Betapa berjaraknya antara nilai-nilai dan tindakan. Kebohongan telah menjadi kebenaran dan kebenaran telah menjadi kebohongan. Begitulah cara bangsa Indonesia menikmati demokrasi selama ini.
Nusantarakini.com, Bekasi –
Pilpres 2024 telah memberi pelajaran penting bagi seluruh rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Satu yang fundamental, bahwasanya kebenaran dan kejahatan sekalipun memang membutuhkan perjuangan. Kebenaran dan Kejahatan pada akhirnya menjadi pilihan setiap orang, komunal dan bahkan secara massal dengan atau tanpa paksaan.
Sistem demokrasi yang menganut kebebasan individu, orientasi kekuasaan dan penghambaan materi, begitu kental mewarnai kecenderungan pemilu dilaksanakan dari masa ke masa. Proses dan hasil dari yang diklaim sebagai manifestasi kedaulatan rakyat itu, kerap hanya menjadi ajang distorsi dan disorientasi. Baik pilpres maupun pileg telah menjadi ajang kecurangan dan kejahatan dari ambisi yang dibungkus oleh prosedural formal dan legal. Drama konspirasi dan manipulasi atas nama demokrasi dan konstitusi. Kemudian menjadi baku, menjadi hukum dan peradaban masyarakatnya.
Melakukan kejahatan bukanlah sesuatu yang mudah dan tanpa hambatan. Apalagi kejahatan yang terstruktur, sistematis dan masif. Bisa dipastikan akan membutuhkan banyak orang, anggaran yang besar dan paling utama kemampuan membunuh nilai-nilai Ketuhanan dan rasa kemanusiaan. Memiliki dan menggunakan infrastruktur politik menjadi modal dasar seseorang atau kelompok tertentu tampil di panggung kekuasaan. Dengan cara apapun dan melibatkan siapapun, menjadi cara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan.
Begitupun dengan kebenaran, yang memilihnya harus bergelut dengan komitmen dan konsistensinya. Teguh dan istiqomah menggenggam prinsip-prinsip kebenaran, terkadang jauh lebih sulit ketimbang mengorganisir dan menggerakannya. Tak jarang banyak yang patah dan menyerah hanya untuk mengakui kebenaran. Ini menjadi fenomena yang kemudian mewujud sebagai realitas sosial. Lazimya, seperti yang diungkap dalam adagium kebenaran yang tak terorganisir akan dapat dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir. Atau boleh jadi ada yang lainnya, kebohongan yang terus-menerus akan menjadi kebenaran.
Begitulah antara kebenaran dan kejahatan, pada satu waktu memiliki disparitas yang cukup jauh. Di lain waktu terkadang saling menyalip dan bukan tidak mungkin bisa bercampur atau menyatu. Kohesifitas keduanya memungkinkan terjadi ketika sistem nilai di atasnya yang mengatur dan membuat rambu-rambu sosial begitu lemah. Sebagai contoh sebut saja sistem demokrasi yang menjadi produk konstitusi.
Sangat sulit menjadi regulasi dan produksi yang menghasilkan pemilu yang kapabel dan akuntabel. Bagaimana pelaksanaan pilpres dan pileg yang mengungkap data dan fakta betapa berjaraknya antara nilai-nilai dan tindakan. Harapan pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia hanya menjadi uthopis. Pesta demokrasi dan amanat konstitusi itu telah terkena toxid, tercemar akut oleh cawe-cawe presiden, mobilisasi aparatur pemerintahan serta politisasi anggaran dan sembako. Pilpres 2024 seperti resan air ke air, resan minyak ke minyak. Kejahatan mendapat kemenangan dan kekuasaan, kebenaran untuk kesekian-kalinya harus terpinggirkan.
Miris dan alangkah disayangkan, pada kehidupan demokrasi yang terjadi di Indonesia, sering mengemuka kebenaran dan kejahatan bukan mengacu pada spiritualitas atau nilai-nilai universal seperti moral, etika dan kemanusiaan. Seperti terjebak pada kaidah hukum yang prosedural dan formal, demokrasi di negeri Pancasila seperti tak bernyawa, tapi bisa hidup sebagai zombie. Menjadi pemangsa kayaknya predator. Penjahat dan orang bodoh menjadi pemimpin dan mengurus kepentingan khalayak. Sementara, yang berhak dan memiliki kelayakan ditempatkan sebagai pengganggu dan ancaman sehingga harus disingkirkan.
Dengan mesin rekayasa sosial berwatak kapitalistik dan transaksional serta mikro chip liberalisasi dan sekulerisasi. Demokrasi telah membuat uang dan kekuasaan telah menjadi standar yang menentukan kebenaran dan kejahatan. Pseudo demokrasi itu tak ubahnya sedang melakukan makar pada Tuhan sebagai pemilik kekuasaan yang sejati dan sesunguhnya.
Demokrasi pada hakekatnya merupakan permusyawaratan yang jahat dan sebagai bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan Ilahiyah. [mc]
Bekasi Kota Patriot, 21 Syawal 1445 H/30 April 2024.
*Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI.