Nusantarakini.com, Jakarta –
Februari 1996. Aku masih SLTA kelas 3. Aku sedang mengikuti kegiatan perlombaan di Nias. Aku bagian dari kontingen asal kabupaten Labuhan Batu yang bertanding di tingkat provinsi Sumatera Utara.
Kami ditempatkan di rumah penduduk yang disewa oleh panitia lomba. Magrib itu, aku menonton tv. Dendang Ebiet G Ade mendayu-dayu. Mengiringi tayangan tsunami di Biak, Irian Jaya. Ya…waktu itu belum ada Provinsi Papua.
“Anugerah dan bencana, adalah kehendaknya. Kita mesti tabah menjalani.” ~ Ebiet G Ade, Untuk Kita Renungkan
Lagu itu berkesan bagiku hingga saat ini. Itu ditayangkan oleh RCTI. RCTI sebelum jadi milik Hary Tanoe.
Apakah Anda sama denganku? Aku mengenang dan mengingat banyak bencana alam silih berganti dalam perjalanan hidupku, tapi sungguh aku tak ingat tanggal-tanggalnya dan jumlah korbannya. Hanya tinggal kenangan berkelebat sahaja.
Paling yang kukenang bahwa dalam setiap peristiwa tersebut, ada penanda yang sulit kulupakan.
Pada sore hari tanggal 17 Februari 1996 pada pukul 14:59:30 WIT atau 05:59:30 UTC Pulau Biak dan sekitarnya di guncang getaran gempabumi sangat keras. Gempabumi tersebut dirasakan di beberapa tempat yaitu Biak-Kab. Biak Numfor dengan Intensitas VI-VII MMI, Serui-Kab. Kepulauan Yapen dengan intensitas VI-VII MMI dan Manokwari-Kab.manokwari dengan intensitas III-IV MMI. Gempabumi tersebut di ketahui mempunyai kekuatan gempabumi 8.1 (Ms) atau 8.2 (Mw) dengan lokasi pusat gempabumi di 0.89°LS-136.95°BT atau 101 km Timur Laut Biak-Papua, dengan kedalaman gempabumi yaitu 33 km. Gempa bumi tersebut ternyata diikuti dengan adanya gelombang tsunami yang menerjang sekitar Biak Utara hanya dengan waktu sekitar 10-15 menit. Berdasarkan Laporan berita (Jakarta Post, 1996) menyebutkan, ketinggian tsunami adalah 4 meter di Manokwari, 7 meter di Sarmi, 6-7 meter di Korim (Biak Utara), 3-5 meter di Biak dan 7 meter di Pulau Yapen (referensi 1). Akibat gempabumi dan tsunami tersebut, 108 orang telah meninggal dunia, 423 orang mengalami luka-luka, 58 orang korban hilang dan 4.053 rumah hancur/rusak di sekitar pusat gempa bumi.
Uraian peristiwa tsunami Biak tersebut yang begitu detail, tentu tidak pernah terekam dalam ingatanku. Hanya google yang dapat merekam seajeg itu. Yang kuingat dengan tsunami Biak itu, bahwa saat itu aku di Nias. Bahwa saat itu aku menontonnya di RCTI. Semua teman-temanku terkejut dan sedih.
Begitukah kita manusia? Cepat sekali lupanya. Tipis sekali ingatannya. Semoga hanya aku.
Selain Biak, mungkin hanya Tsunami Aceh yang paling menghunjam dalam kenanganku.
26 Desember 2004, tsunami Aceh. Aku juga ikutan sibuk membantu pemberangkatan relawan. Relawan entah dari mana mengalir ke Aceh. Sekiranya ada hari relawan nasional, peristiwa tsunami Aceh, boleh jadi tonggaknya.
Saat itu, muncullah Rafli dengan lagu-lagu ratapan khas Aceh yang menyayat hati. GAM vs Pusat, berhenti perang. Hanya itu saja yang kukenang. Paling tambahannya, presidennya SBY, tapi yang sigap, adalah JK.
Gunung meletus di Yogyakarta 26 Oktober 2010. Penanda yang kuingat ialah gugurnya Mbah Maridjan. Tewas, 1400 jiwa. Kemudian kukenang ada sahabatku yang paling sibuk membantu korban. Namanya Azwar Muhammad.
Lalu 30 September 2009, gempa besar terjadi di Sumatra Barat. 7,6 SR dengan korban tewas 6.234 nyawa. Penandanya ialah gedung berbentuk khas Minang runtuh. Kemudian ada yang memanfaatkan bantuan dari Israel. Hanya itu yang kukenang.
Lantas belum lama, gempa Lombok. Tewas 548 orang. Penandanya, TGB tak jadi Cawapres Jokowi.
Sekarang gempa dan tsunami Palu-Donggala. Robohlah jembatan Panulele. Jokowi datang dengan jaket doreng TNI. Di Jakarta tvOne menayangkan film G30S/PKI. Video dahsyatnya bencana itu beredar dari medsos ke medsos. Ada rumah berlari. Ada kawan yang anaknya selamat.
Begitu pendeknya dan singkatnya ingatan. Pantaslah Allah hanya menyuruh kita untuk mengambil iktibar saja dari setiap pengalaman bencana. Karena iktibar itulah yang abadi dalam kenangan.
~ Syahrul E Dasopang