Spontan rakyat Indonesia kaget dengan pernyataan politik terbaru Prabowo Subianto: “Bersama Saya atau Diam Menonton!” Hal itu dinyatakan Prabowo kemarin pada pidatonya dalam Rakornas Pilkada PAN tentang kepemimpinan dia ke depan. Harian Jakarta Globe menurunkan berita dalam bahasa Inggris, “Either You Are With Us, Or Watch Us Working.” Ini beda-beda tipis dengan ”Either You Are With Us, or My Enemy!

Dalam pesan itu, antara “bersama saya atau diam,” tidak ada lagi kata oposisi di antaranya. Padahal dalam demokrasi, sebagaimana SBY ketika awal presiden dulu, mendukung munculnya “civil society,” sebuah kekuatan kelas menengah yang di luar sistem kekuasaan.

Bersamaan dengan pernyataan ini, beberapa hari belakangan, Prabowo berencana membentuk kabinet 40-50 menteri, untuk menyerap semua kekuatan sosial yang eksis dalam kepemimpinannya. Ditambah pula Prabowo ingin seperti Sukarno, sebagai pemimpin milik semua golongan, bukan hanya klaim satu partai saja. Semua fenomena di atas menunjukkan bahwa akhirnya Prabowo menunjukkan dirinya seorang diktator.

Gaya Prabowo Subianto saat debat pilpres beberapa bulan yang lalu. (Foto: Tangkapan layar)

Kediktatoran adalah sebuah konsep kepemimpinan yang tidak menyisakan suara oposisi terhadap dirinya. Sukarno misalnya atas nama cita-cita revolusi yang belum selesai mengembangkan sistem diktatorship dengan kosa kata “demokrasi terpimpin.” Suharto begitu pula, atas nama stabilitas dan pembangunan, mengembangkan diktatorship dengan kosa kata Bapak Pembangunan (Politik No, Pembangunan Yes!). Keduanya berhasil mengkonsolidasikan kepemimpinan dalam sebuah rencana kerja pembangunan. Berbeda dengan SBY, di mana demokrasi diletakkan sebagai fundamental dalam mengorganisasikan rencana pembangunannya. Bahkan, di era SBY, terjadi “heavy parlement,” di mana kekuasaan DPR mendominasi kontrol.

Kediktatoran biasanya bertumpu pada leadership seorang leader. Sebaliknya, totalitarian adalah konsep anti demokrasi yang bertumpu pada rezim, seperti era Jokowi. Jokowi yang lemah, khususnya di awal kepresidenan, membangun rezim bersama parpol pendukung dan tokoh-tokoh “garis keras” di dalam kekuasaannya membangun oligarki politik. Oligarki ini menguasasi semua institusi, baik DPR, intelijen, kepolisian, militer, institusi hukum dalam sebuah pengkooptasian negara.

Meskipun sama-sama anti demokrasi, bedanya dengan diktatorship, sistem diktatorship berimpit dengan karakter sang presiden itu sendiri. Jika presidennya berjuang untuk rakyat, maka sebuah bangsa yang dipimpin dapat menjadi bangsa maju dan besar, misalnya di Turki.

Era Suharto sendiri, yang berkembang dalam sistem diktatorship, berhasil membangun Indonesia keluar dari krisis politik dan ekonomi era sebelumnya. Meskipun, kesenjangan sosial dan demokrasi merupakan barang langka di era Suharto.

Prabowo Diktator Kerakyatan