Nusantarakini.com, Manhattan City –Jika kita berbicara tentang dunia masa kini maka kita berbicara tentang realita yang tidak lagi terhindarkan. Dunia kita adalah dunia global. Masyarakatnya lebih dikenal dengan global citizen (penduduk global). Segala sesuatu, bahkan di perkampungan-perkampungan terpencil sekalipun, terwarnai oleh pergerakan dunia global.
Dalam perspektif Islam fenomena dunia global ini bukan sesuatu yang baru dan asing. Islam sejak awal telah dipersiapkan untuk menjadi agama dan tuntunan hidup dunia dengan segala karakter globalnya. Sehingga wajar saja jika semua konsep dasar kehidupan dalam Islam bersifat “global in nature”.
Salah satu makna mendasar dari dunia global adalah terjadi lintas batas. Dan karenanya Tuhan dalam konsep Islam itu adalah Tuhan yang melampaui batasan apapun. Bukan Tuhan Arab, bukan juga Eropa atau Amerika, juga bukan milik orang Nusantara. Bukan juga Tuhan yang dibatasi oleh batasan jender. Sehingga tidak perlu terjadi perdebatan apakah panggilan pihak ketiga itu “he” atau “she” apalagi “they”. Allah adalah Tuhan bagi semua manusia. Tuhan alam semesta (Al-alamin).
Demikian pula Muhammad SAW telah ditakdirkan menjadi utusan lintas batas apapun. Baik itu ras, etnis, suku dan bangsa. Juga melampaui lintas warna kulit, bahasa dan kultur. Beliau adalah milik “kaafatan linnaes” (seluruh manusia) dengan misi “rahmatan lil-alamin” (rahmah bagi alam semesta). Dan ini terafirmasi dengan Kitab Petunjuk (Al-Quran) yang memang “hudan linnas” (petunjuk bagi semua manusia).
Tidak kalah pentingnya adalah konsep Komunitas Islam yang tidak tersekat-sekat oleh sekatan sempit kesukuan, kebangsaan, apalagi kekeluargaan. Dan karenanya “sesungguhnya Umat ini adalah umatmu yang tunggal”. Umat tunggal ini yang dikenal “ummatun wahidah”. Dalam dalam kesatuan keumatan ini terajut keindahan keragaman (plurality) tanpa harus diikat oleh konsep pluralisme ala Barat.
Kesatuan keumatan (ummatan wahidah) itu tidak saja menjadi unik karena rajutan keragaman yang indah. Warna-warna partikularitas yang teranyam dalam kesatuan Umat menjadi unik karena adanya ikatan yang solid dan unik pula. Ikatan itulah yang mengikat setiap unsur menjadi satu kesatuan yang kokoh. Itulah ikatan iman “sesungguhnya orang-orang beriman iti bersaudara” yang terwujud dalam ikatan batin kasih sayang “ruhamaa baenahum”.
Makna kesatuan Umat dalam rajutan diversitas juga dimaknai dengan qadar samawi yang memandang semuanya dengan pandangan “kesetaraan” (equalitas). Bahwa keragaman tidak bisa dipandang dengan penilaian (value) yang berbeda. Karena ukuran nilai bukan pada keragaman itu. Tapi ada pada kesatuan hati (iman dan ketakwaan).
Dengan karakter Islam dan Umat yang global ini tidaklah sulit baginya untuk memasuki dunia yang semakin “deeply globalized”. Katakter dunia yang sangat global ini tentu perlu dipahami secara baik dan bijak. Sehingga Umat yang harusnya menjadi bagian bahkan berada di garda terdepan untuk memberikan “celupan warna”. Bukan justeru terwarnai bahkan menjadi obyek dan korban hiruk pikuk globalisasi dunia yang semakin tak terbendung dan tak terkendali.
Kemajuan ilmu (science) dan teknologi, khususnya di bidang telekomunikasi melahirkan media, termasuk media sosial yang semakin canggih (sophisticated). Semua ini kemudian diperkuat oleh keterbukaan informasi yang seringkali tidak terkontrol menjadikan dunia serasa semakin mengecil. Batas-batas semakin minim hampir tak terasa. Dan dengannya terlahirlah generasi yang lintas batas. Nampak dengan dirinya sendiri. Tapi kenyataannya mereka sedang berinteraksi dengan dunia yang tiada batas.
Dunia informasi yang highly sophisticated ini juga mengantarkan kepada realita perubahan (change) yang sangat cepat. Perubahan menjadi bagian dari alam yang didorong oleh inovasi, khususnya di bidang informasi, menjadikan manusia hanya punya satu pilihan. Sadar, tanggap dan antisipatif dengan perubahan. Jika tidak maka mereka hanya akan menjadi obyek dan korban dari perubahan drastis yang terjadi……(to be continue).
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. [mc]