Nusantarakini.com, New York –
Ada dua hal yang menggoncang masyarakat Amerika minggu ini. Keduanya merupakan “attractive” (menarik) bagi para pelaku media. Bahkan menjadi incaran para komentator politik maupun para aktifis yang berkepentingan.
Sirkus politik Internasional
Pertama adalah pertemuan dua pemimpin negara yang masing-masing punya ambisi di Hanoi, Vietnam. Tentu dipilihnya negara ini menjadi paradoks tersendiri. Vietnam beridiolgi komunisme dan anak China di Asia Tenggara. Tentu hal ini senyawa dengan Korea Utara.
Sebaliknya bagi Amerika, Vietnam adalah negara di mana pernah mengalami kekalahan dalam perangnya. Bagimanapun tentu menyisakan “luka” dalam yang tidak bakal sembuh.
Pertemuan Presiden Donald Trump dan pemimpin Korea Utara, Kim Jon-Un, untuk kedua lainnya dinilai oleh banyak kalangan sebagai “political stunt” (penampilan politik sandiwara) semata. Pertemuan yang boleh jadi empat tahun lalu dianggap sebuah kemustahilan.
Selama dua hari sirkus politik Internasional itu ternyata berakhir dengan tanpa hasil yang diharapakan. Tentu terkecuali mengangkat popularitas keduanya.
Bagi mayoritas bangsa Amerika, pemimpin Korea itu adalah sosok diktator yang sedang dipopulerkan oleh Donald Trump. Dan tentunya Donald Trump juga kembali menggandeng melalui political stunt itu.
Memang banyak orang yang geleng-geleng kepala melihat ulah presiden Amerika ini. Betapa tidak, Koalisi dan sahabat-sahabat dekatnya seperti Uni Eropa di Barat, Jepang dan Korea Selatan di Asia dibelakangi untuk merangkul pemimpin-pemimpin yang jelas selama ini dikenal berseberangan dengan Amerika.
Dengan Putin tentu bukan barang baru. Ada kecurigaan besar yang hingga kini masih dalam penyelidikan jika Rusia terlibat dalam memenangkan Donald Trump mengalahkan Hillary Clinton pada pilpres lalu.
Kini Donald Trump jatuh hati dengan pemimpin Korea Utama yang selama ini “disyetankan” oleh Amerika. Bahkan pada zaman Bush Korsel menjadi satu dari tiga negara yang disebutnya sebagai “Axis of evil” (koalisi syetan). Dua di antaranya adalah Irak dan Iran.
Bahkan yang paling menggerahkan banyak kalangan di Amerika adalah sikap Trump yang seolah acuh dengan pembunuhan warga Amerika di Korea Utama bernama Otto Warmbier. Pembunuhan sadis itu malah dianggap biasa karena ambisinya untuk memperbaiki hubungan dengan pemimpin Korea Utara itu.
Persis dengan sikapnya yang acuh dengan asasinasi Jurnalis berwarga negara Saudi, Jamal Kashoggy, yang diyakini atas perintah Pangeran Saudi. Hal ini tentunya bertentangan dengan tradisi Amerika yang akan membela warganya di manapun.
Entah apa strategi Donald Trump dalam hubungan dengan Korea Utama itu. Ada yang mencurigai bahwa itu upaya Amerika untuk mengimbagi pengaruh China di semenanjung Korea dan Asia Timur. Dalam hal ini tentu untuk menjaga kepentingan dan keamanan Korea Selatan dan Jepang sebagai mitra Amerika.
Tapi melihat kepada karakter Donald Trump selama ini, justeru dicurigai bahwa Donald Trump dengan inisiatif ini berambisi untuk memilki sesuatu yang dianggap sebagai “Trade Mark” kepresidenannya. Maklum secara “domestic” Donald Trump tidak akan pernah mendapat pengakuan positif kecuali dari kalangan ekstrim white supremacy.
Ambisi itu tentunya untuk mengimbangi popularitas Barack Obama dengan pencapaian-pencapaian kepresidenannya. Sebut saja satu di antaranya adalah Obama Care atau jaminan kesehatan universal Obama.
Walaupun belakangan Donald Trump berhasil membatalkannya, tapi secara parsial atau m pada bagian-bagian tertentu.
Keberhasilan dan kepopuleran Barack Obama ternyata menjadi “tulang dalam daging” yang meresahkan Donald Trump. Maka sepanjang kepresidenannya Donald Trump berusaha untuk melakukan “perception damaging” (merusak persepsi), bahkan “character assasination” atau pembunuhan karakter.
Ternyata upaya itu tidak berhasil. Obama justeru tercatat sebagai presiden yang paling dicintai dan tanpa cacat integritas apapun.
Dalam hubungan luar negeri ini Donald Trump sekaligus memperlihatkan “dishonesty” (ketidak jujuran), bahkan “hypocrisy” (kemunafikan). Dengan Korea Utara dibangun relasi dan berangkulan dengan nyaman.
Tapi sebaliknya dengan Iran justeru sanksi atau boikot yang pernah dicabut oleh Amerika di bawah pemerintahan Obama bersama sekutu-sekutunya Uni Eropa, kembali diperlakukan oleh Donald Trump. Bahkan sejujurnya Iran kini seolah menjadi “musuh tunggal” Amerika di atas planet bumi ini.
Tentu ketidak jujuran dan kemunafikan ini bukan tanpa dasar. Semua orang, bahkan orang pinggir jalan pun tahu kalau sikap Donald Trump ini memiliki motif yang lebih jauh.
Kita kenal sejak Irak hancur lebur, Libia luluh lantah, Suriah berantakan, serta negara-negara Teluk berhasil dipecah belah secara otomatis di kawasan Timur Tengah tinggal dua negara yang menjadi ancaman bagi sebuah negara yang diproteksi oleh Amerika dengan cara apapun.
Kedua negara itu adalah Turki dan Iran. Kedua negara ini adalah negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang kuat dan hebat. Secara politik solid. Secara ekonomi maju. Bahkan secara militer sangat kuat dan maju. Selain tentunya punya sejarah besar masa lalu dalam budaya dan agama.
Iran di saat di boikot saja begitu maju dan kuat. Bisa bayangkan ketika negara ini diberikan kesempatan untuk hidup secara normal. Diobok-obok sepanjang sejarah modernya masih maju dalam semua lini kehidupan.
Turki sejak kembali ke akarnya sebagai negara Islam yang baik bangkit menjadi negara yang hebat. Secara ekonomi sangat mapan. Secara politik sangat stabil walau penuh cobaan. Bahkan secara militer Turki menjadi kekuatan militer keenam dunia saat ini.
Tentu semua itu ditopang oleh motivasi sejarah besar masa lalu. Turki dengan sejarah khilafah Utsmaniyah yang luar biasa. Dan Iran dengan sejarah Persia yang bahkan tercatat dalam Kitab Suci.
Lalu apa hubungannya dengan kebijakan Trump? Tentu bisa ditebak bahwa dengan bertahannya Kedua negara ini dianggap ancaman bagi sang negara “anak emas” atau bahkan “tuan” Amerika di Timur Tengah. Negara yang bahkan mengeritiknya sekalipun di Amerika bisa menjadi “crime” atau kejahatan.
Karenanya Donald Trump yang walaupun secara domestic dalam negeri dituduh “anti Semit” atau anti Yahudi. Tapi secara International justeru memainkan strategi “kemunafikan” itu. Korea dirangkul erat. Sementara Iran diinjak keras. Demi keamanan sebuah negara yang dianak emaskan itu.
Kesaksian mantan pengacara pribadi Trump
Kedua, yang tidak kalah hebohnya, bahkan lebih heboh lagi adalah kesaksian mantan pengacara pribadi (personal lawyer) Donald Trump, Michel Cohen, di hadapan Kongress dalam dua hari berturut-turut. Kemarin, Rabu, di sebuah komite yang khusus bertugas melakukan pengawasan pemerintahan (oversight committee) dengan kesaksian terbuka (open testimony).
Hari ini, di hadapat komite lain yang menangani intelijen dan keamanan negara (Committee on intelligence) Mr. Cohen memberikan kesaksian terturup (tidak dibuka ke publik).
Jika pada kesaksian di komite pengawasan membahas masalah-masalah integritas sang presiden, di komite intelijen banyak membahas isu keamanan, termasuk keterlibatan Rusia dalam memenangkan Donald Trump.
Saya tidak akan membahas lagi secara detail bagaimana dan apa saja yang kita saksikan dan dengarkan selama keskasian itu. Yang pasti saya sangat yakin kalau saja bangsa Amerika masih “normal”, punya rasa integritas (sense of integrity), tentu akan malu dengan apa yang dipertotonkan secara publik itu.
Amerika adalah negara termaju, terkuat, dan terkaya (secara makro). Tapi yang paling penting dari semua itu Amerika dikenal sebagai negara yang tidak saja demokratis. Tapi juga getol memperjuangkan nilai-nilai demokrasi di berbagai penjuru dunia.
Tapi alangkah memalukan jika negara kuat itu, negara yang dianggap berperadaban itu, negara yang dianggap berbangsa terdidik dan berperadaban (civilized) itu memilki presiden yang digelari oleh mantan lawyernya sendiri sebagai “liar, conman, and cheat”.
Bahwa Amerika dengan segala kehebatannya itu kini harus menanggung malu dengan Presidennya yang pembohong, penipu, dan pengkhianat. Dan itu disebutkan di hadapan Kongres dan pertontonkan ke seluruh dunia.
Kesaksian itu menyingkap berbagai isu yang selama ini berkembang di khalayak ramai, termasuk upaya menutup mulut seorang pelacur dan pemain film porno agar tidak membuka rahasia Trump ke khalayak ramai.
Dalam tradisi Amerika hubungan seperti itu bukan masalah besar. Maklum negara liberal melihat hal itu adalah isu personal.
Masalahnya kemudian adalah Trump berdusta jika pernah melakukan transaksi itu. Kemarin Mr. Cohen justeru membutkikan dengan sebuah cek yang dibayarkan kepadanya sebagai ganti uang prbadinya (reemburstment).
Cerita-cerita keterlibatan Rusia dalam memenangkan Donald Trump juga semakin terbuka dengan realita bahwa semua itu terkait dengan rencana pendirian Trump Tower di Moskow.
Demokrasi yang bermoral
Singkatnya saya hanya ingin mengatakan bahwa ternyata demokrasi tanpa kesadaran moral membawa kepaa situasi semrawut. Demokrasi itu esensinya kebebasan ekspresi dan partisipasi. Tapi kebebasan tanpa “ikatan moral” ternyata berujung kepada “mess” (kesemrawutan) publik.
Dan yang paling berbahaya dan memalukan adalah ketika pemimpin dalam tatatan masyarakat demokrasi itu kehilangan integritasnya. Maka yang terjadi adalah drama demi drama yang memalukan yang dipertontonkan kepada khalayak ramai.
Untuk itu masanya barangkali dunia sadar bahwa moralitas harusnya menjadi pengikat dalam berdemokrasj. Dengan itu demokrasi dapat mempertahankan nilai dan ruang integritasnya. Pemimpin harus dijaga oleh nilai-nilai integritas moralnya. Dan di situ pulalah harusnya agama memainkan peranan siginifikannya.
Tentu Indonesia harusnya lebih relevan. Karena Indonesia memang adalah negara Pancasila dengan sila ketuhanan sebagai sila pertamanya. Mengingkari peranan moral keagamaan dalam politik dan demokrasi Indonesia akan melahirkan pemimpin yang tidak bermoral dan kehilangan integirtasnya.
Dan tentunya yang terpenting mengingkari peranan moral keagamaan adalah wujud pengingkaran nyata terhadap fondasi kenegaraan dan kebangsaan. Semoga! [mc]
New York, 28 Pebruari 2019
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.