Kabinet Merah Putih: Antara Cita-cita Prabowo dan Pilpres 2029
Nusantarakini.com, Jakarta –
Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto telah dilantik pada 21 Oktober lalu, yang terdiri dari 48 menteri, tujuh di antaranya adalah menteri koordinator, 56 wakil menteri, dan lima kepala lembaga non-kementerian.
Berdasarkan pernyataan tokoh-tokoh Partai Gerindra di berbagai media terkait persiapan pembentukan kabinet, setidaknya ada empat sumber utama yang menjadi pertimbangan Prabowo dalam memilih kandidat.
Pertama, mantan presiden Joko “Joko” Widodo. Ada 16 tokoh dari kabinet Jokowi yang diputuskan untuk dipertahankan oleh Prabowo sebagai wujud kontinuitas yang ia janjikan selama kampanye presiden. Lebih dari itu, faktor Jokowi terlihat dalam diri putra sulungnya, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Kedua, adik Prabowo, Hasjim Djojohadikusumo, yang mengajukan nama-nama dari kalangan pengusaha, termasuk yang direkomendasikan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin), di mana Hasjim menjabat sebagai dewan penasihat. Sebagai wakil ketua dewan pembina Gerindra, yang bertanggung jawab atas keuangan partai, Hasjim tentu saja memiliki wewenang untuk mengajukan kandidat-kandidat untuk jabatan-jabatan di kabinet.
Ketiga, Ketua DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, yang juga menjabat sebagai wakil ketua DPR. Dengan kewenangannya yang luas, Dasco memiliki hak istimewa untuk mengajukan nama-nama dari kalangan partai politik dan aktivis. Kedekatannya dengan para pengusaha tambang disinyalir memungkinkannya untuk mengajukan orang-orang yang direkomendasikan oleh para cukong tambang.
Keempat, Prabowo dan sahabat lamanya Sjafrie Sjamsoeddin, yang memilih kandidat dari kalangan militer, termasuk alumni Taruna Nusantara, sebuah sekolah menengah atas di Magelang, Jawa Tengah, yang didirikan oleh Kementerian Pertahanan. Tentu saja, Prabowo akan merasa nyaman dan mempercayai teman-teman militer untuk membantunya mewujudkan tujuan-tujuannya dan melindunginya dari berbagai kepentingan di kabinet.
Pertanyaan pentingnya kemudian adalah apakah kabinet yang besar ini dapat membantunya mewujudkan visi dan program-programnya yang ia tegaskan dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober lalu.
Dalam pidatonya, Prabowo memperbarui janji-janji kampanyenya untuk mengatasi berbagai tantangan nasional yang ia identifikasi dalam bukunya Paradoks Indonesia (2017), seperti pengentasan kemiskinan, swasembada pangan, dan mencegah kebocoran dana pembangunan. Ia juga menekankan kedaulatan rakyat, demokrasi tanpa kemunafikan, dan kebanggaan nasional.
Prabowo mulai menjabat ketika Indonesia mengalami penurunan daya beli masyarakat, kesenjangan pendapatan yang semakin melebar, pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5 persen, tingkat pengangguran yang terus meningkat, kelas menengah yang semakin berkurang, dan indeks persepsi korupsi yang semakin buruk.
Namun, Prabowo juga mewarisi dukungan politik yang terkonsolidasi. Koalisinya menguasai lebih dari 60 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat, yang lebih dari cukup bahkan jika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Nasdem, dan Partai Keadilan Sejahtera berniat untuk membentuk blok oposisi. Ketiga partai tersebut malah menyatakan dukungannya kepada pemerintahan Prabowo meskipun mereka tidak berada di dalam kabinet.
Dengan adanya berbagai kelompok kekuatan ekonomi oligarki di belakang koalisi yang berkuasa, muncul pertanyaan apakah Prabowo dapat mencegah kebocoran anggaran negara atau daerah sebagai akibat dari korupsi, penggelapan pajak, dan praktik-praktik pemburuan rente seperti yang dijanjikan. Selain itu, beberapa lembaga pengawas korupsi telah memperingatkan bahwa beberapa tokoh dalam koalisi telah terlibat dalam kasus korupsi.
Pernyataan Hasjim pada awal Oktober mengenai rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang masih rendah dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara mengisyaratkan sebuah niat untuk secara bertahap meningkatkan rasio tersebut. Sampai batas tertentu, hal ini menunjukkan pesimisme mengenai kemampuan Prabowo untuk menghentikan kebocoran, oleh karena itu diperlukan tambahan utang untuk menutup anggaran negara.
Hal ini menjelaskan mengapa Prabowo mempertahankan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan. Sri Mulyani dianggap berhasil mengelola utang selama dua periode pemerintahan Jokowi.
Berbagai kepentingan yang terwakili dalam koalisi besar, yang mengusung tema “kesinambungan” dari pemerintahan sebelumnya, memiliki dua konsekuensi. Di satu sisi, Prabowo dapat memobilisasi semua sumber daya yang dimilikinya untuk melanjutkan agenda pembangunan Jokowi sembari merealisasikan program-program prioritasnya sendiri. Di sisi lain, upaya untuk mempertahankan kontinuitas dapat memecah belah koalisi.
Contohnya, keputusan Jokowi untuk mencabut larangan ekspor pasir laut di akhir masa jabatannya mendapat tentangan dari para politisi Gerindra. Kemungkinan besar perlawanan juga akan meningkat terhadap proyek pemindahan ibu kota Jokowi, yang akan membebani anggaran negara. Perdebatan di dalam koalisi juga mungkin akan muncul mengenai investasi-investasi swasta yang dinyatakan oleh pemerintahan Jokowi sebagai proyek-proyek strategis nasional.
Mengakomodasi berbagai kepentingan yang diwakili dalam koalisi besar seperti itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, terutama dengan keterbatasan anggaran yang dihadapi kabinet. Faktanya, partai-partai politik berjuang untuk mendapatkan kursi menteri tertentu karena akses terhadap sumber daya yang ditawarkan untuk menutupi biaya operasional mereka dan membiayai upaya mereka untuk mengikuti pemilihan umum berikutnya.
Dalam konteks ini, Kabinet Merah Putih akan menghadapi ujian persatuan terutama dalam dua tahun terakhir masa jabatannya. Kabinet akan terpolarisasi karena Presiden Prabowo secara alamiah akan mencalonkan diri kembali pada tahun 2029, sementara Wakil Presiden Gibran, dengan dukungan dari ayahnya Jokowi, dapat mencalonkan diri sebagai presiden, demikian pula dengan para menteri lain yang memimpin partai politik, seperti yang terjadi di masa lalu.
Tentu saja, untuk menjaga pengaruhnya tetap utuh, Jokowi akan terus mengingatkan Presiden Prabowo atas kontribusinya yang membantu mantan menteri pertahanan tersebut memenangkan kursi kepresidenan pada Februari 2024.
Namun, Prabowo juga memiliki legitimasi yang kuat untuk menentukan arah politiknya sendiri. Survei terakhir menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintahan Prabowo melebihi 80 persen.
Belajar dari Jokowi yang berhasil melepaskan diri dari pengaruh Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDI-P, yang merupakan sponsor politik utamanya pada Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo juga memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi.
Oleh karena itu, pemilihan presiden pada tahun 2029 mungkin akan memperbaharui pertarungan antara Prabowo dan Jokowi. Tentu saja, bukan hanya Gibran yang akan mencalonkan diri sebagai presiden. Ketua Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, putra mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga memiliki peluang besar untuk ikut bertarung.
Dinamika politik yang terjadi di tahun-tahun mendatang juga dapat membawa Prabowo ke aliansi strategis dengan Partai Demokrat. Bagaimanapun juga, Agus, seperti halnya Prabowo, adalah alumni Akademi Militer. Agus juga merupakan lulusan sekolah Taruna Nusantara yang dibanggakan oleh Prabowo.
Upaya untuk mendefinisikan kembali peran TNI setelah pencabutan dwifungsi militer pada tahun 1998 diperkirakan akan mewarnai politik Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo.
*Gde Siriana, Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies dan Mahasiswa Doktoral di bidang Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran.
Artikel ini telah tayang di The Jakarta Post, 2 November 2024 dengan judul “The Red and White Cabinet: Between Prabowo’s Goals and the 2029 Race.”