Satire

#KaburAjaDulu: Potret Kecewa dan Harapan yang Tergantung di Awan

Lebih dari sekadar angka, fenomena ini adalah gejala sosial yang harus diperhatikan dengan serius. Tidak sedikit yang menuturkan, “Aku tak lagi melihat masa depan di sini.”

Nusantarakini.com, Jakarta –

Tagar #KaburAjaDulu melesat di jagat maya, bukan sekadar tren iseng, tetapi potret nyata kekecewaan anak muda terhadap negeri ini. Di media sosial, seruan itu menggema, dari keluhan akan sulitnya mencari pekerjaan, rendahnya upah, hingga kegelisahan atas kebijakan yang terasa lebih seperti eksperimen daripada solusi.

Dalam setiap cuitan dan unggahan, ada rasa frustrasi yang tertumpuk dari waktu ke waktu. Mereka bertanya, “Mengapa harus bertahan di negeri yang seolah tak memberi ruang bagi kami untuk tumbuh?”

Angka-angka berbicara: di Jepang, dengan modal 30-50 juta, seseorang bisa memperoleh gaji 15-25 juta rupiah per bulan. Di Korea, dengan modal lebih kecil, gaji bahkan bisa mencapai 50 juta. Sementara di Indonesia? Gelar S1, S2, S3, dengan gaji 3-5 juta—tergantung calo.

Lebih dari sekadar angka, fenomena ini adalah gejala sosial yang harus diperhatikan dengan serius. Tidak sedikit yang menuturkan, “Aku tak lagi melihat masa depan di sini.”

Pindah ke luar negeri menjadi seperti pelarian yang rasional. Mereka tak sekadar menghindar, tetapi mencari kehidupan yang lebih layak, yang di sini hanya terasa seperti janji-janji kosong dalam pidato-pidato kampanye.

Kebijakan pemerintah kadang terasa seperti menambah garam pada luka. Larangan pengecer menjual LPG 3 kg bersubsidi, misalnya, membuat masyarakat kelas bawah semakin tercekik. Mau bertahan di Indonesia menjadi pengangguran? Atau mencoba peruntungan di luar negeri, meski penuh risiko?

Namun, apakah kabur adalah satu-satunya jalan? Tidak juga. Ada anak muda yang memilih bertahan dan mencari solusi di tanah sendiri. Ada harapan pada ekonomi digital, yang membuka peluang kerja lintas negara tanpa harus meninggalkan rumah. Anak-anak muda mulai menyadari bahwa coding, desain grafis, atau menjadi virtual assistant bisa membuka pintu rezeki dari klien di New York atau Amsterdam. Inilah peluang yang belum sepenuhnya disentuh oleh kebijakan pemerintah.

Meskipun begitu, tantangan besar tetap ada—bahasa Inggris, keterampilan komunikasi, dan kepercayaan diri. Jika ini bisa diatasi, kita bisa melihat generasi muda yang tak lagi harus kabur untuk merasa dihargai, tetapi menjadi pionir yang membangun dari tanah air.

Tagar #KaburAjaDulu adalah peringatan bagi kita semua. Bukan hanya sekadar curahan hati yang bisa diabaikan. Jika tidak direspon dengan tepat, fenomena ini bisa menjadi ancaman serius bagi mimpi besar Indonesia Emas 2045. Kita membutuhkan lapangan kerja yang layak, kebijakan yang berpihak pada rakyat, dan kepercayaan bahwa di sini—di tanah kita sendiri—ada masa depan yang masih bisa diperjuangkan.

Jadi, sebelum kabur, mari kita pikirkan kembali: apakah kita ingin meninggalkan negeri ini, ataukah justru membangunnya kembali dari puing-puing kekecewaan? [mc]

*Agus M Maksum, Praktisi IT.

(Foto: Facebook Agus M Maksum)

Terpopuler

To Top