Nusantarakini.com, Jakarta –
Setidaknya ada tiga hal spektakuler yang patut dijadikan bukti bahwa kebijakan Jokowi telah berayun kepada titik keseimbangan baru, yaitu mereposisi hubungan emosional dan politis antara Jokowi dan aspirasi umat Islam.
Pertama, pemilihan pasangan cawapres Jokowi yang berasal dari umat Islam dengan identitas serta simbol Islam yang sangat kuat dan melekat. Dia adalah KH. Ma’ruf Amin. Tidak mudah memilih capres dengan simbol yang kuat seperti ini, karena harus mengabaikan kekuatan sekular dan sinis terhadap Islam yang telah lebih dulu tertanam di dalam kubu Jokowi.
Kedua, merekrut Ketua Umum PBB sebagai bagian penting dari proses pencapresan Jokowi melawan Prabowo. Yusril Ihza Mahendra merupakan representasi otentik dari kekuatan modernis Muslim. Merekrut YIM juga bukan perkara enteng secara kalkulasi politik. Tapi nyatanya hal ini telah dilakukan.
Dengan mengambil KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapres yang merupakan representasi paling orisinil dari kekuatan tradisionalis Islam dikombinasikan dengan Yusril Ihza Mahendra, maka dua arsiran besar dari komponen umat Islam, telah berada dalam kubu Jokowi.
Selagi orang masih bertanya-tanya seberapa jauh komitmen politik Jokowi terhadap aspirasi umat Islam, tiba-tiba dia memproses pembebasan Abu Bakar Ba’asyir, suatu representasi ikonik dari arsiran Islam salafi dalam arti sebenarnya. Bukan salafi yang terekspor dari Saudi.
Ketiga hal ini memberi kesan bahwa kekuatan penunjang Jokowi tidak lagi seperti yang digambarkan sebelumnya. Setidaknya tiga fenomena ini akan memberi warna bagi sifat kebijakan administrasi pemerintahan Jokowi.
Selagi Jokowi berayun ke arah titik keseimbangan kiri – kanan, Prabowo tidak berhasil memberikan bukti bahwa kebijakan politis kubunya memberikan prospek bagi aspirasi umat Islam, kecuali orang per orang semata.
Bukti pertama ialah terkait pemilihan capres dirinya yang tadinya orang akan mengira berasal dari kalangan ulama, justru bukan. Dan malahan secara sempit dari kalangan partainya sendiri.
Kedua, pergeseran warna dan latar simbol-simbol kampanyenya. Dari tadinya sarat simbol ulama, bertukar menjadi netral dan malahan lebih menonjolkan unsur partai demokrat. Tokoh-tokoh penting umat Islam, secara pasti dan perlahan semakin jauh dan tampak tidak lebih sekedar legitimator saja. Bukan sebagai perancang bersama dan pengendali bersama.
Hal itu wajar, mengingat konsentrasi kekuasaan untuk menentukan berada sepenuhnya di tangan Prabowo. Berbeda dengan Jokowi. Jokowi memberikan ruang untuk memasukkan andil dari komponen lainnya, termasuk dari Yusril belakangan ini.
Ketiga, isi visi capresnya yang sebenarnya sangat netral Islam.
Sekarang, tinggal melihat dinamika selanjutnya. Apakah kedua capres akan melakukan koreksi atau sebaliknya.
~ Kyai Embun Pagi