan pemerintah beserta jajaran institusi yang menaungi pendidikan harus menjamin terciptanya demokratisasi di tingkat universitas,” kata Yassin.
Demokratisasi kampus bermakna penciptaan sebuah kondisi yang memungkinkan seluruh unsur di dalam universitas (mahasiswa, rektorat, tenaga pengajar, pegawai, dan pekerja) bisa memiliki hak yang sama dalam merumuskan kebijakan dan orientasi penyelenggaran pendidikan di universitas. Tanpa partisipasi dari mahasiswa, maka tidak akan terwujud demokratisasi kampus. Dan, jika tidak ada demokratisasi dalam kehidupan kampus, maka tujuan Universitas dipastikan hanya untuk melayani kepentingan segelintir orang dan industri kapitalis. Jelas ini mencederai harkat dan martabat institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjunjung budaya kritis, ilmiah dan demokratis.
Ketua Umum Serikat Mahasiswa Indonesia, Nuy Lestari mengungkapkan bahwa ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia, terutama di dunia pendidikan harus segera diselesaikan. Salah satu jalan keluarnya adalah mencabut UU yang semakin mempersempit demokrasi di Indonesia (salah satunya UU ITE) juga UU Pendidikan Tinggi no 12 tahun 2012 yang sarat pasal-pasal kapitalistik. Dalam UUD 1945 sudah menjelaskan bahwa pendidikan yang digagas oleh para founding father Republik Indonesia adalah pendidikan yang bermakna, kritis, bersemangat dan emansipatoris. Bukan malah mengamini gaya pendidikan tradisional yang mengarah kepada depolitisasi institusi pendidikan bahkan berujung pada kriminalisasi mahasiswa.
“Secara nasional Serikat Mahasiswa Indonesia menyerukan agar Demokratisasi Kampus segera dijamin pemerintah dan dipayungi undang-undang,” ucap Nuy. (*mc)