Analisa

Amerika Serikat dalam Transisi Menuju Multipolarisme

“America has spent trillions of dollars on endless wars in the Middle East, money that could have been used to rebuild our own nation,” ujar Trump dalam salah satu pidatonya.

Nusantarakini.com, Jakarta –

Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2024 menandai pergeseran signifikan dalam kebijakan luar negeri negara tersebut. Amerika Serikat tampaknya sedang bertransisi menuju era multipolarisme, di mana dominasi tunggalnya sebagai pemimpin global mulai berkurang, dengan fokus kebijakan yang lebih menitikberatkan pada kepentingan domestik dan hubungan bilateral yang pragmatis.

Salah satu indikasi utama dari pergeseran ini adalah penarikan diri Amerika dari peran tradisionalnya dalam berbagai inisiatif global, termasuk operasi militer, agenda perubahan iklim, pengentasan kemiskinan, serta upaya menjaga demokrasi di negara-negara berkembang.

Melepaskan Kepemimpinan Global

Di bawah kepemimpinan Trump, Amerika Serikat menjadi lebih selektif dalam keterlibatannya di berbagai konflik dunia. Trump terlihat tidak punya selera untuk melibatkan tentara AS dalam konflik apapun di dunia. Meskipun masih memiliki kekuatan militer terbesar di dunia, Washington mulai menahan diri dari keterlibatan langsung dalam konflik yang tidak memberikan keuntungan strategis langsung bagi kepentingan nasionalnya.

Contoh paling mencolok dari sikap ini dapat dilihat dalam respons Amerika terhadap konflik di Ukraina. Alih-alih memimpin langsung operasi militer, Amerika lebih memilih untuk memberikan bantuan senjata kepada Kyiv sambil menyerahkan sebagian besar tanggung jawab pertahanan kepada negara-negara Eropa, terutama Jerman dan Prancis. Ia pun lebih tegas kepada rezim Zelensky yang dianggapnya telah memprovokasi perang. Trump pun menuduh telah terjadi korupsi besar-besaran atas bantuan USD 200 milyar yang diberikan oleh Washington.

Semua ini menunjukkan keengganan Washington untuk terus menanggung beban militer dalam menghadapi Rusia, sebuah tantangan yang selama ini ditangani Amerika sebagai pemimpin NATO.

Perubahan besar dalam kebijakan luar negeri Amerika juga terlihat dalam sikapnya terhadap perubahan iklim. Di masa lalu, Amerika adalah salah satu pemimpin dalam perjanjian iklim global, tetapi dengan terpilihnya kembali Trump, kebijakan tersebut kembali mengalami kemunduran.

Trump sebelumnya menarik Amerika keluar dari Perjanjian Paris pada 2017, dengan alasan bahwa perjanjian tersebut merugikan ekonomi Amerika dan menghambat pertumbuhan industri dalam negeri. Meskipun pemerintahan Biden kembali bergabung dengan perjanjian tersebut pada 2021, Trump yang terpilih kembali pada 2024 mengulangi kembali kebijakan sebelumnya, yaitu menolak regulasi ketat dalam sektor energi dan lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi domestik dibandingkan komitmen global untuk mengurangi emisi karbon. Hal ini semakin memperkuat sinyal bahwa Amerika tidak lagi ingin memimpin upaya global dalam menghadapi perubahan iklim.

Transisi menuju multipolarisme juga berdampak pada peran Amerika dalam mengentaskan kemiskinan global. Jika di masa lalu Washington memiliki peran dominan dalam berbagai lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan IMF, kini Amerika lebih selektif dalam menyalurkan bantuan luar negerinya. Alih-alih mendukung pembangunan di negara berkembang dengan dana hibah yang besar, Washington lebih memilih pendekatan transaksional yang menguntungkan ekonomi nasionalnya.

Contohnya adalah bagaimana Amerika mengurangi bantuan pembangunan ke Afrika dan Amerika Latin, sementara pada saat yang sama semakin mengutamakan investasi yang memiliki manfaat langsung bagi sektor swasta Amerika.

Selain itu, pemerintahan Trump mengambil langkah drastis dengan menarik Amerika Serikat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Keputusan ini didasarkan pada ketidakpuasan terhadap penanganan pandemi COVID-19 oleh WHO dan anggapan bahwa organisasi tersebut berada di bawah pengaruh politik tertentu. Penarikan ini menandai pergeseran signifikan dari komitmen Amerika dalam kerjasama kesehatan global.

Langkah lainnya adalah pembekuan hampir semua bantuan luar negeri yang disalurkan melalui USAID. Pemerintahan Trump memerintahkan penghentian sementara sebagian besar program bantuan luar negeri selama 90 hari, dengan pengecualian untuk bantuan pangan darurat dan pembiayaan militer asing untuk Israel dan Mesir. Kebijakan ini berdampak signifikan pada berbagai program kemanusiaan di seluruh dunia, termasuk bantuan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur.

Perubahan serupa juga terjadi dalam agenda Amerika untuk menjaga demokrasi di dunia. Jika sebelumnya kebijakan luar negeri Washington menekankan penyebaran nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia sebagai bagian dari strategi geopolitik, kini pendekatan tersebut mulai ditinggalkan.

Trump terkenal dengan pendekatan “America First,” yang lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi dan keamanan nasional ketimbang promosi demokrasi. Contohnya dapat dilihat dalam kebijakan terhadap negara-negara seperti Arab Saudi, Turki, dan Hongaria. Meskipun ketiga negara tersebut dikritik oleh berbagai organisasi hak asasi manusia karena regresi demokrasi dan otoritarianisme, Trump tetap menjalin hubungan yang erat dengan mereka atas dasar kepentingan ekonomi dan geopolitik. Hal ini menandai pergeseran dari pendekatan yang berbasis nilai-nilai universal menuju pendekatan yang lebih pragmatis dan transaksional.

Transisi Menuju Multipolarisme

Mundurnya komitmen kepemimpinan global AS menandai transisi menuju multipolarisme. Menurut pendekatan teori sistem kompleks hal itu  mencerminkan perubahan dalam sistem politik global yang berinteraksi dengan subsistem ekonomi, hukum, dan militer.

Walaupun setiap sistem bekerja secara otonom dengan logika internalnya sendiri, tetapi tetap bergantung pada subsistem lainnya melalui mekanisme penggandengan struktural (bayangkan sistem-sistem adalah gerbong-gerbong kereta yang saling bergandengan). Ketika Amerika memutuskan untuk mengurangi peran dalam operasi militer global, misalnya, hal ini juga berdampak pada kebijakan ekonomi dan diplomasi yang lebih fokus pada kepentingan domestik dan hubungan bilateral yang lebih pragmatis.

Meskipun transisi ini membawa keuntungan jangka pendek bagi Amerika, seperti pengurangan beban ekonomi akibat intervensi militer yang mahal, perubahan ini juga menimbulkan konsekuensi jangka panjang bagi tatanan global.

Dengan semakin berkurangnya kepemimpinan global Amerika dalam berbagai isu internasional, kekuatan-kekuatan lain seperti China, Rusia, dan Uni Eropa semakin mengambil peran yang lebih besar dalam membentuk kebijakan global.

China, misalnya, semakin agresif dalam mengembangkan proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang mendanai infrastruktur di berbagai negara berkembang, sementara Rusia semakin aktif dalam memproyeksikan pengaruhnya di Timur Tengah dan Afrika. Pergeseran ini mengindikasikan bahwa multipolarisme bukan sekadar kebijakan isolasionis Amerika, tetapi juga konsekuensi dari naiknya kekuatan-kekuatan lain yang semakin berani menantang dominasi global Washington.

Selain itu, Kishore Mahbubani, seorang diplomat dan akademisi dari Singapura, dalam bukunya Has China Won? The Chinese Challenge to American Primacy (2020) menyoroti bahwa dunia tidak lagi bergerak dalam kerangka unipolar yang dikendalikan oleh Amerika, melainkan dalam sistem multipolar di mana negara-negara seperti China memiliki pengaruh yang semakin besar.

Ia berargumen bahwa strategi Amerika dalam menarik diri dari kepemimpinan global akan mempercepat transisi ini. “The West’s dominance of world history was always going to be a temporary phenomenon,” tulis Mahbubani, menegaskan bahwa kebangkitan China dan melemahnya dominasi Amerika adalah bagian dari siklus sejarah yang alami.

Dalam analisisnya mengenai kebijakan luar negeri Amerika, John Mearsheimer, seorang realis struktural, dalam The Great Delusion: Liberal Dreams and International Realities (2018) juga mengkritik kebijakan intervensionis yang selama ini dijalankan oleh Washington.

Menurutnya, era di mana Amerika merasa berkewajiban untuk menyebarkan demokrasi ke seluruh dunia telah berakhir. “Liberal hegemony was doomed to fail because it conflicted with the deep-seated nationalism that underpins international politics,” tulisnya.

Dengan kata lain, kemenangan Trump dalam pemilu 2024 bukanlah sekadar fenomena politik domestik, melainkan bagian dari reaksi lebih luas terhadap kegagalan Amerika dalam mempertahankan dominasi globalnya melalui intervensi militer dan diplomasi liberal.

Di sisi lain, Jeffrey Sachs, seorang ekonom dan pakar pembangunan global, dalam artikelnya di Project Syndicate berargumen bahwa keputusan Trump untuk menarik diri dari WHO dan membekukan USAID mencerminkan hilangnya kepemimpinan moral Amerika di dunia. “The United States was once a beacon of global cooperation, but under Trump, it has chosen to abandon its international responsibilities,” tulisnya.

Sachs mengkritik kebijakan ini sebagai langkah yang tidak hanya merugikan negara-negara berkembang yang bergantung pada bantuan Amerika, tetapi juga melemahkan posisi Amerika sendiri dalam arsitektur global.

Reorientasi Ekonomi Domestik

Namun, meskipun kebijakan luar negeri Trump menunjukkan pergeseran dari globalisme menuju multipolarisme, kebijakannya dalam ekonomi domestik diperkirakan akan membawa dampak positif yang signifikan bagi Amerika Serikat. Dengan menghindari operasi militer yang menghabiskan anggaran besar, Trump dapat mengalokasikan sumber daya untuk memperkuat ekonomi domestik. “America has spent trillions of dollars on endless wars in the Middle East, money that could have been used to rebuild our own nation,” ujar Trump dalam salah satu pidatonya.

Kebijakan proteksionis yang diterapkannya melalui tarif impor yang tinggi bertujuan untuk menghidupkan kembali industri manufaktur Amerika. Dengan memberlakukan tarif terhadap produk-produk China dan negara lain, pemerintahan Trump berupaya mendorong perusahaan-perusahaan untuk kembali memproduksi barang di dalam negeri, sehingga menciptakan lapangan kerja bagi warga Amerika. Pendekatan ini dapat dilihat sebagai respons terhadap globalisasi yang sebelumnya menyebabkan banyak industri manufaktur Amerika berpindah ke luar negeri demi mencari tenaga kerja yang lebih murah.

Selain itu, di bawah kepemimpinan Trump, Amerika dipastikan akan berinvestasi besar-besaran dalam sektor teknologi. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, Washington memahami bahwa persaingan masa depan tidak hanya bergantung pada manufaktur dan perdagangan, tetapi juga pada dominasi teknologi.

Dengan adanya kebijakan yang lebih mendukung industri teknologi dalam negeri dan pengurangan regulasi yang dianggap menghambat inovasi, Amerika kemungkinan akan semakin fokus pada pengembangan kecerdasan buatan, teknologi militer canggih, serta energi terbarukan yang dapat memperkuat posisi ekonominya di panggung dunia.

Dalam perspektif teori sistem kompleks, perubahan ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi pergeseran dalam subsistem politik dan militer, subsistem ekonomi tetap mampu beradaptasi dan bertahan. Amerika tidak serta-merta mengalami kemunduran, tetapi sedang mengalami reorientasi strategi. Dengan mengurangi intervensi luar negeri yang tidak menguntungkan, Amerika mengalokasikan sumber daya untuk memperkuat daya saingnya dalam ekonomi global.

Kesimpulan, kemenangan Trump dalam pemilu 2024 menandai transisi lebih jauh menuju era multipolarisme, di mana Amerika semakin menghindar dari beban kepemimpinan global dan lebih fokus pada kepentingan nasionalnya.

Pergeseran ini terlihat dalam kebijakan luar negeri yang lebih pragmatis, pengurangan keterlibatan dalam operasi militer, penarikan dari agenda global seperti perubahan iklim dan pengentasan kemiskinan, serta pendekatan yang lebih selektif dalam mendukung demokrasi di negara lain. Dari perspektif teori sistem kompleks, perubahan ini mencerminkan interaksi antara subsistem politik, ekonomi, dan militer yang membentuk dinamika baru dalam sistem global.

Namun, di sisi lain, langkah-langkah Trump dalam mengurangi pengeluaran militer dan meningkatkan proteksionisme ekonomi dapat memberikan keuntungan jangka panjang bagi Amerika Serikat.

Dengan menghemat anggaran dari operasi militer luar negeri, mendorong pertumbuhan industri manufaktur melalui tarif, serta berinvestasi dalam teknologi, Amerika berusaha menjaga daya saingnya dalam persaingan global yang semakin kompetitif. Ini menunjukkan bahwa meskipun Washington menarik diri dari banyak kewajiban globalnya, negara ini tetap berusaha mengkonsolidasikan kekuatannya agar tetap relevan di dunia yang semakin multipolar. [mc]

Cimahi, 8 Februari 2025.

*Radhar Tribaskoro, The BRAIN Institute. 

Terpopuler

To Top