Perang Dunia III dalam Bayangan?

Nusantarakini.com, Jakarta –
Kekuasaan Barat digambarkan Gideon Rachman, Kolumnis Financial Times, London, bahwa kekuatan militer Amerika Serikat merupakan fakta utama dalam politik internasional. Medan wilayah Asia Timur, Eropa, dan Timur Tengah.
Asia jadi kawasan untuk pengerahan Angkatan Laut, seolah kawasan Pasifik adalah “Danau Amerika.”
Sedangkan, Eropa adalah wilayah kawasan NATO, “Secara mengejutkan para anggotanya kini diwajibkan menaikkan anggaran 5%”. Selama ini Amerika mempengaruhi tiga perempat belanja militer NATO, tetapi selalu siap menjamin keutuhan wilayah negara anggotanya.”
Adapun Timur Tengah menjadi wilayah angkatan laut dan pangkalan udara Amerika Serikat “untuk menentramkan para sekutu dan mengitimidasi musuh.”
Rachman mengemukakan masalah tatanan dunia saat ini karena intervensi Rusia di Ukraina, sebelum juga di Suriah, juga karena Tiongkok mengubah status perairannya dari Danau Amerika menjadi “perairan sengketa.”
Dunia masih beruntung Tiongkok belum membuat Danau. Saat ini belum ada wilayah “Danau Tiongkok” baru. Kerjasamanya erat dengan sekutunya yang ingin menjadi “Greater Rusia.” Hubungan yang terjalin nampaknya sebagai persiapan awal bagi perang dunia III.
Perang Nuklir dan Kemanusiaan
Albert Einstein dengan kutipannya yang terkenal, “Saya tidak tahu dengan senjata apa Perang Dunia III akan diperangi, tetapi Perang Dunia IV akan diperangi dengan tongkat dan batu.”
Hal ini sering diartikan sebagai prediksi bahwa jika Perang Dunia III terjadi dan menggunakan senjata nuklir, dampaknya akan sangat menghancurkan sehingga peradaban manusia akan kembali ke kondisi primitif, di mana senjata yang digunakan adalah senjata sederhana seperti tongkat dan batu.
Bom atom merupakan penemuan terbesar dalam bidang fisika nuklir. Tapi Oppenheimer sepertinya menjadi ilmuwan pertama yang menyesali atas temuan terbesarnya.
Oppenheimer merasa berkat temuannya, manusia hanya akan terus saling menghancurkan satu sama lain.
Oppenheimer mengutip tulisan dari Bhagavad Gita “Now I Am Become Death, the Destroyer of World.”
Ia menganggap bahwa dirinya adalah kematian, pembawa kehancuran ke dunia.
Oppenheimer sendiri setuju dan akhirnya mulai menyuarakan pendapatnya atas isu ini. Ia menyesal pada penelitiannya dan ikut memprotes penggunaan bom atom untuk kebutuhan perang.
Akhirnya Oppenheimer mendapatkan penghargaan The Atom for Peace di akhir hidupnya.
Filsuf sekaligus Profesor Institut Teknologi Massachusetts (MIT), Noam Chomsky mengatakan dunia tengah di ambang jurang karena meningkatnya risiko perang nuklir, kegagalan untuk mengatasi tantangan lingkungan, dan berkurangnya kemampuan untuk mengatasi masalah secara rasional.
Chomsky menyebut dalam beberapa tahun terakhir Doomsday atau Jam Kiamat telah mendekati tengah malam, yang menandakan kepunahan umat manusia semakin dekat.
Menurutnya, isu utama umat manusia adalah ancaman yang meningkat dari perang nuklir dan ancaman perubahan iklim yang sangat parah dan terus meningkat.
Masalah perubahan iklim disebut berlanjut karena negara tidak melakukan apa yang mereka tahu harus dilakukan untuk menyelesaikan krisis tersebut.
Selain itu, merosotnya arena debat dan musyawarah serius yang rasional dan dikombinasikan dengan runtuhnya kekuatan demokrasi di seluruh dunia.
Sang profesor mengakui bahwa meskipun tampaknya poin ini tidak ada hubungannya dengan ancaman perang nuklir dan perubahan iklim debat rasional adalah satu-satunya harapan untuk menghadapi dua isu tersebut.
“Ketiganya menjadi jauh lebih buruk selama setahun terakhir, dan kecuali ada pembalikan yang tajam, kita hanya akan menuju jurang, jatuh, tidak dapat diubah, dan tidak dalam waktu yang lama,” kata Chomsky.
Pernyataan Chomsky muncul setelah mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev mengatakan mereka yang ingin melihat Moskow dikalahkan di Ukraina, mengabaikan fakta bahwa kehilangan tenaga nuklir dalam perang konvensional dapat memicu dimulainya perang nuklir.
Perang Dunia III Dimulai
Dunia diyakini tengah berada dalam bayang-bayang Perang Dunia III. Namun berbeda dari invasi konvensional seperti era Perang Dunia II, bentuk perang kali ini ljauh lebih tersembunyi dan menyebar.
Pandangan itu disampaikan oleh Dmitry Trenin, peneliti utama di Institut Ekonomi Dunia dan Hubungan Internasional Rusia, yang juga anggota Dewan Urusan Internasional Rusia (RIAC).
“Perang dunia telah dimulai. Hanya saja, tidak semua orang menyadarinya,” ujar Trenin dalam analisis terbarunya yang pertama kali diterbitkan oleh majalah Profile, pada Selasa (15/7/2025).
Trenin menilai bahwa fase praperang global bagi Rusia dimulai sejak 2014, bagi Tiongkok sejak 2017, dan bagi Iran sejak 2023.
Dalam pandangannya, sejak saat itu dunia telah memasuki babak konflik baru yang semakin intensif. Bentuknya bukan sekadar adu kekuatan militer, melainkan konflik menyeluruh yang mencakup sabotase ekonomi, agitasi sosial, serta destabilisasi internal negara-negara lawan.
Trenin juga menyoroti keterlibatan langsung negara-negara NATO, seperti Inggris dan Prancis, dalam serangan terhadap target Rusia melalui dukungan mereka kepada Ukraina. “Ukraina hanyalah alat. Brussels sedang mempersiapkan perang yang lebih luas,” katanya.
Ia menilai perang global ini dipicu oleh ketakutan Barat terhadap kebangkitan kekuatan baru seperti Rusia dan Tiongkok, yang dianggap sebagai ancaman terhadap dominasi geopolitik dan ideologi Barat.
“Ini bukan sekadar pertarungan geopolitik, ini adalah perang eksistensial bagi Barat. Globalisme tidak mentolerir alternatif,” ujarnya.
Trenin mendorong Rusia untuk tidak lagi bersikap defensif. Ia menekankan pentingnya mobilisasi nasional yang cerdas, penguatan sektor teknologi, ekonomi, hingga demografi, serta konsolidasi dengan mitra strategis seperti Belarus dan Korea Utara. Dalam analisisnya, kerapuhan dalam kesatuan Uni Eropa harus menjadi celah taktis bagi Rusia.
Ia juga menyebut bahwa kembalinya Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke Gedung Putih memberi ruang taktis untuk mengurangi tekanan militer AS terhadap Rusia, namun mengingatkan bahwa kebijakan luar negeri AS tetap pada dasarnya bersifat konfrontatif.
Dalam pernyataan yang lebih tajam, Trenin bahkan menyebut bahwa jika eskalasi tak dapat dihindari, maka Rusia harus siap melakukan serangan preemptif, termasuk dengan senjata nuklir jika diperlukan.
“Pencegahan harus aktif, Jika perlu, kita harus siap menggunakan cara khusus dengan kesadaran penuh akan konsekuensinya,” kata dia.
Menurutnya, kemenangan dalam konflik ini tidak diukur dari pendudukan wilayah, melainkan dari keberhasilan menggagalkan rencana musuh.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa perang saat ini mencakup seluruh lini: dari militer hingga narasi informasi.
“Waktu untuk ilusi telah berakhir. Kita berada dalam perang dunia. Satu-satunya jalan ke depan adalah melalui tindakan yang berani.”
Para ahli memperkirakan potensi konflik global pada tahun 2025. Ini didorong oleh ambisi Presiden Rusia Vladimir Putin untuk perluasan wilayah dan ketegangan geopolitik.
Meski Donald Trump kembali menjadi Presiden AS dan mengusulkan kesepakatan damai untuk perang Rusia dan Ukraina, para analis menilai ini bisa membuat Putin semakin agresif.
Profesor Anthony Glees dari Universitas Buckingham mengatakan bahwa ambisi jangka panjang Putin adalah untuk merebut kembali wilayah yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet.
Glees mengatakan bahwa Putin tidak akan puas dengan kesepakatan damai yang dipaksakan oleh Barat dan kemungkinan akan mengincar perluasan lebih lanjut, menargetkan negara-negara NATO pasca-1997.
“Pada tahun 2025, Putin akan memajukan rencana strategisnya untuk melemahkan dan memaksa negara-negara NATO pasca-1997, termasuk Polandia, Finlandia, dan negara-negara Baltik, untuk meninggalkan aliansi tersebut,” kata Glees dikutip dari Economic Times yang melansir Mirror, Senin (30/12/2024).
“Perampasan besar ini dapat memicu perang global,” tambahnya.
“Kesepakatan damai yang diusulkan Trump adalah gejala ketidakstabilan global,” kata Profesor John Strawson dari University of East London memperkirakan hal itu akan membawa dunia lebih dekat ke perang.
“Penurunan kerja sama internasional dan munculnya persaingan kekuatan besar merupakan tantangan terbesar bagi tatanan global sejak Perang Dunia II,” tambahnya.
Para ahli sepakat bahwa 2025 akan menjadi tahun yang sangat penting. Negara-negara Barat dikatakan harus bersiap untuk perang guna menghalangi ambisi Putin.
“Jika kita tidak bertindak tegas, Putin akan terus melemahkan Ukraina dan akhirnya memperluas jangkauannya ke seluruh Eropa,” kata Glees.
“Waktu terus berjalan… Tahun 2025 mungkin menandai dimulainya era baru konflik global,” tambah Strawson.
Pandangan Militer
Dunia saat ini berada makin dekat dengan ambang kehancuran. Hal itu dipicu perang nuklir antar negara.
Pernyataan itu disampaikan oleh Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat, Tulsi Gabbard.
Ia menyerukan kepada negara-negara pemilik senjata nuklir untuk menempuh jalan perlucutan senjata dan menghindari peningkatan ketegangan global.
Dalam sebuah video yang diunggah di platform X, Gabbard menceritakan kunjungannya baru-baru ini ke Kota Hiroshima, Jepang yang menjadi lokasi pertama dalam sejarah yang dijatuhi bom atom oleh AS pada tahun 1945.
Ia mengakui dampak mengerikan dari serangan nuklir tersebut terhadap umat manusia.
“Pengalaman ini akan terus membekas dalam diri saya. Hari ini, kita berada lebih dekat dari sebelumnya ke jurang kehancuran nuklir, sementara para elit politik dan penyulut perang dengan sembrono menebar ketakutan dan meningkatkan ketegangan antarnegara pemilik senjata nuklir,” kata Gabbard.
“Maka, saatnya kita, rakyat bersuara dan menuntut kegilaan ini berakhir. Kita harus menolak jalan menuju perang nuklir dan bekerja menuju dunia di mana tak seorang pun hidup dalam bayang-bayang bencana nuklir,” tegasnya.
Menurut perkiraan terbaru para peneliti nuklir, jumlah hulu ledak nuklir yang siap digunakan di seluruh dunia meningkat dari 9.583 pada tahun 2024 menjadi 9.615 pada 2025.
Sementara itu, total jumlah hulu ledak nuklir global kini mencapai 12.340 unit. Hingga Juni 2025, terdapat sembilan negara yang diketahui memiliki hulu ledak nuklir yang dapat digunakan yakni Rusia, Amerika Serikat, China, Prancis, Inggris, India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara.
Retorika perang nuklir antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia kembali memuncak. Terbaru, hal ini dipicu pernyataan Jenderal Angkatan Darat Amerika Serikat (AS), Christopher Donahue, tentang wilayah eksklave Rusia di Eropa, Kaliningrad.
Mengutip Newsweek, awalnya Jenderal Donahue mengatakan bahwa Kaliningrad, sebuah eksklave Rusia yang dikelilingi oleh Polandia dan Lituania, dikelilingi oleh anggota aliansi NATO, yang secara de facto dipimpin Washington. Ia menyoroti kemampuan aliansi tersebut dalam mengambil alih wilayah itu.
“NATO dapat menghancurkannya dalam jangka waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya dan lebih cepat daripada yang pernah kami lakukan.”
Pernyataan Donahue muncul saat ia membahas “Garis Penangkalan Sisi Timur,” dalam Forum LandEuro di Wiesbaden, Jerman. Forum ini membahas sebuah rencana untuk meningkatkan kemampuan berbasis darat di seluruh aliansi NATO di sisi Timur, yang berbatasan Rusia.
Trump Kirim Senjata Canggih, Rusia Siapkan Perang Nuklir
Ketegangan antara Rusia dan NATO kembali meningkat setelah juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menegaskan bahwa doktrin nuklir Rusia tetap berlaku menyusul pengumuman Presiden Amerika Serikat Donald Trump tentang pengiriman senjata canggih ke Ukraina.
Pernyataan Peskov disampaikan dalam konferensi pers pada Rabu (16/7/2025), hanya dua hari setelah Trump mengumumkan bahwa AS dan sekutu NATO akan memasok peralatan militer bernilai miliaran dolar ke Ukraina, termasuk rudal Patriot. Langkah ini memicu respons keras dari Moskwa, yang selama ini menuduh Barat terus memprovokasi konflik.
“Doktrin nuklir Rusia tetap berlaku, dan karena itu seluruh ketentuannya masih diterapkan,” kata Peskov kepada wartawan kantor berita milik negara Rusia, Tass.
Pernyataan itu merujuk pada kebijakan nuklir Rusia yang diperbarui oleh Presiden Vladimir Putin pada Desember 2024, yang menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir.
Doktrin tersebut menyebut bahwa serangan terhadap Rusia atau sekutunya oleh negara non-nuklir dengan dukungan negara nuklir akan dianggap sebagai agresi bersama, yang dapat dibalas dengan senjata nuklir.
Dalam konteks ini, dukungan militer langsung dari negara-negara NATO kepada Ukraina, termasuk Amerika Serikat, berpotensi memicu interpretasi agresi bersama menurut standar Rusia.
“Kami akan membuat senjata paling canggih, dan itu akan dikirim ke NATO,” ujar Trump dari Gedung Oval pada 14 Juli lalu.
Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte mengonfirmasi bahwa perjanjian tersebut mencakup pengiriman rudal, amunisi, dan sistem pertahanan udara, dengan beberapa persenjataan diambil dari stok yang sudah ada.
Salah satu komponen penting dari bantuan ini adalah sistem rudal Patriot, yang sangat dibutuhkan untuk mempertahankan Ukraina dari serangan udara.
Kami sudah mulai merealisasikan keputusan dari #NATO Summit dalam skala besar, meningkatkan pengeluaran, produksi, dan dukungan kepada Ukraina.
“Kebrutalan Rusia harus dihentikan-inisiatif baru ini akan membantu menciptakan perdamaian yang adil dan abadi,” tulis Rutte di platform X.
Trump sebelumnya juga mengultimatum Moskow dengan ancaman tarif yang “sangat berat” jika Rusia tidak menyepakati perdamaian dalam waktu 50 hari.
Di sisi lain, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan bahwa pihaknya tengah meninjau secara menyeluruh produksi senjata dalam negeri dan implementasi kontrak serta kerja sama pertahanan dengan mitra asing.
“Saya memimpin rapat sektor pertahanan hari ini: produksi senjata dalam negeri, kesepakatan dengan mitra, dan suplai untuk angkatan bersenjata Ukraina.”
“Kami mengidentifikasi langkah-langkah yang harus diambil dalam waktu dekat serta indikator kunci untuk mengukur efektivitas manajemen pertahanan pada akhir tahun ini. Harus ada lebih banyak senjata buatan Ukraina,” tulis Zelensky di X.
Adapun sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, hubungan Moskow dengan NATO terus memanas. Berbagai peringatan soal kemungkinan eskalasi nuklir berulang kali dilontarkan pejabat Rusia, sementara Barat semakin memperkuat dukungan militer untuk Kyiv.
Kaum Pasifis
Tolstoy secara luas dianggap sebagai salah seorang novelis yang terbesar, kisah pengalaman Napoleon dan Alexander I dalam Perang dan Damai dan Anna Karenina.
Di resimen artileri Tolstoy berpangkat letnan dua selama Perang Krimea.
Ia mengisahkan semua ini dalam bukunya Sketsa-sketsa Sevastapol.
Dalam bukunya roman pertamanya, Childhood. Sebagaimana kemudian diakuinya : “Aku tidak ingin menjadi seorang jenderal di angkatan darat, tetapi aku menjadi jenderal dalam sastra.”
Kita simak Bertrand Russell dan Albert Einsten lebih dari 70 tahun yang lalu, bahwa kita harus menghadapi pilihan yang “kejam, mengerikan, dan tak terelakkan; akankah kita mengakhiri sejarah umat manusia, atau dapatkah umat manusia menanggalkan jubah perangnya?” [mc]
*Jimmy H Siahaan, Akademisi dan Pengamat Geopolitik.
