Sejarah

Raden Patah: Anak yang Berbakti, Sejarah yang Dikhianati

“Sejarah ditulis oleh mereka yang menang, tetapi kebenaran selalu mencari jalan untuk ditemukan.”

Nusantarakini.com, Jakarta –

Langit Demak senja itu berwarna merah, seolah-olah bumi hendak menumpahkan darah. Raden Patah berdiri tegak di serambi Masjid Agung, menghadap angin yang membawa bau laut dari utara. Ia baru saja menerima kabar: Majapahit berada di ambang kehancuran. Bukan karena dirinya, bukan karena pasukannya, tetapi karena Girindrawardhana telah merebut tahta dari ayahnya, Brawijaya V.

Betapa aneh, pikirnya. Selama bertahun-tahun, namanya dikutuk sebagai anak durhaka. Sebuah kisah yang dibisikan dari telinga ke telinga, dari mulut ke mulut, hingga menempel erat di hati orang-orang Jawa. Mereka berkata, Raden Patah memberontak, menumpahkan darah ayahnya sendiri, dan menukar kejayaan Majapahit dengan bendera hijau Islam. Namun, di balik kisah itu, ada sejarah yang tak pernah selesai dituliskan—sejarah yang dikhianati.

Mereka yang mengutuknya tak pernah bertanya: siapa yang pertama kali mengkhianati siapa?

Brawijaya V, ayah yang mereka sebut dizalimi, telah lama tahu bahwa Islam akan datang. Ia tak menolak, tapi juga tak bisa menerimanya sepenuh hati. Putri Cempo, istri yang dinikahinya, seorang Muslimah yang hanya bersedia dipersunting setelah ia mengucap dua kalimat syahadat. Tapi Islam di Istana Majapahit hanyalah angin sepoi yang dibiarkan bertiup di satu sisi, dan diabaikan di sisi lain.

Raden Patah tumbuh dalam persimpangan dua dunia: darah Hindu di keraton, tetapi iman Islam mengalir dalam jiwanya. Ia dibesarkan dengan dua warisan, tetapi hanya boleh memilih satu.

Saat Demak mulai tumbuh sebagai pusat Islam, ia tahu bahwa Majapahit, ayahnya, dan seluruh warisan leluhurnya, akan menghadapi badai. Tapi badai itu datang bukan dari dirinya.

Girindrawardhana datang dengan beringas, menghancurkan sisa kejayaan Brawijaya V. Raja tua itu terusir dari istana, berjalan tanpa tahta, tanpa prajurit, tanpa kekuatan. Di sisi lain, Patih Udara, seorang Hindu fanatik, berusaha mempertahankan sisa-sisa Majapahit yang telah runtuh, menyerang para wali, menyerang Giri Kedaton, dan mengusik para santri yang sedang menanamkan Islam di tanah Jawa.

Demak tak bisa diam. Ini bukan lagi soal darah, ini soal keadilan. Maka, ketika Sunan Giri memberi restu, Raden Patah pun bergerak.

Bukan untuk memberontak. Bukan untuk mengkhianati. Tetapi untuk menyelamatkan.

Mereka yang menulis sejarah mungkin lupa bahwa Brawijaya V sendiri tak pernah mengutuk putranya. Ketika akhirnya ia ditemukan di Banyuwangi, tersembunyi dalam kegelisahan yang panjang, ia bukanlah raja yang marah. Ia adalah seorang ayah yang sadar bahwa takdir telah berpihak pada anaknya.

Dikisahkan, ia mengambil segenggam air dari telaga di hadapannya. Jika air ini wangi, pikirnya, maka Islam adalah jalan yang benar. Jika air ini busuk, maka ia telah tersesat.

Air itu menguarkan keharuman. Dan di sanalah, sejarah membuat putaran terakhirnya.

Namun, di tangan orang-orang yang tak menyukai kebenaran, kisah ini berubah bentuk. Sejarah tak pernah dimiliki oleh mereka yang benar, tetapi oleh mereka yang menulisnya.

Maka, Islam tak dikenang sebagai cahaya yang menerangi Nusantara, tetapi sebagai badai yang menghancurkan Majapahit.

Maka, Raden Patah tak disebut sebagai anak yang berbakti, tetapi sebagai pengkhianat yang menusuk dari belakang.

Namun, sejarah selalu menemukan jalannya sendiri untuk keluar dari kegelapan.

Mereka bisa membelokkan narasi, tetapi tidak bisa menghapus jejak kebenaran.

Raden Patah tak pernah merebut Majapahit dari ayahnya. Ia hanya mengembalikan apa yang telah diambil darinya.

Dan di Demak, senja itu, dengan angin laut yang berhembus pelan, ia tahu bahwa sejarah akan selalu terulang. Hanya mereka yang cukup sabar untuk mencarinya, yang akan menemukan kebenaran yang sesungguhnya.

Sejarah ditulis oleh mereka yang menang, tetapi kebenaran selalu mencari jalan untuk ditemukan. [mc]

*Catatan Agus M Maksum, Penggemar Sejarah.

*Sunber: https://aidigital.id/berita?id_item=876

Terpopuler

To Top