NusantaraKini.com, Jakarta — Suplai minyak bodong dari Glencore kepada PT Pertamina (Persero) kian menghebohkan. Betapa tidak, komposisi minyak mentah yang dipesan jauh melenceng dari spesifikasi seperti tertuang dalam kontrak.
Diketahui, minyak mentah tersebut rencananya akan dipasok sebanyak 4 kargo untuk kebutuhan kilang Pertamina. Yakni, minyak mentah “asing” sebanyak 600 ribu barel untuk kilang Balongan, dan minyak 600 ribu barel “Bonny Light” untuk kilang Balikpapan.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Reseources Indonesia. (CERI), Yusri Usman mengungkapkan, faktanya minyak yang didatangkan adalah minyak oplosan Sarir dengan Mesla sebanyak 1.2 juta barel dengan komposisi terbalik yang perbandingan seharusnya 70% Sarir dan 30% Mesla.
“Anehnya, ISC Pertamina baru menolak saat kedua kapal tanker MT Takiki dan MT Stavenger Blossom yang membawa minyak tersebut sudah merapat di pelabuhan di Dumai dan Balikpapan sekitar tanggal 19 September 2016,” kata Yusri dalam keterangannya, Rabu (28/9/2016).
Padahal kalau merujuk ” notifikasi Bill of Lading ” yang lebih awal diterima oleh ISC seharusnya sejak awal sebelum kapal bergerak dari Libya sudah bisa diperintahkan oleh ISC untuk dibatalkan dan tidak merugikan ISC Pertamina dgn mencari minyak mentah pengganti dipasar bebas dan bisa lebih mahal sekitar USD 1 perbarel.
“Diduga dengan komposisi yang terbalik antara minyak Sarir dengan minyak Mesla ada potensi selisih harganya sekitar USD 10 perbarel , sehingga kalau minyak oplosan itu diterima oleh Pertamina , maka ada potensi kerugian sebesar USD 120 juta,” ungkapnya.
Yusri melanjutkan, aksi penolakan ISC Pertamina itulah yang memancing kritik banyak pihak. Jika dikatakan pada awal proses pemilihan minyak oplosan Sarir dengan Mesla ini berdasarkan kajian Direktorat Pengolahan dengan menggunakan perangkat lunak linier program GRTMPS, diduga mengandung keanehan dan bertentangan dengan prinsip yang sudah baku dilakukan oleh ISC dengan cara Crude Oil Management System/COMS, yang melarang impor minyak mentah yang dicampur di kapal dan akan mengandung risiko aspek kualitas dan kuantitasnya. Karena percampuran minyak mentah dari berbagai sumber adalah merupakan tugas dan tanggung jawab kilang Pertamina yang dikenal dengan produk “coktail Crude”, dan digunakan komposisinya sebagai bahan baku kilang sesuai dengan program produk BBM yang akan diproduksi dan dengan mempertimbangkan kehandalan kilang Pertamina.
“Anehnya lagi, bahwa sesungguhnya minyak sarir ini sudah sangat lama tidak digunakan oleh kilang Pertamina. Awalnya dimulai pada akhir September 2006 sesuai surat Pertamina Nomor 2252/E20200/ 2006- SO tanggal 31 Agustus 2006 atas rekomendasi kilang dan temuan audit BPK RI bahwa mengolah minyak Sarir di kilang telah menghasilkan residu yang amat besar, sehingga untuk mengolah residu menjadi “Low Sulfur Waxy Residu” / LSWR dibutuhkan ADO (Automotive Diesel Oil ) yang lebih banyak dan harganya sangat tinggi. Dengan kata lain, minyak sarir dinilai tidak ekonomis,” bebernya.
Akan tetapi yang lebih aneh lagi, tidak berselang lama Dirut Pertamina saat itu, Arie Soemarno pada 18 Oktober 2006 telah mengeluarkan surat Nomor: 124/ COOOOO/2006- SO yang tidak sejalan dengan kondisi tersebut. Dalam surat tersebut, Pertamina malah menyatakan berminat tetap membeli minyak mentah Sarir dari NOC Libya melalui Pertamina EP Libya (PEPL) sejumlah 900.000 barel. Selanjutnya, tanpa alasan yang jelas untuk memenuhi kontrak term 2007 dengan Pertamina, pengadaan minyak mentah Sarir berikutnya dilakukan melalui Petral yang diduga pelaksanaan tendernya “ecek-ecek” , yang semuanya diborong oleh perusahaan Concord Energy Pte Ltd.
Bahkan, menurut temuan audit BPK akibat pembelian tidak secara langsung saat itu pada NOC Libya telah mengurangi pendapatan Pertamina saat itu tahun 2007 sejumlah USD 1.458.862 dan ini adalah bahasa halusnya dari “kerugian Negara”. Sayangnya, proses pembelian minyak Sarir terus berlanjut sampai dengan tahun 2008 dan semua proses tendernya diborong juga oleh Concord Energy secara terus menerus dan termasuk juga memborong semua pembelian minyak mentah “Champion” dari Brunei Shell Petroleum.
Padahal menurut “nota rahasia” Kepala Divisi Perencanaan dan ekonomi kilang kepada Direktur Pengolahan tanggal19 Oktober 2006, telah terjadi perbedaan kesimpulan dengan nota Kepala Dinas Perencanaan dan Pengadaan Direktorat Pengolahan. Anehnya pada akhir pemeriksaan 24 Desember 2008, Tim BPK RI yang meminta bukti surat tersebut, dijawab bahwa semua data tersebut tidak dapat diberikan oleh pihak Pertamina dengan alasan bahwa dokumentasi yang ada dalam komputer terkena “virus”. Dahsyat sekali alasannya.
ISC kemudian terbentuk pada 27 September 2008 oleh Dirut Pertamina Arie Soemarno dan untuk jabatan Senior Vice President dijabat Sudirman Said dan Vice President Daniel Purba. Setelah proses audit BPK RI bisa diatasi dan struktur ISC Pertamina sudah berjalan, maka perburuan minyak Sarir dimulai lagi dengan munculnya surat Managing Director Petral oleh Jhon Soemarmo dengan Nomor P/P-025/12/08 tgl 17 Desember 2008 yang ditujukan kepada Sudirman Said untuk memberitahukan bahwa Petral sudah mendapat kapal dengan jadwal tanggal 6-10 Januari 2009 untuk mengangkut minyak Sarir sebanyak 1.000.000 barel tujuan kilang Balikpapan dan aktifitas itu berlangsung sampai dengan Febuari 2009. Perburuan minyak Sarir ini sempat terhenti sejenak tatkala posisi Direktur Utama Pertamina diambil alih oleh Karen Agustiawan dari Arie Soemarno pada tanggal 5 Febuari 2009.
Akan tetapi dengan alasan memenuhi kontrak panjang dengan NOC Libya, kemudian Sudirman Said, Jhon Soemarmo, Daniel Purba, dan Edy Satrio serta konon kabarnya Arie Soemarno ikut juga dalam rombongan ke London dan rapat dgn petinggi NOC Libya pada 9 maret 2009 di Hotel Hilton Park Lane London. Kabarnya, Dirut Pertamina Karen Agustiawan telah memergoki pertemuan itu dan marah besar, dan tentu berakibat pada pertengahan Maret 2009 Sudirman Said dicopot jabatannya sebagai SVP ISC dan digantikan oleh Rusnaedy. Kemudian, secepatnya pada 2 April 2009, Rusnaedy sebagai SVP ISC yang baru dilantik telah membuat surat kepada NOC Libya untuk menghentikan suplainya dalam perjanjian yang sudah terlanjur ditandatangani pada tgl 9 Maret 2009 dengan alasan perspektif ekonomi.
Kalau merunut semua dokumen yang ada sejak 2006 sampai 2014, belum pernah terekam penggunaan minyak Mesla dalam pemakaian kilang Pertamina yang sudah dicampur dengan minyak Sarir pada kontrak suplai September 2016, yang ada adalah hanya minyak Sarir, Sharara, Es Sider, Brega, Amna, Sirtica dan Melitah dari blok migas Libya. Tetapi bisa jadi minyak Mesla ini diusulkan secara mendadak pada pertengahan tahun 2016. Sehingga kalau melihat kejadian minyak oplos Sarir dengan Mesla oleh Glencore ini seakan kita seperti diingatkan lagi pada kasus minyak Zatapi yang terjadi di tahun 2008 yang katanya datang dari langit, karena tidak bisa dibuktikan percampuran minyak dari lapangan mana sumbernya.
“Jadi, kalaulah kita mau sedikit merunut ke belakang, sejak 2004 sampai dengan sekarang dengan melihat pejabat-pejabat yang pernah duduk di Petral dan ISC, maka kasus “minyak bodong Glencore ” bisa menjadi biasa bagi pejabat Pertamina saat ini. Karena seperti hal mengulang kasus yang lama dengan orangnya ya itu.. itu.. juga sih. Hanya sedikit berganti kulit, termetamorfosa saja,” tutup Yusri.(naf)