Analisa

Psikologi Politik Fufufafa

Gibran Rakabuming Raka disinyalir kuat pemilik akun Fufufafa. (Foto: Westjavatoday.com)

Nusantarakini.com, Jakarta –

Politik tidak hanya tentang kebijakan dan strategi, tetapi juga mencerminkan karakter dan psikologi para aktor politiknya. Salah satu figur yang menarik perhatian belakangan ini adalah Fufufafa. Nama itu adalah nama samaran dari Gibran Rakabuming sebagaimana dibuktikan oleh Roy Suryo, seorang politisi yang terkenal sebagai ahli Teknologi Informasi.

Gibran Rakabuming adalah wakil presiden RI terpilih. Dalam percakapannya di media sosial ia menggunakan istilah-istilah kasar seperti “biji satu,” “homo,” “dicerai istri,” Prabowo dan keluarganya. Lepas dari itu Fufufafa juga menggunakan istilah-istilah mesum seperti “susu kecil,” “preloved” serta “kulit gosong.” Komen-komen Fufufafa di atas serta-merta menciptakan kontroversi besar di ruang publik.

Mengapa Gibran berperilaku seperti itu? Ketika itu ia sudah berusia 25 tahun dan memiliki status sosial yang tinggi, yaitu anak seorang Gubernur. Untuk memahami perilakunya itu, kita bisa memanfaatkan pendekatan dari psikologi politik, yang menggali aspek psikologis di balik tindakan politik. Psikologi politik berfokus pada bagaimana faktor-faktor psikologis, seperti kepribadian, motivasi, dan proses kognitif, membentuk tindakan dan kebijakan politik seseorang. Dari pemahaman itu kita akan merekonstruksi karakter apa di balik kata-kata.

Profil Psikologi Fufufafa

1. Teori Kepribadian Otoritarian

Dalam menganalisis karakter Fufufafa, kita bisa menggunakan beberapa teori psikologi politik yang relevan. Salah satunya adalah teori kepribadian otoritarian, yang dikembangkan oleh Adorno dan kawan-kawan pada pertengahan abad ke-20. Teori ini mengemukakan bahwa individu dengan kepribadian otoritarian cenderung memperlihatkan kecenderungan untuk mendominasi, merendahkan, serta merasa superior terhadap orang lain yang dianggap sebagai ancaman atau saingan. Selain itu, mereka sering kali melihat dunia dalam bingkai hitam-putih, yang menyebabkan mereka merasa perlu untuk menyerang lawan dengan cara-cara yang tidak etis.

Dalam konteks Fufufafa, penggunaan bahasa yang kasar dan merendahkan bisa dilihat sebagai manifestasi dari kebutuhan untuk menunjukkan dominasi dan kekuasaan. Kata-kata seperti “biji satu (impoten)” atau “homo” berfungsi sebagai alat untuk menegaskan superioritasnya atas lawan politiknya, dengan tujuan mendiskreditkan dan menghancurkan reputasi mereka di mata publik.

Sementara itu, serangan terhadap artis perempuan dengan istilah yang merendahkan tubuh dan penampilan fisik menunjukkan kecenderungan untuk mengobjektifikasi dan mempermalukan pihak yang dianggap tidak setara atau tidak layak di dalam hierarki sosial yang ia percayai.

2. Teori Agresi Verbal

Sementara itu, Fufufafa menggunakan kata-kata yang merendahkan sebagai senjata untuk menegaskan dominasi politik dan psikologisnya.

Dalam teori Tedeschi dan Felson (1994) tentang agresi verbal, perilaku semacam ini sering kali muncul ketika individu berusaha mengendalikan situasi atau menghancurkan reputasi lawan mereka. Dengan menghina lawan politiknya dan melontarkan kata-kata kasar terhadap mereka, Fufufafa mencoba menempatkan dirinya di posisi kekuasaan, memaksakan otoritasnya atas orang-orang yang ia anggap sebagai ancaman.

Agresi verbal ini juga digunakan sebagai alat untuk membangkitkan loyalitas di antara pendukungnya, menciptakan citra bahwa ia adalah figur yang kuat, tegas, dan tidak takut “berbicara apa adanya.” Namun, di balik penggunaan kata-kata kasar itu, ada kebutuhan mendalam untuk mengontrol narasi dan menegaskan bahwa ia lebih unggul daripada target-targetnya.

3. Teori Kompensasi Diri

Fufufafa juga bisa diinterpretasikan melalui kerangka psikologi agresi dan kompensasi diri. Menurut Alfred Adler, agresi verbal sering kali merupakan manifestasi dari rasa tidak aman atau inferioritas yang tersembunyi. Dalam kasus Fufufafa, penghinaan terhadap lawan politik dan artis mungkin merupakan cara untuk menutupi kelemahannya sendiri atau ketidakmampuannya dalam menghadapi kritik.

Ketika Fufufafa menggunakan istilah seperti “biji satu (impoten)” atau “homo,” ini mungkin mencerminkan ketidakamanan personal atau profesionalnya. Ia menggunakan kata-kata tersebut sebagai alat untuk merendahkan lawan, berharap bahwa dengan melemahkan mereka, ia bisa mempertahankan rasa superioritasnya sendiri.

Teori ini menunjukkan bahwa perilaku menghina semacam itu sering kali lebih mencerminkan kelemahan internal daripada kekuatan sejati.

4. Teori Narcissistic Personality Disorder (NPD)

Konstruksi psikologi Fufufafa juga dapat dijelaskan dengan teori Narcissistic Personality Disorder (NPD). NPD  adalah gangguan kepribadian yang ditandai dengan perasaan superioritas yang berlebihan, kebutuhan akan pujian yang konstan, dan kurangnya empati terhadap orang lain. Individu dengan NPD sering kali menunjukkan perilaku yang mengagungkan diri sendiri sembari merendahkan orang lain.

Hal ini sejalan dengan perilaku Fufufafa yang menghina dan menyerang secara personal lawan-lawan politiknya serta figur publik lain.

Menurut Theodore Millon, seorang pakar dalam bidang gangguan kepribadian, individu dengan NPD memiliki dorongan kuat untuk mengeksploitasi orang lain dan memproyeksikan citra diri yang grandiose, yang membuat mereka sulit menerima kritik atau kegagalan.

Dalam konteks Fufufafa, perilaku kasar dan merendahkan ini tampak sebagai cara untuk memperkuat citra dominan dan tak terkalahkan di hadapan publik, sekaligus menutupi rasa tidak aman yang mungkin ia rasakan secara internal. Pernyataan-pernyataan seperti “impoten” dan “homo” dapat dilihat sebagai bentuk proyeksi dari ketakutan atau kelemahan yang dirasakan Fufufafa, sesuai dengan teori proyeksi dalam psikodinamik.

Teori NPD juga menjelaskan bahwa individu seperti ini kerap mengabaikan konsekuensi sosial dari tindakan mereka, termasuk bagaimana kata-kata mereka mempengaruhi orang lain. Kekurangan empati ini menjelaskan bagaimana Fufufafa dengan mudahnya melemparkan komentar-komentar mesum dan hinaan kepada figur publik tanpa merasa perlu bertanggung jawab atas dampaknya.

Nama Samaran Tidak Mengubah Karakter

Sekalipun Gibran menggunakan nama samaran untuk melancarkan hinaannya, hal ini tidak mengubah karakter yang telah kita rekonstruksi di atas. Sebagaimana dijelaskan dalam teori-teori di atas, penggunaan nama samaran hanya menjadi alat untuk menghindari konsekuensi sosial atau hukum, tetapi motif psikologis di balik penghinaan tetap sama. Orang yang menggunakan nama samaran mungkin merasa lebih aman dan bebas, tetapi perilakunya tetap mencerminkan dorongan untuk mendominasi, k etidakamanan internal, atau narsisme.

Nama samaran memperlihatkan kesadaran bahwa perilaku tersebut tidak diterima secara sosial, yang memperkuat teori bahwa tindakan agresif verbal ini adalah upaya kompensasi terhadap rasa ketidakmampuan atau kerentanan yang mendalam.

Dengan demikian, rekonstruksi karakter Fufufafa sebagai sosok yang agresif, otoritarian, dan mungkin narsistik tetap berlaku, bahkan jika ia beroperasi di bawah identitas yang disembunyikan.

Konstruksi Psikologis Cenderung Permanen

Konstruksi psikologis yang mendasari perilaku penghinaan tidak berubah meskipun ucapan itu terjadi sepuluh tahun lalu. Dalam konteks psikologi politik dan gangguan kepribadian seperti Narcissistic Personality Disorder (NPD), perilaku tersebut merupakan manifestasi dari pola kepribadian yang cenderung stabil sepanjang waktu.

Konstruksi psikologi seseorang, seperti kecenderungan narsistik atau otoritarian, biasanya tidak hilang dengan cepat. Kecenderungan untuk merendahkan atau menghina orang lain bisa tetap konsisten jika individu tersebut belum mengubah cara berpikir atau menghadapi masalah psikologis yang mendasarinya.

Menurut teori kepribadian, terutama dalam NPD, pola perilaku yang merendahkan orang lain dan kurangnya empati sering kali berlangsung selama hidup jika tidak ada intervensi psikoterapeutik yang signifikan. Artinya, sekalipun ucapan penghinaan terjadi sepuluh tahun lalu, perilaku dan pola pikir yang mendasarinya kemungkinan masih relevan dan mencerminkan kondisi psikologis yang sama.

Sebagaimana ditegaskan oleh penelitian dalam psikologi kepribadian, perubahan perilaku memerlukan proses yang panjang dan sulit, terutama jika melibatkan faktor-faktor mendasar seperti NPD atau kepribadian otoritarian.

Bagaimana Bila Fufufafa Menjadi Wakil Presiden

Jika Fufufafa menjadi wakil presiden, dampaknya terhadap keberhasilan presiden dalam mewujudkan visi akan sangat negatif. Seorang wakil presiden yang terlibat dalam perilaku kasar, merendahkan, dan menghina akan menciptakan citra buruk bagi pemerintahan secara keseluruhan.

Dari sudut pandang psikologi politik, keberadaan seorang wakil presiden seperti Fufufafa yang berkarakter otoritarian, dominan, narsis dan agresif akan memecah belah koalisi politik, mengganggu hubungan diplomatik, dan mengurangi kepercayaan publik. Publik dan komunitas internasional akan meragukan kredibilitas pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang yang memiliki wakil dengan perilaku tidak etis, yang secara konsisten melanggar norma-norma sopan santun dan kesantunan politik.

Lebih jauh lagi, wakil presiden dengan karakter seperti Fufufafa berisiko memperburuk stabilitas politik di dalam negeri. Ia dapat memperbesar polarisasi sosial dan politik melalui retorika kasar yang merendahkan lawan politik dan merusak rasa hormat terhadap institusi negara. Akibatnya, visi presiden untuk menciptakan pemerintahan yang stabil, berkembang, dan dihormati bisa terhambat, atau bahkan gagal, jika wakil presidennya menimbulkan kontroversi dan ketegangan terus-menerus.

Kesimpulan

Perilaku Fufufafa mencerminkan dinamika kekuasaan, agresi verbal, narsisme, dan otoritarianisme yang diuraikan dalam teori psikologi politik. Meski ia menggunakan nama samaran, karakter yang telah kita rekonstruksi tetap tidak berubah: Fufufafa adalah sosok yang menggunakan penghinaan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan menutupi ketidakamanan internalnya.

Jika ia memegang jabatan sebagai wakil presiden, dampaknya terhadap stabilitas politik dan kesuksesan presiden dalam mewujudkan visinya akan sangat negatif, berpotensi merusak legitimasi dan citra pemerintahan di mata publik dan dunia internasional. [mc]

*Radhar Tribaskoro, anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia.

Rujukan:
Tedeschi, J. T., & Felson, R. B. (1994). Social Power and Political Influence.

Adorno, T. W., Frenkel-Brunswik, E., Levinson, D. J., & Sanford, R. N. (1950). The Authoritarian Personality.

Kernberg, O. F. (1975). Borderline Conditions and Pathological Narcissism.

Allport, G. W. (1954). The Nature of Prejudice.

Terpopuler

To Top