Nusantarakini.com, New York –
Dalam perjalanan saya baru-baru ini dari Missouri ke New York, tanpa sengaja saya membaca majalah AA (American Airlines) yang tersimpan di counter bandara. Saya memang selalu mencari bacaan ringan ketika dalam perjalanan. Baik itu dari majalah-majalah gratis atau sekalian membeli di toko buku bandara. Seringkali buku-buku yang baru terbit lebih duluan terpajang di bandara-bandara sebagai promosi.
Yang menarik perhatian saya di majalah AA tadi adalah sebuah tulisan yang berjudul 10 prinsip Kepemimpinan yang Efektif (10 principles of an effective leadership). Tentu saja saya baca secara seksama, bahkan sengaja membawa majalah gratis itu pulang ke rumah.
Saya kemudian mencatat kesepuluh prinsip-prinsip dasar kepemimpinan itu dan memberikan catatan-catatan dari perspektif Islam. Dan pastinya kepemimpinan dalam perspektif Islam tidak lain adalah kepemimpinan Rasulullah SAW yang seharusnya menjadi tauladan bagi pemimpin yang mengaku pengikut baginda Rasul SAW.
Kesepuluh prinsip kepemimpinan yang disampaikan di majalah tersebut adalah:
Satu, berkarakter kejujuran yang tinggi (honesty).
Dua, memiliki kemampuan mendelegasikan (Ability to delegate),
Tiga, memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni (Communication skill).
Empat, memiliki rasa humor (Sense of humor),
Lima, memiliki percaya diri (self esteem),
Enam, memiliki komitmen yang solid (Solid commitment),
Tujuh, memiliki Karakter positif (Positive attitude),
Delapan, memiliki daya kreatifitas yang inovatif (innovative creativity)
Sembilan, mampu menginspirasi
(Ability to inspire),
Sepuluh, memiliki intuisi yang kuat (Intuition).
Saya tidak bermaksud merincikan satu per satu dari prinsip kepemimpinan efektif di atas. Karena semuanya terangkum dalam prinsip kepemimpinan yang lebih populer dengan prinsip kepemimpinan Rasulullah; shidiq, amanah, tabligh dan fathonah.
Justeru yang ingin saya ingin merelevansikan prinsip-prinsip tersebut dengan tiga prinsip kepemimpinan yang tersimpulkan dalam Kalam Samawi di Surah As-Sajadah ayat 24:
وَ جَعَلْنَا مِنْهُمْ اَئِمَّةً يَّهْدُوْنَ بِاَ مْرِنَا لَمَّا صَبَرُوْا ۗ وَكَا نُوْا بِاٰ يٰتِنَا يُوْقِنُوْنَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
Singkatnya ada tiga kesimpulan penting dari prinsip kepemimpinan menurut ayat itu:
Pertama, “yahduuna bi amrina” (memberikan petunjuk dengan perintah Kami (Allah). Makna dari potongan ayat ini adalah bahwa dalam konteks negara yang beragama (ketuhanan) Pemimpin ideal itu adalah yang paham petunjuk Allah, sehingga mampu memberikan perintah, instruksi, atau kebijakan umum “bi amrina” (dengan atau sesuai perintah/ajaran Allah SWT). Ketika Pemimpin itu tidak paham ajaran Allah, atau tidak peduli dengan ajaranNya. Lebih runyam lagi kalau memang seorang pemimpin itu adalah seseorang yang anti atau phobia dengan ajaran Allah SWT. Pastinya akan melahirkan tidak saja kegagalan negara. Tapi akan membawa kepada kehancurannya.
Kedua, “lamma shobaru” (seraya bersabar). Ayat ini menyampaikan bahwa memimpin dengan landasan ajaran Allah (ketuhanan), termasuk dalam bentuk kebijkakan-kebijakan (policy) yang sesuai perintah Allah itu tidak mudah. Akan penuh tantangan dan pastinya memerlukan “mental yang solid”. Sabar itu adalah “a state of mentality” (keadaan mental) yang membaja di hadapan tantangan dan/atau sebaliknya godaan. Pemimpin yang sabar tidak mudah patah semangat karena tantangan yang ada. Tapi juga tidak mudah terjatuh ke dalam jebakan godaan.
Ketiga, “bi ayaatina yuuqinun” (yakin dengan ayatKu/tanda-tanda kekuasanKu). Keyakinan itu menghasilkan soliditas hati. Kekuatan hati itu yang melahirkan “self confidence” atau “self esteem” (percaya diri) yang tinggi. Pemimpin yang diharapkan dalam pandangan Islam adalah yang tidak mudah diintimidasi oleh siapapun dan oleh keadaan apapun. Dia pada dirinya dan tidak sekedar mengimitasi bahkan pada siapapun yang dianggap bagus. Apalagi kalau mencontoh itu hanya karena dorongan “dukungan politik” yang tidak memberikan dampak pada negara dan masyarakat. Lebih runyam lagi ketika kecenderungan mengekor itu disbebakan oleh ketakutan (kriminalisasi) akibat kesalahan masa lalu. Pemimpin Islam itu punya “izzah” (rasa mulia) dan tidak minder di hadapan kekuatan apapun.
Merujuk kepada sepuluh prinsip kepemimpin tadi yang tersimpulkan secara gamblang dalam ayat Al-Quran itu, tentu implikasi teknis dan praktisnya ada pada wawasan yang luas (broaden mindset), intergritas yang tinggi (punya Karakter dan akhlak), serta kapasitas/kapabikitas yang mumpuni, termasuk inovatif, kreatif serta memiliki kemampuan komunikasi yang tinggi.
Di tengah memanasnya temperatur politik saat ini, diperlukan kemampuan untuk cooling down, berpikir matang dan rasional, menjauh dari tendensi kepentingan sempit dan sesaat. Dan yang terpenting: istafti qalbak (tanya hatimu)! [mc]
NYC Subway, 14 Agustus 2023.
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.