Ketika mata tak lagi sanggup melihat, ketika telinga tak lagi mampu mendengar, dan ketika bahu tak lagi kekar memikul saratnya beban. Maka yang terbaik dan utama, menggunakan kekuatan Tuhan yang ada dalam jiwa dan keyakinan.
Nusantarakini.com, Bekasi –
Bukanlah seorang pemimpin, yang bicara keberadaban namun tindakannya dipenuhi kebiadaban. Tidaklah pantas seorang presiden, kerap mengumbar kata kejujuran dan keadilan, dalam tarikan nafas yang sama menghirup kebohongan dan kecurangan. Rakyat mungkin terpaksa bodoh dan miskin, penguasa boleh leluasa menjadi kaya dan berjaya. Pertanyaannya, berapa lama dan sampai kapan?
Kemiskinan terkadang bisa dirasakan sebagai suatu kenikmatan. Meski sedikit yang sanggup menerimanya, ia menjadi pelajaran penting mengenal diri dan keberadaan Tuhan. Sedangkan kekayaan kerap menjadi jalan kesakitan. Menjadi investasi kesombongan dan meningkatkan nilai tabungan arogan. Bagi di miskin tak luput harus menjual iman, bagi si kaya terbiasa membeli kehormatan. Sembako, uang dan jabatan kadung menjadi komoditas politik kekayaan yang selalu melibatkan di kaya dan si miskin.
Mirisnya, kemiskinan menjadi momok yang menakutkan bagi siapa saja. Kekayaan malah cenderung menjadi target perburuan. Lambat laut ketiadaan materi dan fasilitas itu, seolah-olah menjadi kematian dalam hidup bagi seseorang. Keberlimpahan harta benda yang dibungkus status sosial, terlanjur menjadi impian. harapan dan kebiasaan, terus dipaksa sebagai suatu keagungan dan kemuliaan.
Tak sekadar kemiskinan, intimidasi dan teror yang berujung pada penjara dan kematian juga terus membuntuti kerja-kerja refleksi dan evaluasi. Tanpa stamina dan kebulatan tekad, ghiroh perjuangan lambat-laun menjadi kendur, luntur dan akhirnya terbentur. Gerakan kesadaran kritis mundur teratur, kemudian terkubur.
Seiring itu muncul persoalan yang gen identik, tentang kedzoliman dan keadilan, tentang penindasan dan perlawanan.
Posisi diametral antara realitas ideal dan faktual mulai mengemuka, meski trennya kohesif dan serba permisif. Banyak yang tersentuh namun tidak sedikit yang acuh. Sebagian mengumbar simpati, sebagian lainnya tetap tak peduli. Ada yang mengambil posisi tirani, yang lainnya terpaksa terpuruk teraniaya. Celoteh pamungkasnya, ini sudah takdir, mau bagaimana lagi? Skeptis dan apriori, saat orang baik dan orang jahat berbaur, bergumul dalam kepekatan hitamnya lumpur.
Mewujud absurd, makna kebenaran dan kejahatan semakin sulit dipisahkan, tak bisa terurai layaknya resan air ke air, resan minyak ke minyak. Kebenaran dan kejahatan itu, terlalu lama tak mempertontonkan pertarungan, seperti pergumulan eksistensi. Keduanya kian intim, seiring sejalan bergaul tanpa batas. Tak banyak lagi yang bisa mengenali perbedaannya. Bahkan kitab suci yang mengajarkan “minal huda wal furqon,” kerap terabaikan.
Semua berhitung untung rugi, bergerilya mengamankan diri sendiri, keluarga dan kroni. Keturunan dan asing berkuasa, pribumi terus mengidap putus asa. Begitulah penyandang gelar wong cilik, seperti jelata yang terus memasuki kedalaman patah arang. Logika jungkir balik berlaku, yang kecil dan sedikit memegang bedil, yang mayoritas menjadi kerdil.
Benarkah penguasa dan pemimpin palsu itu kuat dan sakti? Atau rakyat dan umat yang memang lemah karena tak punya keberanian? Sanggup mengusir rasa takut, boleh jadi perlahan tapi pasti, rakyat akan membuat rezim kalut dan bangkrut.
Berlapang dada berjuang dalam kesabaran perubahan sembari bergandengan tangan bersama barisan oposisi sejati, mengambil jalan berbeda terhadap kekuasaan tirani.
Jika saja bangsa ini mampu melihat kegelapan dan mendengar kesunyian, menyadari apa dan bagaimana negerinya saat ini. terlebih saat kejahatan menjadi pemimpin dan kebenaran menyingkir. Bukan tidak mungkin jika ditindaklanjuti, itu senilai dengan gerakan “amar ma’tuf nahi munkar” yang massal dan masif. Takut hanya pada Ilahi, bukan pada rezim tirani dan kroni apalagi oligarki. Teguh pada keimanan, mengutamakan ahlak dan menginsyafi mana yang hak dan mana yang batil.
Akhirat menjadi nutrisi yang sehat bagi dunia yang sakit, kematian menjadi obat kuat bagi kehidupan yang melalaikan. [mc]
Bekasi Kota Patriot, 13 Jumadil Awal 1445 H/27 November 2023.
*Yusuf Blegur, Ketua Umum Relawan BroNies dan Mantan Presidium GMNI.