Nusantarakini.com, Jakarta –Peluang dan Tantangan Pariwisata di Era New Normal
Berharap Devisa
Pariwisata selama ini telah menjadi tumpuan harapan pembangunan nasional, dalam RPJMN 2020-2024, pemerintah menyebutnya sebagai salah satu faktor penting untuk akselerasi dan transformasi wilayah. Hal tersebut tidak lain mengingat karakter pariwisata yang justru dapat mendorong percepatan pembangunan di kawasan-kawasan pinggiran bahkan hingga pedalaman.
Meskipun dari sisi kontribusinya terhadap PDB, sektor pariwisata hanya menyumbangkan di bawah 5% tetapi, kontribusinya terhadap devisa cukup tinggi, mencapai 17,6 Miliar USD, hanya terpaut sedikit dari kontribusi devisa sawit yang mencapai 19 Miliar USD. Pemerintah menargetkan pada 2024 nanti kontribusi pariwisata dalam PDB meningkat menjadi 5,5% dengan kontribusi devisa meningkat menjadi 31-36 Miliar USD.
Harapan ini serius dikerjakan dengan mendorong pembangunan “Kawasan Strategis Pariwisata Nasional”, atau KSPN, yang 5 diantaranya disebut sebagai Destinasi Super Prioritas yaitu; Danau Toba, Prambanan-Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo dan Likupang, di luar itu ada 10 destinasi prioritas serta 7 KEK Pariwisata.
Covid dan Dampaknya
Harapan untuk memaksmalkan sektor pariwisata sebagai pendulang devisa terpaksa harus dipikirkan ulang. Pandemi Covid-19 yang berkembang di seluruh dunia sejak awal tahun 2020 membuat sektor pariwisata menjadi menjadi sektor yang terdampak paling parah. Pandemi covid memaksa banyak negara untuk melakukan lockdown, dalam terminology di Indonesia, diterapkan tahapan karantina wilayah, yaitu; Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). Intinya, orang dibatasi untuk berinteraksi di ruang publik.Keputusan tersebut memaksa sektor pariwisata yang identik dengan perjalanan dan event, terpaksa harus berhenti total.
Secara domestik, banyak event dari mulai konser musik, pertandingan olah raga, hingga pertemuan-pertemuan publik harus dibatalkan, begitu juga dengan perjalanan dinas hampir dihapuskan keseluruhannya kecuali yang memiliki tingkat urgensitas sangat tinggi dan tidak dapat digantikan secara online. Kegiatan outing bagi banyak perusahaan, study tour bagi siswa sekolah semuanya terpaksa dibatalkan atau ditunda sampe waktu yang tak ditentukan. Bahkan, tradisi mudik saat lebaran pun sampai dilarang.
Dari sisi internasional, pembatasan bepergian serta himbauan kembali ke negara asal membuat banyak agenda wisatawan yang dibatalkan. Sampai saat ini meski sudah mulai lagi bergeliat tren perjalanan, tetapi banyak negara masih memberikan peringan berpergian ke negara-negara dengan kategori merah, yaitu yang jumlah kasusnya masih cukup tinggi atau mengalami tren lonjakan yang terus tumbuh.
Penerapan New normal dalam pariwisata merupakan keniscayaan, BPS menunjukan terjadinya penurunan rasio hunian hotel, terutama di bulan april dan mei 2020. Rata-rata hunian hotel nasional, pada bulan april hanya 12,67% sedangkan bulan mei mencapai 14,45%.
DIY dan Bali sebagai dua sentra wisata mengalami tekanan paling besar, dimana rasionya turun hingga level terendah. DIY bulan april hanya 5.36% lalu naik sedikit ke 6,13% bulan mei, sednagkan Bali bulan april 3,22% lalu kembali merosot di bulan mei menjadi 2,07%. Meski demikian, DKI masih bisa mempertahankan tingkat hunian hotel di atas 10% pada bulan april dan mei, masing-masing 12,67% dan 14,45%. Kunjungan wisman juga mengalami kemerosotan tajam, pada februari sudah hanya 860 ribu orang saja, lalu terus merosot, dimana bulan mei hanya menyisakan sekitar 160 ribu orang saja.
New Normal dalam Pariwisata
Setidaknya, dapat dipastikan tren pariwisata menjadi hal yang paling akhir untuk bangkit kembali, bukan hanya karena alasan keamanan saja, tetapi juga alasan permintaan, dimana pandemic covid memukul perekonomian dunia sangat tajam, diperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh negatif antara 2-4% di tahun 2020 ini. Indonesia sendiri diprediksi masih bisa sedikit tumbuh di kisaran 2%, meskipun bukan mustahil jika lonjakan jumlah pasien positif baru semakin melonjak, PSBB jilid dua akan membawa ekonomi nasional tumbuh negatif pula.
Prediksi yang paling moderat menyebutkan, bahwa sektor pariwisata akan kembali bergeliat 6 bulan pasca gelombang kasus positif baru sudah benar-benar terkontrol mendekati nol per harinya. Tentu, tren wisata akan berubah menyesuaikan berbagai protocol pencegahan covid-19.
Penerapan protocol pencegahan covid-19 di sektor pariwisata sangat penting sebagai jaminan keamanan dan keselamatan bagi para turis, tetapi di sisi lain melahirkan konsekuensi, diantaranya; 1. biaya yang meningkat, 2. kapasitas layanan menurun, 3. resiko dan asuransi meningkat, 4. permintaan merosot dan 5. harga layanan meningkat. Kelimanya menjadi dilemma yang harus diatasi baik oleh pelaku usaha maupun pemerintah.
Pelaku usaha khususnya, di perhotelan dan penyediaan makanan minuman, yang merupakan penyumbang 60% dari total PDB pariwisata, tidak punya banyak pilihan dengan pendapatan yang merosot tajam melampaui biaya utilitas yang harus dikeluarkan, memaksanya melakukan segala cara untuk menurunkan beban dan sebisa mungkin tetap mendapatkan cash flow yang sebanding dengan beban.
Mulai dari menawarkan promosi berdurasi panjang dengan diskon besar, layanan karantina kelompok rentan dan office yang esensial (harus tetap beroperasi), memanfaatkan pekerjanya untuk memberikan executive service ke pihak eksternal yang membutuhkan, hingga pilihan yang paling pait terpaksa merumahkan pekerjanya. Sektor lainnya, seperti agensi perjalanan yang biasa mengurus perjalanan ekslusif dan kedinasan tak punya pilihan selain menghentikan operasinya sama sekali sambil berharap pandemi cepat usai.
Dari sisi permintaan, agakrnya meski aktivitas berwisata akan segera berghairah lagi, tetapi dampak ekonominya masih jauh dari optimal. Di tengah pandemi ini, refreshing dengan berwisata menjadi keniscayaan tetapi bukan dengan memilih aktivitas wisata komersial, melainkan aktvitas wisata yang relatif murah, dekat dan aman dari covid-19. Artinya, tren wisata masal akan masih lesu. Di tengah tren baru ini, ada harapan bagi pelaku usaha untuk menawarkan paket wisata eksklusif untuk keluarga.
Berharap Dukungan Negara
Kreatifitas dari para pelaku usaha sektor pariwisata perlu diapresiasi, banyak diantara mereka yang bahu membahu dengan pekerjanya untuk melakukan inisiatif apapun untuk bertahan. Apresiasi ini tentunya bisa diberikan dalam bentuk insentif dan kebijakan afirmatif dari negara, insentif perpajakan terutama menyangkut PPN dan pajak-pajak daerah perlu dihapuskan sama sekali atau setidaknya dihutangkan dengan diciclan 3 tahun pasca dampak pandemic mulai mereda dengan jangka cicilan pajak 5-10 tahun berikutnya.
Sedang kebijakan afirmatif dapat dilakukan secara spesifik tergantung usaha, misalnya untuk perhotelan dan restoran; pemangkasan biaya listrik dan air sangat diharapkan untuk tetap mempertahankan berbagai fasilitas yang dimilikinya tetap optimal, pelaku usaha travel dari mulai pesawat, perkapalan hingga bus pariwisata tentu membutuhkan insentif keringan pajak dan potongan sewa area parkir. Untuk para pemilik gerai-gerai di kawasan wisata, pinjaman lunak untuk menopang biaya persewaan gedung perlu diberikan. Hanya saja, dukungan negara tersebut harus diberikan secara tepat dan transparan, melibatkan asosiasi usaha dan pekerjanya agar kesemuanya dapat menikmati manfaatnya.
Tanpa dukungan negara, tentu akan sulit sektor pariwisata bisa bertahan dalam jangka panjang, padahal ada banyak harapan di masa depan ketika sektor ini bisa tumbuh lebih baik dan menjadi akselerator pertumbuhan ekonomi. [mrm/sda]
*Hafidz Arfandi, Peneliti Institute Harkat Negeri.