Nusantarakini.com, Jakarta –
Dalam ilmu polemologi mengajarkan kita Perang untuk damai, dan Damai juga bisa capai melalui perang. Ahli polemologi Finlandia, Jhon Galtung memberi batasan yang jelas bahwa jika terjadi perang maka ada Karena kesenjangan antara realitas dan idealisasi.
Lantas, bagaimana jika perang tersebut dikobarkan oleh orang yang berkuasa, penguasa tertinggi negara atas politik, hukum dan semua instrumen negara? Apalagi mengobarkan semangat perang dan agitasi perang untuk saling terkam antar rakyat di negeri yang dipimpinnya?
Agitasi Hitler di Jerman bukan untuk merebut kekuasaan tetapi mengusir bangsa Jahudi untuk mempertahankan bangsa Prusia. Rusia dengan segala macam ideologi komunismenya termasuk rekonstruksi negara Rusia oleh Mikael Gorbachev melalui perestroika, glasnost dan democratizaya hanya berjuang untuk mempertahankan bangsa Rusia dengan menguasai 14 negara di timur Baltik, Asia Tengah dan kaukasia selatan. Semua demi harga diri bangsa Rusia meskipun akhirnya pecah di tahun 1991.
Revolusi Perancis dan restorasi Meiji di Jepang adalah perang karena ekonomi dan mempertahankan harga diri bangsa dari penetrasi kapital asing. Hampir semua negara di daerah jajahan berperang melawan penjaja untuk mempertahankan bangsanya dari kolonialisme dan imperialisme. Bangsa Indonesia berbudaya perang dan berperang hanya untuk menyelesaikan soal dan mempertahankan hargan diri.
Mengapa Jokowi mengobarkan perang, tidak ada landas konstitusi, tidak ada landas ilmu pengetahuan modern tentang perang dan damai. Tentu saja Jokowi terinspirasi dari jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan di Jawa yang memang penuh dengan intrik dan rebutan kekuaaan.
Berdirinya kerajaan Mataram oleh Mas Karebet alias Joko Tingkir atawa Panembahan Senopati adalah pemberian tanah Alas Meo setelah ayahnya Pemanahan membantu Hadiwijowo di Demak melawan kerajaan Majapahit. Panembahan Senopati menjadi raja pertama setelah menumpas Arya Penangsang.
Dalam mitologi Jawa, jauh sebelum Mataram penaklukan negara Alengka oleh Rama Wijaya menumpas Rahwana dan adiknya Kumbakarna. Hanoman didapuk oleh raja sebagai seorang Patih karena membantu Rama.
Belum lagi pecahnya kerajaan Mataram melalui perjanjian Giyanti karena nenek moyang Jokowi di Solo lebih kerjasama dengan Belanda dan kolonial dari pada Raja Mataram Jogja yang patriotik dan nasionalis. Seharusnya Arya Mangkunegaran menjadi Raja sebagai penerus Amangkurat IV, namun karena sering menentang Penjajah Belanda akhirnya diasingkan ke Srilangka. Belanda mendorong Prabuyasa melanjutkan tahta kerajaan di Surakarta.
Kisah terakhir kita saksikan konflik perebutan tahta di Mangkunegaran dan intrik di balik pewaris kerajaan Mataram Yogya sampai Sultan Hamengkubuwono keluarkan Sabdo Raja.
Berbagai cerita intrik dan perang melahirkan Tahta telah meninspirasi para pemimpin untuk merebut tahta di Republik tercinta ini. Jadi apa yang dipertontonkan oleh Jokowi seorang Presiden RI itu tidak begitu saja lahir dan jatuh dari langit, tetapi ada akar historisnya. Dan ironisnya perebutan Kekuasan yang sedang dipakai Jokowi bersumber inspirasi perebutan tahta di kerajaan-kerajaan di Jawa.
Pemimpin mengambil keputusan perang adalah pemimpin yang memang haus akan kekuasaan. Pemimpin yang berkeinginan untuk perang itu biasanya memang punya tujuan untuk merebut kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan.
Selain haus akan kekuasaan, pemimpin yang secara terang-terangan mendeklarasikan perang di hadapan rakyatnya jelas membuktikan bahwa dirinya adalah pribadi yang ambisius.
Perang dalam ilmu polemologi sendiri tidak hanya berwujud perang fisik melainkan perang non fisik. Non fisik itu suatu tindakan atau kekerasan verbal dan itu yang paling bertentangan dengan hukum karena agitasi, propaganda atau hatespeech yang isinya menyerang individu dan rakyatnya sendiri. Oleh karena itu kita harus perang ilmu dan perang ilmu melawan nalar dan logika yang salah. [mc]
*Natalius Pigai, Aktivis Kemanusiaan tinggal di Solo, Yogya dan Jakarta.