“Pelajaran itu harus ditransformasikan dengan cara tetap memperjuangkan bersama sosok mumpuni itu. Rakyat pun disadarkan agar tidak lagi silau dengan bansos dan uang recehan.”
Nusantarakini.com, Bekasi –
Anies Baswedan kalah dalam perhelatan pemilihan presiden (pilpres) 2024. Itulah catatan de jure pasca Mahakamah Konstitusi (MK) menolak gugatan 01 dan 03. Namun, catatan de jure ini belum mencerminkan de facto-nya. Secara de facto, banyak pihak tetap menolak kemenangan Prabowo-Gibran, apalagi terdapat tiga hakim yang dissenting opinion. Sejatinya, belum final secara politik. Masih ada pagelaran angket di DPR dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Penolakan atau perlawanan secara politik dan jalur hukum ini masih dalam proses. Bisa kandas, atau jalan sesuai skenario penolakan itu.
Yang menarik untuk kita catat lebih jauh, Anies tampak “diiming-iming” jabatan. Pernah tersiar kabar, Anies akan diposisikan sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu). Benarkah berita itu? Bisa benar. Bisa juga hoax.
Ada dua implikasi jika memang Anies diposisikan sebagai Menlu. Pertama, posisi itu memang tepat bagi Anies yang memang cukup luas pergaulan internasionalnya. Juga, piawai dalam membangun komunikasi dengan kalangan internasional. Akan banyak terobosan diplomasi yang sangat menguntungkan Indonesia. Melalui posisi Menlu juga, Anies sangat memungkinkan diplot sebagai Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (Sekjen PBB). Persis yang pernah disampaikan sahabat sekolahnya dulu, di SMA 2 Yogyakarta: Dr. dr. Tifauzia Tyassuma. Mantan sekretaris OSIS saat Anies menjadi ketuanya, “Indonesia terlalu kecil bagi Anies. Cocoknya memang Sekjen PBB.” Catatan Dr. Tifa bisa ilusi. Bisa juga memang kadar faktual Anies yang memang luar biasa. Berstandar internasional.
Meski demikian, jika Anies bergabung dalam pemeritahan – sebagai implikasi kedua – Anies akan dituding sebagai pengkhianat perubahan. Anies bisa dinilai tidak menghargai barisan pro perubahan yang jumlahnya – jika fair perhitungannya – malampaui angka yang dicapai Prabowo-Gibran. Angka ini dapat kita serap dari temuan angka secara robotik sekitar 38 juta. Selama ini mereka memback up penuh, terutama dari civil society akan menghujat habis-habisan. Anies akan dicap haus kekuasaan. Tak beda dengan Prabowo dan Sandi, yang kalah dalam pilpres 2019, lalu kepencut dengan rangkulan Jokowi.
Menghadapi gelombang kritik itu, para simpatisan Anies pun sulit membelanya, meski dengan sejuta alasan. Bagaimanapun, posisi Menlu jelas bagian dari kekuasaan. Meski, ada misi untuk melompat ke Sekjen PBB, tetap yang dilihat publik adalah posisinya dalam kabinet Prabowo itu. Dan realitas ini ini akan mempersulit Anies dan pembelanya dalam menghadapi gelombang kritik tajam itu.
Kini, opsi yang lebih menatang adalah bagaimana tetap bersama para pejuang perubahan? Jika opsi ini yang akan diambil, berarti Anies tak boleh silau dengan rayuan Prabowo, ataupun angan-angan menjadi Sekjen PBB. Setidaknya, angan-angan ini harus dipending untuk sementara waktu. Setidaknya, harus mempunyai tiket lebih dulu sebagai presiden, meski sangat minim di antara Sekjen PBB ber-cv presiden. Kebanyakan, memang Menlu.
Sekali lagi, jika mengambil posisi sebagai aktor utama dalam arus besar perubahan, maka sangatlah dipertanyakan jika bentuk keorganisasiannya sekedar paguyuban, katakanlah LSM. Karena, ikatan emosional dan dan daya instruktifnya tergolong lemah. Karena itu, opsinya mendirikan partai politik. Dan belum lama ini telah menggema suara tentang Partai Perjuangan Perubahan Indonesia (PPPI). Sebuah partai politik yang berusaha menjaga marwah perjuangan pro perubahan, yang memang harus dipertahankan di tengah gelombang degradasi demokrasi negeri ini dan ancaman aseng yang semakin menggila.
Kini, ada urgesi kuat untuk membangun sistem politik yang diharapkan mampu menghadapi hegemoni partai-partai besar penduhulunya, sekaligus hegemoni kaum aseng oligarki. Keduanya – secara konspiratif – berusaha mengantarkan posisi negeri ini ke jurang “neraka.” Harus diselamatkan. Karena itu mendirikan partai politik yang totally pro keterpanggilan perubahan merupakan terobosan cerdas. Mencermati daya magnetik Anies saat pilpres lalu, kiranya bukan masalah serius untuk membentuk kepengurusan seluruh level: mulai kepengurusan pusat, wilayah (provinsi), pengurus daerah (cabang), sampai ke tingkat kecamatan. Dananya? Sangat mungkin swadaya. Setidaknya, ada sejumlah bohir pro Anies yang – selama pilpres – memang sudah bersama Anies. Mereka akan “berjihad” secara financing, tenaga dan pikirannya untuk PPPI.
Kita perlu mencatat, proses politik itu pada akhirnya akan menghadapi tantangan lagi. Kehadiran PPPI – secara vis-à-vis – akan berhadapan dengan partai-partai pendahulunya. Tak tertutup kemungkinan, basis massa mereka akan tersedot ke partai besutan Anies. Kiranya, hal ini akan menjadi gesekan sosial-politik yang tak bisa dihindari. Hal ini berarti, sosok Anies akan menjadi lawan kepentingan politik partai-partai yang ada, katakanlah PKS, PKB, dan kemungkinan NasDem. Tidak tertutup kemungkinan juga partai-partai lainnya yang berada di Koalisi Indonesia Maju.
Sementara, pada titik puncaknya, saat memasuki pilpres 2029, Anies – sejalan dengan ketentuan presidential threshold (20%) belum terhapus – praktis perlu dukungan parpol-parpol lain. Hal ini menjadi kendala tersendiri. Ketika pilpres 2024, Anies dibutuhkan partai-partai lain karena kepentingan elektoral, namun sehubungan dengan Anies telah mendirikan partai tersendiri, maka posisinya berubah: Anies yang harus mendekati partai-partai lain. Dan ini sangat high cost dan tak sejalan dengan karakter Anies.
Jika perkembangan politik belum berubah, potensi Anies melangkah ke pilpres adalah tahun 2034. Beliau berpotensi sudah memiliki perwakilannya di DPR RI. Jumlah kursinya yang diperkirakan signifikan, akan membuat dirinya punya bargaining position yang kuat. Di sanalah, gelombang perjuangan perubahan akan menampak jelas.
Persoalannya, apakah kondisi negara bisa tahan dari bencana politik yang semakin destruktif? Bagaimana dengan nasib rakyatnya, yang kian hari kian terbelenggu oleh buldozer Tiongkok? Sebuah tantangan besar untuk menunggu satu dasawarsa sosok Anies. Rakyat terlanjur menjadi kaum budak.
So, what we should do? Diperlukan sikap bijak para elitis. Ketika Anies memang diperlukan, maka arogansi picik para elitis harus ditanggalkan: cari sosok pemimpin yang memang mumpuni untuk membenahi negara dan bangsa. Kemenangan Prabowo-Gibran yang sarat masalah biarlah menjadi pelajaran berharga. Kerena pasti menuai bencana sebagai hasil kejahatan politiknya. Pelajaran itu harus ditransformasikan dengan cara tetap memperjuangkan bersama sosok mumpuni itu. Rakyat pun disadarkan agar tidak lagi silau dengan bansos dan uang recehan. Sebagian rakyat terdidik juga harus mampu menghadang kejahatan para penyelenggara pemilu dan atau pilpres itu.
Akhirnya, kita harus mencatat, posisi Anies saat ini dilematis. Masuk dalam pemerintahan pasti akan dihujat habis. Tetap bersama perubahan juga penuh perjuangan tersendiri, yang akhirnya belum tentu mulus dalam menuju kontestasi 2029. Lalu? Biarlah Anies bemunajat: memohon petunjuk-Nya. Mana yang terbaik untuk dirinya, rakyat dan negara. Allah sebaik-baik pemberi petunjuk. [mc]
Bekasi, 30 April 2024.
*Agus Wahid, Analis Politik.