Operasi Garis Dalam: Ketika Jalur Senyap Menjadi Jalan Menuju Kekuasaan

Nusantarakini.com, Jakarta –
Pengantar Seri Narasi Dunia Intelijen
Dalam seri narasi ini, kita akan menyelami dunia intelijen Indonesia melalui sudut pandang Kolonel TNI (Purn) Sri Radjasa Chandra, penulis “Intelijen Juga Manusia.” Kita mulai dari gambaran umum operasi pemalsuan dokumen negara, profil sang tokoh, hingga misteri kios Pasar Pramuka ala James Bond.
Kesaksian Kolonel Purnawirawan Sri Radjasa Chandra menghentak nurani bangsa: membongkar operasi garis dalam, jaringan pemalsuan ijazah, dan kebakaran jejak di Pasar Pramuka. Jika ini benar, kita tak hanya kehilangan kepercayaan, tapi juga harga diri bernegara.
“Operasi Garis Dalam: Ketika Jalur Senyap Menjadi Jalan Menuju Kekuasaan.”
Dalam negara yang menjunjung hukum dan demokrasi, legalitas adalah fondasi. Tapi bagaimana jika legalitas itu dipalsukan? Apa jadinya jika kertas bernama ijazah menjadi jembatan masuk ke pusat kekuasaan, bukan karena prestasi, tetapi karena rekayasa?
Inilah inti dari kesaksian mantan perwira intelijen, Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra. Ia bukan aktivis biasa. Ia tumbuh dalam sistem, bekerja dalam sunyi, menyaksikan wajah negara dari balik bayang—dan kini, ia bersuara.
Pasar Pramuka, yang selama ini dikenal sebagai pusat obat dan alat kesehatan, dalam kesaksian Sri Radjasa adalah titik simpul dari jaringan pemalsuan dokumen resmi paling canggih di Indonesia. Bukan hanya ijazah, tapi juga paspor, visa, KTP, bahkan dokumen tender proyek pemerintah. Di sinilah—kata beliau—dokumen-dokumen palsu dicetak, dan dengan akurasi menakjubkan: 90% menyerupai aslinya.
Dalam narasi ini, nama Paiman Raharjo disebut berulang. Seorang relawan Sedulur Jokowi yang disebut-sebut mengelola kios ketik skripsi dan dokumen palsu di Pasar Pramuka. Dari situ, ia disebut mendaki hingga duduk di kursi Wakil Menteri dan Komisaris BUMN. Bagi Sri Radjasa, ini bukan perjalanan biasa, tetapi bagian dari “operasi garis dalam”—istilah dalam dunia intelijen untuk menyebut infiltrasi ke jantung kekuasaan lawan.
Operasi garis dalam, menurutnya, bukan sekadar metafora. Ia menggambarkan bagaimana jaringan loyalis Jokowi masih menguasai kementerian, lembaga hukum, bahkan institusi intelijen, meskipun secara formal kekuasaan telah berganti ke tangan Prabowo. Dalam pandangannya, Prabowo memilih jalur elegan: tidak menurunkan penumpang di tengah jalan. Tapi kondektur—Kapolri dan Jaksa Agung yang baru—akan mengambil peran eksekusi.
Kebakaran misterius di Pasar Pramuka tahun 2024 menjadi momen kunci. Lebih dari 200 kios hangus. Pos pemadam hanya 1 km. Tapi tak ada upaya pemadaman serius. Dalam kacamata intelijen, ini bukan kebetulan. Ini adalah upaya pembersihan jejak, melenyapkan sumber-sumber bukti fisik.
Namun, yang paling menggugah dari kesaksian ini bukan tuduhannya, tetapi keyakinannya: bahwa “hanya bangkai dan tinja yang mengikuti arus.”
Sri Radjasa memilih melawan. Ia mempertaruhkan reputasi, keamanan, bahkan hidupnya, demi menyuarakan bahwa jika pemimpin bangsa ini naik ke tampuk kekuasaan dengan dokumen palsu, maka seluruh sendi keadilan dalam negara ini tercabik.
Tabayun kini menjadi keharusan nasional. Jika ijazah palsu tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara terbuka, maka kita sedang hidup dalam ilusi legalitas—negara yang disandera oleh kebohongan yang dipelihara, bukan ditegakkan.
Bukan hanya soal Jokowi. Ini tentang seberapa kuat republik ini menghadapi kebenaran. (Narasi ini disusun berdasar pemaparan Kol Purn Sri Radjasa Chandra dalam berbagai podcast dan wawancara TV -Amm-)
*Catatan Peristiwa oleh Agus M Maksum, Kolumnis.
*Sumber dan foto: Facebook Agus M Maksum.
