NUSANTARAKINI.COM _ Kurangnya pemahaman tentang pertanian, lingkungan, dan kesehatan manusia membuat produksi makanan berkelanjutan tidak terlalu menjadi perhatian. Padahal, seperti yang diungkapkan UNEP (Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa), pertanian berkelanjutan berpotensi menciptakan 30 persen lebih banyak lapangan kerja dan petani juga meraup untuk lebih besar dari biasanya.
Terlebih, makanan yang diproduksi melalui penggunaan bahan kimia berlebih dalam sistem penanaman monokultur dan peternakan hewat di darat dan laut dapat menurunkan sumber daya alam lebih cepat daripada dihasilkan. Selain itu juga, ini dapat berpengaruh pada emisi gas rumah kaca yang dapat mempercepat perubahan iklim.
Memahami pentingnya pemahaman masyarakat tentang produk ramah lingkungan dan berkelanjutan, belum lama ini, Jarnas (Jaringan Nasional) ABW Kulonprogo DIY mengadakan pelatihan pertanian organik ramah lingkungan, Minggu (12/3/2023).
Materi yang dibagikan dalam kegiatan itu antara lain adalah tentang pembuatan pupuk organik, pembuatan pakan ternak tanpa arit, dan teknologi organik perikanan bioflok.
Ketua DPW Jarnas ABW Jawa Timur-Jawa Tengah-DIY, Fahmi Rosyadi menyebut, pupuk organik dapat dihasilkan dengan memanfaatkan limbah, seperti kotoran ternak. Kemudian, ditambahkan bakteri.
Limbah rumah tangga pun bisa dimanfaatkan, namun menurut Fahmi, harus yang sudah kering.
“Bentuk bakterinya itu basah, jadi kalau kondisi limbahnya basah takutnya terkontaminasi. Ada bakteri yang merugikan yang hidup duluan di situ, tapi kalau kering kan lebih steril,” katanya pada Selasa (14/3/2023).
Untuk dapat menggunakan pupuk organik tersebut, Fahmi menyampaikan, idealnya setelah satu minggu.
“Biasanya memang 3 hari sudah bisa dipakai, cuma masih agak panas. Makanya, idealnya memang tunggu satu minggu,” tambahnya.
Sementara, untuk pakan ternak, Fahmi menjelaskan, setelah jerami dicacah, kemudian ditambahkan bakteri. Jerami tersebut berasal dari limbah panen padi.
“Jadi, kondisi apa pun pakan ternak siap. Mau hujan atau kemarau sekali pun karena biasanya petani hanya mencari pakan ternak pada musim hujan, kalau kering susah,” jelasnya.
Selain itu juga, dengan menggunakan metode tersebut, pencernaan ternak menjadi lebih sehat. Bahkan, Fahmi mengungkapkan, pertumbuhan ternak juga akan lebih cepat.
“Kalau biasanya untuk penggemukan butuh sekitar enam bulan, sekarang cukup sekitar 3-4 bulan sudah siap jual,” ungkapnya.
Selanjutnya adalah teknologi perikanan bioflok. Fahmi menerangkan, istilahnya mengkondisikan tempat hidup ikan selalu dalam keadaan hangat.
“Dengan begitu, metabolisme ikan selalu terjaga dan tidak mudah stres, sehingga itu akan mengurangi tingkat kematian. Karena prinsip dari budidaya ikan itu supaya ikan tidak mengalami stres, yang umumnya terjadi kalau musim hujan,” terangnya.
Dengan bioflok, kata Fahmi, otomatis kondisi di dasar kolam menjadi hangat setelah diberi bakteri, yang membuat ikan hidup nyaman. Tanpa sentuhan teknologi, ikan dipastikan akan stres, tegas Fahmi.
“Apalagi kalau hujannya terus-menerus, tidak ada sinar matahari, DAN kolamnya tidak mengalir itu akan terjadi kematian cukup banyak. Karena ga ada matahari, ga ada fotosintesa, sehingga proses pelepasan oksigen tidak ada, makanya kalau kita lihat itu pas hujan ikan naik ke atas karena oksigen yang terlarut dalam air berkurang,” tuturnya.
Ditambahkan juga oleh Fahmi, fotosintesa itu menyerap karbon dioksida dan melepaskan oksigen.
“Kalau pas hujan itu, ikan lompat-lompat ke atas itu ya karena oksigen yang terlarut itu sangat tipis,” pungkasnya.
Dengan materi yang disampaikan tersebut juga, akan lebih memudahkan dan menghemat biaya petani.