Demokrasi Prosedural Versus Demokrasi Substantif

Nusantarakini.com, Jakarta –
Setiap kali kita mendengar kata demokrasi, pasti kita membayangkan sesuatu yang mutlak seperti di Amerika Serikat (AS). Padahal demokrasi itu bersifat universal, dan tidak sepatutnya hanya melihat di AS itulah demokrasi.
Sekarang mari kita membayangkan, ada satu negara yang hanya dalam waktu 40 tahun bisa mengangkat ratusan juta orang keluar dari kemiskinan. Bahkan menjadi raksasa ekonomi dunia yang sekaligus membuat Amerika kebakaran jenggot. Bagaimana nih ceritanya?
Kedengarannya kok seperti cerita fiksi ya, tapi faktanya benaran terjadi. Dan kita tahu itu adalah Negara Tiongkok.
Nah, sebenarnya bagaimana sih caranya sistem mereka bekerja, kok bisa jalan seefektif itu? Apakah mereka punya resep rahasia yang tidak bisa ditiru negara lain? Atau justru kita yang sering salah kaprah melihat sistem di sana? Nah, mari kita lihat pelan-pelan.
Sekarang kita mulai dari hal yang paling sering menjadi bahan debat politik di banyak negara Barat termasuk Amerika.
Politik itu harus ada kompetisi partai, siapa yang dapat suara terbanyak, dialah yang berkuasa. Tapi partai di sana biasanya hanya mewakili kelompok tertentu, jadi sifatnya hanya partisan.
Nah, di Tiongkok beda sekali. Partai Komunis di sana menyebut dirinya adalah partai untuk kepentingan holistik. Artinya mereka melihat dirinya bukan sebagai wakil dari satu kelompok saja, tapi mewakili keseluruhan bangsa. Kalau diibaratkan, mereka ingin menjadi benang merah yang menyatukan semua kepentingan.
Dan cara mereka menyiapkan pemimpin pun sangat unik. Kalau di Amerika orang bisa tiba-tiba mencalonkan diri menjadi presiden hanya dengan modal popularitas dan modal uang. Kalau di Tiongkok ini sesuatu yang mustahil. Karena mereka mempunyai sistem seleksi plus pemilihan. Seleksi itu tradisi Tiongkok kuno, semacam ujian birokrat, sejak ribuan tahun yang lalu dari satu dinasti ke dinasti lain.
Jadi untuk menjadi pejabat negara harus diuji dulu, dan untuk naik level yang lebih tinggi orang harus punya track record nyata. Pengalaman panjang, dari kompetensi yang terbukti, setelah itu baru ada elemen pemilihan yang mirip pengaruh Barat.
Coba deh kita bandingkan. Anggota puncak komite partai di Tiongkok umumnya sudah pernah menjadi pemimpin di provinsi dengan ratusan juta penduduk. Jadi mereka sudah teruji di lapangan. Jadi terbayang kan bedanya dengan sistem di Amerika? Yang mana seorang miliarder bisa langsung maju mencalonkan diri sebagai presiden.
Sekarang mari kita geser ke sisi ekonomi. Ini adalah bagian yang bikin orang luar sering bingung. Sistem ekonomi Tiongkok itu disebut ekonomi pasar sosialis. Kedengarannya kontradiktif. Kok bisa ya sosialisme sama pasar disatukan?
Jawabannya, sangat bisa. Negara tetap punya kendali atas sumber daya besar seperti tanah, energi, mineral sampai infrastruktur vital. Tapi dalam pemanfaatannya negara juga memberikan ruang fleksibel buat mekanisme pasar.
Nah ini contohnya: Internet dan E-commerce. Pemerintah membangun infrastruktur digital sampai ke pelosok desa. Bahkan dataran tinggi Tibet koneksi internetnya lebih kencang daripada pusat kota di Eropa.
Bayangkan saja, sektor swasta seperti Alibaba, Pinduoduo, WeChat dll memakai infrastruktur itu buat layanan kelas dunia. Hasilnya produk seperti TikTok, Tietie, Shana itu lahir bukan karena kebetulan, tapi karena kompetisi brutal di pasar domestik Tiongkok sendiri. Ribuan star up bersaing habis-habisan, yang gagal tenggelam, yang berhasil langsung bisa jadi global player.
Nah ini yang menarik di Tiongkok. Walaupun ada banyak miliader, tapi mereka tidak bisa seenaknya memakai uang untuk mengontrol politik. Beda sekali dengan Amerika, dimana lobi politik sama donasi kampanye dari orang kaya bisa menentukan arah kebijakan negara. Artinya walaupun ada ketimpangan kekayaan, kekuatan kapital tidak bisa mengontrol politik.
Sistem di Tiongkok mengusahakan ada keseimbangan antara tiga kekuatan besar, politik, sosial dan modal. Dan yang terpenting keseimbangannya diarahkan untuk mayoritas rakyat.
Coba bayangkan kalau di Amerika kekuasaan cenderung berat ke sebelah, yaitu kepada yang punya modal alias korporasi besar dan miliarder. Di Tiongkok justru sebaliknya, karena berusaha dijaga supaya tidak timpang.
Nah, ini bagian yang sering membuat orang luar salah paham adalah soal demokrasi. Karena kalau mendengar kata demokrasi, lalu yang dibayangkan pasti tentang pemilu bebas, multi partai, itu yang disebut demokrasi prosedural.
Di Tiongkok, mereka memakai konsep lain yang disebut demokrasi seluruh proses. Apa maksudnya?
Demokrasi bukan hanya menyoblos setiap 5 tahun sekali, tapi keterlibatan rakyat di sepanjang proses pengambilan kebijakan, pembuatan undang-undang sampai implementasinya.
Contoh nyata, waktu Tiongkok menyusun undang-undang tentang kekerasan dalam rumah tangga, draf awalnya hanya menyebut suami terhadap istri. Tapi setelah dikonsultasikan ke pusat dan diskusi masyarakat di banyak daerah, banyak yang memberikan masukan kalau kekerasan anak ke orang tua juga harus masuk.
Masukan itu akhirnya diterima dan dimasukkan ke versi final undang-undang. Jadi bukan cuma formalitas (diwakilkan) tapi benar-benar ada partisipasi.
Di luar sana, sistem ini sering tidak kelihatan, sehingga mudah dilabeli otoriter. Padahal dari dalam justru banyak lapisan rakyat ikut partisipasi yang tidak dimengerti oleh kaca mata Barat.
Jadi di sini sudah kelihatan kalau Tiongkok itu bukan sekadar otoriter seperti yang sering dicap media luar. Tepatnya sistem itu adalah kombinasi unik antara tradisi, budaya ribuan tahun dengan sosialisme modern dan fleksibilitas pasar.
Kunci mereka ada di keseimbangan. Politik tidak tunduk pada modal, dan masyarakat dilibatkan sepanjang proses. Negara berperan aktif dalam menyediakan fondasi pembangunan.
Sekarang kita geser ke level global. Karena bagaimanapun juga sistem ini tidak berdiri sendirian, ia bersaing, bernegosiasi, bahkan berkonflik dengan sistem lain. Terutama Amerika yang mempunyai kepentingan dengan senjata Demokrasi Liberal yang diekspor ke seantero dunia.
Nah terakhir muncul pertanyaan, apakah masa depan dunia akan tetap dikuasai satu kekuatan alias uni polar, atau justru berubah menjadi multi polar?
Dengan muncul berbagai kekuatan di berbagai kutub dan Tiongkok menjadi salah satunya. Inilah visi multipolaritas buat Tiongkok. Artinya Amerika Sang Preman tidak sebagai bos tunggal lagi. Yang mana ini bukan cuma tidak adil, tapi juga tidak realistis. [mc]
*Chen Yi Jing, Pemerhati Geopolitik, Ekonomi dan Sosial.
