Nusantarakini.com, New York –
Sungguh sebuah kegembiraan dan sekaligus kebanggaan bahwa bangsa kita baru saja melangsungkan pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih anggota legislatif (DPR/DPD) dan Presiden/Wakil Presiden.
Membanggakan karena itu membuktikan bahwa demokrasi di negara Muslim terbesar dunia ini hidup subur. Jawaban yang pasti bahwa Islam dan demokrasi adalah dua hal yang tidak perlu dipertentangkan.
Atau tepatnya, bagi bangsa ini demokrasi dapat dilihat sebagai tafsiran dari ajaran Islam (syura) yang inherent. Pertanda juga bahwa tidak semua yang dari Barat harus dengan serta merta ditolak dan dikafirkan.
Sayangnya, proses demokrasi itu mengalami cobaan yang besar. Bahwa prosesnya ada berbagai kesalahan, entah disengaja atau tidak. Bahkan ada ketidakjujuran, entah juga bersifat human error dan individual atau ada unsur kesengajaan yang sistemik.
Tentu hal ini mendapat respon cepat dan tanggap dari masyarakat, khususnya mereka yang merasa dirugikan. Didukung oleh keterbukaan media, khususnya media sosial, kecurangan itu kemudian lebih menjadi semakin terbuka dan telanjang.
Diingkari atau ditutupi bagaimanapun, dalam dunia media yang terbuka, khususnya media sosial, semua akan menjadi terekspos dengan sendirinya. Dan itu juga diakui oleh pihak-pihak yang berwewenang. Dalam hal ini KPU maupun Bawaslu jika memang ada kesalahan-kesalahan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian bagaimana meresponnya?
Tentu semua kembali kepada peraturan dan undang-undang yang ada. Dalam hal ini pihak yang merasa dirugikan berhak melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Dengan keluarnya pengumuman resmi KPU maka pihak menang dan kalah telah diumumkan. Namun pengumuman itu belum sebuah keputusan. Karena pihak yang merasa dirugikan punya hak menggugat dalam masa dua hari setelah pengumuman.
Masalahnya, rakyat yang merasa telah dirugikan itu terlanjur resah. Bahkan marah dengan berbagai ketidak jujuran dalam proses pemilu itu. Akibatnya mereka turun ke jalan dan mengekspresikan ketidak puasan itu.
Di sisi lain pemerintah, dalam hal ini pengamanan atau kepolisian juga melakukan tugasnya. Tentu mereka juga punya tanggung jawab untuk itu.
Tragisnya, disengaja atau tidak terjadi bentrokan antara rakyat dan pengamanan atau kepolisian. Hingga detik ini, menurut berita, sudah 8 orang yang meninggal dunia.
Di pihak lain ada beberapa markas kepolisian yang dibakar oleh massa.
Menyikapi ini, perkenankan saya sebagai anak bangsa di rantau untuk menyampaikan hal-hal berikut:
1. Agar Kedua pihak mengendalikan diri untuk tidak terlibat dalam kekerasan. Kekerasan pada akhirnya hanya akan merugikan semua pihak tanpa kecuali.
2. Rakyat yang merasa haknya telah dirampas dan dicurangi dalam proses politik berhak secara konstitusional melakukan protes. Justru sebagaimana pemilu, protes juga menjadi bagian utama dari ekspresi demokrasi. Membungkam protes rakyat adalah pembungkaman kepada demokrasi itu sendiri.
3. Pihak pengamanan (kepolisian) punya tanggung jawab pengamanan negara. Tapi mengamankan tidak harus dengan “show of force” (mendomentrasikan kekuatan). Melakukan kekerasan kepada rakyat yang berdemo justru menjadi pemicu terjadinya kekerasan lain. Dengan itu pihak pengamanan telah gagal mengamankan. Sebaliknya bahkan menjadi pemicu ketidakamanan.
4. Pihak yang merasa dirugikan agar tetap melakukan tuntutan konstitusional. Harapannya pihak penentu hukum, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, merespon tuntutan itu seadil-adilnya dan transfaran dalam prosesnya.
5. Jika dalam prosesnya pengadilan itu membuktikan bahwa memang ada kecurangan, khususnya yang bersifat disengaja, agar segera diperbaiki. Perbaikan ini bisa dalam dua bentuk: a) pilpres ulang. Walau ini hampir mustahil dan kurang realisitis. b) pemilihan ulang di tempat-tempat yang terjadi kecurangan.
6. Jika kedua hal itu tetap tidak memungkinkan untuk dilakukan, dan kecurangan itu memang ada faktanya, kiranya pihak-pihak yang berwewnang mengakui kesalahan itu dan menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada masyarakat. Ingat, bangsa Indonesia itu bangsa damai dan pemaaf.
7. Saya melihatnya bukan lagi masalah kemenangan dan kekalahan paslon saat ini. Tapi lebih kepada perjuangan dalam menegakkan keadilan dan kejujuran dalam proses demokrasi kita. Karenanya integritas bangsa dan negara bisa tergadaikan.
8. Untuk itu, pemerintah khususnya diharapkan untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk merespon keresahan masyarakat. Keresahan itu begitu masif dan tidak boleh didiamkan. Sekali lagi, khawatir peristiwa pilpres ini menjadi preseden buruk bagi perkembangan demokrasi di negeri ini.
9. Akan tetapi apapun dan bagaimanapun itu, satu hal yang harus diingat bersama. Jangan sampai ada kekerasan dan pertumpahan darah yang terjadi karena pilpres ini. Masanya menyadari bahwa “kepentingan besar bersama bangsa dan negara” penting untuk dikawal. Kepentingan bersama itu adalah menjaga kemananan dan keutuhan bangsa dan negara. Ketahuilah, ada pihak-pihak yang lebih berkepentingan dengan “kekisruhan” yang mengarah kepada anarkis dan perpecahan bangsa.
10. Akhirnya, untuk semua ingat kembali. Demokrasi itu terdefenisikan sebagai dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Mereka yang berada di posisi kekuasaan itu hanya mungkin dengan kehendaki rakyat. Karenanya ketika mayoritas rakyat tidak lagi menghendaki, kiranya legowo untuk menerima keputusan rakyat. Seseorang akan teruji karakter demokratisnya di saat rakyat telah barbicara. Jangan sampai kerakusan kekuasaan menjadi penyebab hancurnya sebuah bangsa dan negara.
Let’s think twice and wisely!
New York, 22 Mei 2019.
*Imam Shamsi Ali, Anak Bangsa di rantau, Amerika Serikat. [mc]