Amerika Bukan Lagi sebagai Pemimpin Moral, Tapi seperti Rentenir yang Menagih Utang?

Ng Eng Hin dengan berani menyatakan bahwa dalam 60 tahun terakhir, citra AS di Asia telah turun drastis. Dulu AS dianggap sebagai pemimpin moral yang kuat, namun kini mereka lebih seperti “Rentenir yang menarik utang.”
Nusantarakini.com, Jakarta –
Setelah Trump kembali berkuasa, sekutu-sekutu Amerika Serikat (AS) mulai resah dan gelisah, mereka kawatir menjadi korban kebijakan “America First.’
Contoh, boneka sekutu Jepang dan Korea Selatan, satu ketakutan sambil menggelontorkan milliaran dolar untuk membeli senjata AS. Sementara yang satunya lagi secara terang-terangan menyatakan kesetiaan kepada Washington.
Namun berbeda dengan Jepang dan Korea Selatan, justru negara-negara Asean mengambil sikap yang sangat berani.
Dalam acara “Tiongkok Conference SouthEast Asia 2025 yang digelar di Kuala Lumpur, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyatakan bahwa Tiongkok dan negara-negara BRICS adalah mitra utama ASEAN dalam memperluas kerja sama global.
Menurut Anwar, di tengah meningkatnya ketegangan dunia, Tiongkok telah menjadi mesin utama yang membantu pertumbuhan Ekonomi ASEAN. Anwar menekankan bahwa ASEAN perlu memperdalam kerja sama dengan Tiongkok, khususnya dalam bidang teknologi tinggi, kecerdasan buatan (AI), serta ekonomi hijau dan digital.
Menariknya, dalam pidatonya Mr Anwar Ibrahim sama sekali tidak menyebut AS dan negara-negara Barat. Padahal sebelumnya ASEAN dibentuk atas inisiatif AS untuk membendung pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara. Namun justru sekarang TIONGKOK menjadi pemimpin kawasan (paling berpengaruh), sementara AS semakin kehilangan peranannya.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Jawabannya datang dari Menteri Pertahanan Singapore, Ng Eng Hen, di dalam konferensi keamanan di Munich.
Ng Eng Hin dengan berani menyatakan bahwa dalam 60 tahun terakhir, citra AS di Asia telah turun drastis. Dulu AS dianggap sebagai pemimpin moral yang kuat, namun kini mereka lebih seperti “Rentenir yang menarik utang.”
Pernyataan ini terkesan sangat tajam, akan tetapi juga sangat akurat. Dulu Amerika memang dianggap sebagai “Penyelamat,” dari Perang Dunia ke-2 hingga Perang Dingin.
AS menggunakan kekuatan ekonomi dan militernya untuk menjamin stabilitas di Asia, saat itu kehadiran AS masih dianggap memiliki “Legitimasi Moral.”
Namun seiring dengan kebangkitan Tiongkok, AS mulai panik karena mereka takut kehilangan hegemoninya, sehingga terus memprovokasi ketegangan di Asia.
Contohnya:
- Menarik diri dari perjanjian Intermediate-range Nuclear Forces (INF), yaitu perjanjian pembatasan, dan pemusnahan persenjataan nuklir.
- Menempatkan sistim rudal Typhon di Filipina.
- Menciptakan ketegangan sesama Asia untuk saling bermusuhan.
- Merencanakan penyebaran rudal Typhon ke Jepang menciptakan langkah provokatif.
- Memicu ketegangan di Semenanjung Korea, selat Taiwan dan Laut Filipina.
Semua ini adalah upaya AS untuk menciptakan konflik di kawasan Asia Pasifik. Sekarang AS bukan lagi “penjaga stabilitas” melainkan pengacau di kawasan ini.
Pernyataan bahwa AS seperti “Rentenir yang menagih hutang,” bukanlah hal yang mengejutkan. AS telah lama “memeras” Negara Asia dengan alasan keamanan (Sympathy Budget).
Supaya uang keamanan (sympathy budget) berjalan lancar maka AS membuat langkah-langkah seperti:
- Menciptakan ketakutan dengan membesar-besarkan ancaman dari negara lain (Tiongkok).
- Menggunakan ketakutan itu sebagai alasan untuk menempatkan pasukan militernya.
- Memeras dan menuntut “biaya perlindungan” dari negara-negara yang dilindunginya. Bahkan “biaya perlindungan” Ini tidak hanya berupa uang, tapi terkadang juga kedaulatan negara.
Ng Eng Hian telah membuka fakta yang selama ini ditutup-tutupinya sendiri. AS bukan lagi mitra yang dapat diandalkan, tetapi beban yang menghisap sumber daya negara-negara Asia.
Sementara itu, Malaysia dan Singapura secara terang-terangan balik arah dengan memperkuat hubungan dengan Tiongkok, dan ini menunjukkan AS semakin kehilangan pengaruhnya di ASEAN.
Bagaimana dengan masa depan Dunia?Ng Eng Hian tidak memberikan jawaban yang pasti, akan tetapi beliau menegaskan bahwa TIONGKOK akan tetap menjadi kekuatan utama dunia, dan hubungan Tiongkok-AS akan menentukan masa depan global.
Kini, di antara negara ASEAN hanya tinggal Filipina yang masih bertahan sebagai boneka setia AS.
Namun apabila dilihat dari nasib Ukraina, AS dan sekutunya kini sedang berunding dengan Rusia tentang masa depan Ukraina. Seolah-olah Ukraina (negara berdaulat) hanya dijadikan alat tawar-menawar yang bisa dikorbankan kapan saja.
Apakah Filipina ingin bernasib sama seperti Ukraina? Ini sangat tergantung dari pemimpin Filipina sendiri. Jika tidak bisa melihat realita yang ada, mereka bisa saja menjadi korban berikutnya.
Ini semua dapat disimpulkan:
- Negara-Negara ASEAN semakin condong ke Tiongkok.
- Singapore/Malaysia mulai bersikap lebih berani terhadap AS.
- Filipina bisa bernasib sama dengan Ukraina, bila tidak berhati-hati.
- Kini negara-negara ASEAN lebih memilih Tiongkok sebagai Big Brother, bukan AS.
- Negara-negara ASEAN tidak mudah lagi terbawa provokasi AS. [mc]
*Chen Yi Jing, Pemerhati Sosial Ekonomi dan Geopolitik.
(Kredit foto: Bloomberg via Getty Image).
