Nusantarakini.com, Rangkasbitung –
Dalam kehidupan ril di masyarakat, seseorang hanya diperhitungkan dan dihargai manakala memiliki kekuatan, kekayaan, dan kepintaran atau setidaknya keahlian dalam suatu fak yang digelutinya. Bisa merangkum ketiga aspek itu sekaligus, tapi bisa juga hanya memiliki satu aspek saja. Misalnya, pintar, tapi tidak kaya. Kaya tapi bodoh. Kuat tapi bodoh. Memiliki satu aspek saja yang terbukti di mata masyarakat, sudah menjadi syarat bahwa seseorang akan dihargai masyarakat.
Sebaliknya jika hidup seseorang berkubang dengan kelemahan, kemiskinan dan kebodohan, maka alamat perlakuan merendahkanlah yang diterimanya dari masyarakat. Begitulah realitas masyarakat manusia: suatu hukum besi masyarakat.
Tidak dimilikinya kapasitas tiga aspek itu, engkau hanya akan dianggap batu jalanan. Malahan kadangkala dianggap sampah dan rumput liar yang merusak pemandangan mata mereka.
Seperti halnya keahlian, kadangkala kekuatan itu dapat dibeli. Artinya, yang kaya dapat melengkapi dirinya dengan kekuatan dan keahlian dengan cara dibeli. Contoh sederhana, seorang pengusaha yang lemah secara sosial, tapi kaya, karena memiliki uang, dia dapat membeli kekuatan kepada satpam dan membeli keahlian kepada seorang akuntan.
Lalu apa sebenarnya kekuatan itu? Kekuatan adalah kemampuan untuk mewujudkan keinginan dan kemampuan untuk melindungi diri dari serangan fisik maupun psikis, baik secara langsung atau pun tidak langsung, baik secara halus maupun secara kasar dan terang-terangan.
Setiap manusia bergulat di dunia untuk memiliki kekuatan, kekayaan, dan kecakapan. Hampir seluruh hidupnya dicurahkan untuk hal ini. Dibangun sekolah-sekolah juga untuk melayani kebutuhan untuk akan tiga aspek ini.
Mereka yang terlambat menyadari fakta ini, akan terlambat pula untuk bisa hidup dengan dihargai di dalam masyarakat.
Menerima realitas ini adalah suatu kebijaksanaan. Namun bukan berarti membenarkannya.
~ Syahrul E Dasopang