Nusantarakini.com, Jakarta –
Ahok secara yuridis memang disandung oleh pasal penghinaan agama. Tapi sebenarnya, itu hanya formalitas. Masalah sebenarnya, orang sudah lama jengah dengan sikap dan perangainya yang pongah seolah berada di atas hukum. Dia dengan ringan memaki dan menghardik. Banyak kaum marginal tersingkir oleh kebijakan tata kotanya. Sementara media komplotan dan elit politik koalisi istana memanjakannya sedemikian rupa bagai pangeran yang akan mewarisi tahta. Padahal siapa dia?
Selagi dia menghardik dengan jumawa, orang teringat dengan sikap kebanyakan majikan toko yang mempekerjakan kaum pribumi dari kampung-kampung. Lama kelamaan kejengkelan menggumpal dan akhirnya meluber menjadi aksi massa.
Di tengah sikap anti pati terhadap Ahok itu, sebagian kaum pribumi lain, terutama beberapa elit, menaruh simpati dengan Ahok. Mereka seolah merasa diringankan pekerjaannya oleh Ahok.
Adalagi jenis yang lain. Kaum pribumi yang lama dongkol dengan sifat birokrasi yang korup dan memeras, Ahok menghantam dan berhasil menekan sifat korup birokrasi yang didominasi kaum pribumi ini. Para pejabat pribumi di lingkungan birokrasi di bawah kepemimpinan Ahok, hatinya jadi kecut dan melorot kayak kancut. Kaum pribumi yang lama dendam dengan birokrasi korup itu, merasa terlampiaskan hatinya oleh aksi Ahok selama menjabat di lingkungan Pemda DKI.
Sekolompok pribumi yang lain ialah kaum oportunis politis. Mereka juga suka dengan Ahok yang menjadi simpul bagi kekuatan kapital. Soalnya sekelompok oportunis ini amat berkepentingan dengan determinasi dan kelangsungan kekuasaan mereka yang sangat padat modal. Mereka pemamah modal yang lahap. Tapi mereka tidak mau kedoknya diketahui konstituen pribuminya. Namanya juga munafik.
Singkat cerita Ahok tumbang. Setelah Ahok tumbang, harusnya gerakan massa stop untuk masuk ke dalam politik praktis dukung mendukung kubu politik. Tapi tidak ternyata. Tergodalah hati para penggerak demo Ahok itu, lalu bikin PA 212. Prosesnya tentu berliku dan saling klaim.
Di titik ini, kemunafikan itu mencuat tak tertutupi. Orang bertanya-tanya, maunya apa ini. Bukankah Ahok sudah tumbang? Mengapa masih pakai aksi massa untuk tujuan politik pilpres?
Memang susah dipisahkan, mana minyak mana air di massa pelangi sebesar itu. Sebab di sana banyak orang PKS yang tentu sudah sejak genetiknya urusannya mengejar kursi dan jabatan. Bukan hanya ngurusin agama dan perasaan pribumi yang dibanting-banting oleh Ahok di zaman berkuasa.
Di sinilah kemunafikan itu merusak. Walhasil, urusan Ahok rupanya jadi batu loncatan saja untuk menggalang suara menuju pilpres. Massa yang kurang sreg dengan plot pilpres dan politik praktis ini, tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi mungkin mereka sekarang akan banyak yang golput dan wait and see saja saat banyak prinsip mulai dipatgulipatkan oleh kaum politisi brangsak yang memanfaatkan agama untuk kursi, kursi, kursi.
Sekarang Ahok sudah keluar dari penjara. Tapi Habib Rizieq masih tersingkir dari Indonesia dan eksil di Arab Saudi. Suasana ke depan masih belum bisa diraba. Karena akan banyak yang tak terduga, di tengah gagalnya Jokowi membina stabilitas politik dan sentimen emosional rakyat kebanyakan. Apalagi perekonomian masih jauh dari membaik, sehingga ketidakpuasan akan sangat mudah memanas.
~ John Mortir