Nusantarakini.com, Kajang –
Masih terngiang di telinga, bahkan seolah kembali hadir di depan mata saya ketika Puang (panggilan ayah saya) mengantar saya ke pondok pesantren pertama kali. Perjalanan yang saat itu terasa sangat lama dan jauh. Menaiki sebuah mobil bus mini yang sangat tua dan kotor.
Sesampai di kota Kami menginap sementara di rumah kos-kosan kakak yang sedang belajar di sekolah teknik menengah (STM). Karena memang atas saran pemilik rumah kos-kosan kakaklah saya akan dimasukkan ke pesantren.
Beberapa hari menginap di kamar kakak yang sangat sempit, pengap dan banyak nyamuk itu tibalah masanya berangkat ke pesantren untuk mendaftar. Puang sama sekali tidak kenal pesantren, dan juga tidak tahu apa saja persyaratan untuk masuk sekolah (pesantren).
Sesampai di pesantren kami menemui Kyai Pondok, KH Abdul Djabbar Ashiry. Hal pertama yang beliau tanyakan adalah “siapa nama anaknya?”. Pak Kyai bertanya dalam bahasa Bugis yang sangat halus.
Ayahku hanya menguasai dua bahasa, Konjo sebagai bahasa kampung dan bahasa Bugis. Bahasa Bugis bagi warga Kajang seolah bahasa asing. Jadi sebuah kebanggan bisa berbahasa itu selain bahasa lokal, Konjo.
Beliau memang tidak bisa berbahasa lain, termasuk Indonesia. Ayahku bahkan tidak bisa membaca dan menulis Indonesia. Jika harus menuliskan sesuatu, biasanya dalam bahasa lontara.
“Utteng asenna Puang” jawaban ayah saya ke Kyai Djabbar.
“Aga artina?”, kyai Djabbar kembali bertanya.
Ayah saya hanya tersenyum dan tidak menjawab. Lalu beliau menjelaskan proses pemberian nama itu yang sesungguhnya tidak punya makna.
Ustadz Djabbar kemudian melihat-lihat ijazah SD saya dengan nama Utteng. Lalu tiba-tiba saja beliau mengembalikan ijazah itu dan berkata: “pulang saja dulu ke kampung dan ganti namanya”, dalam bahasa Bugis dengan suara yang sangat halus.
Ayah nampak bingun lalu bertanya: “apa kira-kira nama yang bagus untuk anakku”?
“Muhammad Syamsi saja”, jawab pak Kyai singkat.
Sore itu juga ayah saya balik kampung. Tapi saya sendiri sudah harus tinggal di pesantren, walau sekolah belum mulai. Selain karena pertimbangan ongkos jalan (sewa mobil), juga harapannya saya segera bisa menyesuaikan diri. Untuk sementara saya tinggal di rumah seorang Ustadz (guru pondok) yang juga masih keluarga. Beliau termasuk yang paling berjasa dalam perjalanan hidupku.
Saya sudah serahkan kamu
Yang saya ingin sampaikan adalah ketika ayah saya kembali ke pesantren menyerahkan ijazah dengan nama baru: Muhammad Syamsi Ali. Setelah semua berkas dan proses selesai, beliau akan kembali ke kampung. Sebelum meninggalkan saya beliau mengajak saya duduk di bawah sebuah pohon mangga dan menyampaikan: “Nak, Saya sudah serahkan kamu. Kamu bukan lagi milik saya”.
Saat itu sejujurnya saya tidak tahu apa maksud ayah saya. Sebagai remaja yang baru tamat SD saya seolah tidak peduIi. Apa maksud ayah menyerahkan saya? Apa pula maksudnya bukan miliknya lagi?
Saya tidak peduli. Saya anggap itu ungkapan seorang ayah yang akan meninggalkan anaknya di tempat yang jauh. Mungkin sebuah nasehat agar menjaga diri dan bertanggung jawab.
Dari masa ke masa saya mencoba memikirkan kata-kata ayah saya. Beliau petani biasa, buta huruf, tapi sangat kuat dan tegas. Saya satu dari sebelas putra-putrinya dididik dengan disiplin. Ingin anak-anaknya bisa membaca dan menulis.
“Jangan seperti saya yang tidak bisa membaca dan menulis”. Itu bahasa sederhana beliau agar anak-anaknya jangan tidak sekolah.
Sejak beliau meninggalkan saya di pesantren memang hampir tidak pernah ditengok. Uang sekolah juga kerap kali hanya dititpkan lewat kakak yang masih seolah di kota Makasar.
Saya juga seringkali di saat liburan panjang hanya atau terpaksa memilih untuk tinggal di pesantren. Tentu alasan terutama karena tidak punya ongkos pulang kampung.
Enam tahun saya lewati di pondok. Akhirnya tamat dan siap lanjut kuliah. Saat itulah saya kembali kampung dan menanyakan ke orang tua apa yang harusnya saya lakukan setamat pesantren?
Ayah saya ketika itu hanya menjawab singkat. “Saya sudah serahkan kamu”. Beliau tidak menjelaskan, tidak merinci apa maksud dari menyerahkan itu.
Saya kemudian kembali ke pondok. Hanya diam di pondok. Tidak meminta menjadi tenaga guru, tapi juga tidak tahu mau kemana lagi. Akhirnya saya juga diberikan kesempatan mengajar, tapi tanpa gaji dari pesantren.
Saya jalani hidup itu dari hari ke hari. Tidak tahu kenapa saya tinggal di pesantren. Tidak tahu akan kemana saya di hari-hari dan tahun-tahun ke depan?
Sekitar enam bulan saya mengajar suka rela di pondok. Saya jalani bagaikan burung yang percaya dengan akhir harinya. Bahwa pada akhirnya Allah, Pencipta langit dan bumi, yang mengendalikan segala hal.
Di sebuah malam saya bersama dua teman yang saat itu juga tinggal mengabdi di pondok dipanggil oleh pimpinan pondok dan menyampaikan jika pesantren ada tawaran biasiswa untuk belajar Keluar negeri. Tetapi semua biaya keberangkatan ditanggung sendiri.
Keesokan harinya saya kembali ke kampung. Masih ingat ketika ayah melihat saya, beliau langsung bertanya: “kenapa kamu kembali kampung?”.
Setelah saya sampaikan tawaran untuk sekolah di luar negeri, beliau kembali menjawab: “Saya sudah serahkan kamu”.
Saya kembali bingung. Apa sebenarnya yang beliau maksud? Saya juga tidak mempertanyakan maksud ungkapan itu. Saya ketika itu memahaminya sebagai nasehat agar saya bisa mandiri.
Singkat cerita setelah melalui drama panjang, maklum bagi orang kampung mudah makan. Kita tinggal memerik sayur atau menangkap Ikan di empang. Tapi untuk mendapatkan uang sebesar harga tiket itu bukankah hal mudah.
Untunglah guru saya, yang rumahnya saya tempati pertama kali ketika di pondok memberikan jaminan ke pondok dengan sertifikat tanahnya. Maka pondok pun bersedia membelikan tiket ke luar negeri. Saya berangkat menuju Pakistan melalui Jakarta.
Ayah saya ikut hadir untuk mengantarkan saya ke bandara. Di bandara beliau kembali memeluk saya, lalu berkata: “Nak, saya telah serahkan kamu”.
Saat itu saya hanya memaknai sebagai pesan untuk berhati-hati dan menjaga diri. Tidak paham makna sesungguhnya dari ungkapan itu. Tapi itulah ungkapan uang beliau ulangi untuk saya dari masa ke masa.
Tanpa terasa tujuh tahun saya kuliah di Pakistan, lalu di Saudi dua tahun menjadi staf pengajar di Education Foundation, sebuah yayasan milik Amir Mamduh, salah seorang Pangerang Saudi saat itu. Selama itu pula saya tidak pernah pulang kampung. Seingat saya hanya di saat menikah dan saat akan berangkat ke Amerika.
Kini saya sudah 22 tahun lebih menetap dan menjadi Imam di Amerika Serikat. Mengabdikan diri untuk dakwah, agama dan kemanusiaan. Tidak terasa perjalanan hidup itu semakin jauh. Hampir lebih dua pertiga umur saya jauh dari kampung dan orang tua.
Saya isteri dan anak-anak sering merasakan kerinduan kepada kampung halaman itu. Anak-anak saya semuanya lahir di luar negeri. Seorang di Pakistan, seorang di Saudi, dan empat lainnya lahir di jantung dunia, kota New York Amerika.
Walau semuanya terlahir di luar negeri, dalam dada mereka tertanam kecintaan tanah air. Seringkali saya ungkapkan dengan kata-kata: “jika anda belah dada Ini niscaya engkau temukan merah putih itu”.
Kerinduan itu kerap terjadi di saat lebaran tiba. Mungkin inilah makna mudik dalam tradisi kita. Ada keinginan untuk kembali berkumpul dengan keluarga merayakan Idul Fitri. Tapi bagi Saya pribadi hal itu berat. Maklum tugas di Amerika juga besar.
Di hari lebaran lalu itulah saya merasakan hal sama. Ada kerinduan untuk mudik. Tiba-tiba saja saya mendapatkan pesan singkat dari adik-adik yang sedang pulang kampung dan lebaran bersama. Bunyi pesan singkat: “Puang jatuh di kamar mandi dan masih tidak sadar”.
Pikiran saya berkecamuk. Dada saya terasa sumpek. Perasaan saya mendadak galau dan bingun mau berbuat apa. Walau memang saya ada rencana balik untuk beberapa acara, saya tidak pernah menyangka akan balik untuk menerima sebuah kenyataan itu.
Di hari lebaran itu saya bertugas menyampaikan khutbah Idul Fitri dalam sebuah perayaan hari raya besar. Mungkin itulah acara lebaran terbesar di kota New York. Puluhan ribu jamaah menyatu di lapangan Jamaica High School.
Idul Fitri kali juga dihadiri oleh Wakil Walikota New York (Deputy Mayor), Bendahara Kota (NYC Comptroller) dan Kepala Kepolisan New York. Juga beberapa anggota DPRD New York hadir serta untuk menyampaikan ucapan Selamat.
Semua berjalan lancar. Sholat dan khutbah Idul Fitri berjalan lancar dan sukses. Tapi kegalauan menghantui dengan pesan singkat tadi. “Puang jatuh di kamar mandi dan tidak sadar”, kata-kata itu terngiang di telinga saya.
Maka saya putuskan untuk kembali di hari kedua setelah Idul Fitri. Sehari sebelumnya saya masih menyempatkan diri melihat proses renovasi yang terjadi di pesantren Nusantara Madani, Connecticut.
Setelah menempuh penerbangan dengan Emiates Airline lebih 23 jam di udara; 13 jam ke Dubai, 8 jam Dubai-Jakarta, dan 2.10 jam Jakarta-Makassar, saya tiba di Makassar dini hari. Lalu melanjutkan perjalanan dengan mobil sekitar 5 jam ke Kajang, kampung halaman.
Senang tiba di kampung. Bahagia kumpul dengan keluarga. Tapi kali ini juga hati menangis melihat ayah saya yang selama ini saya kenal kuat dan gagah menghadapi hidup, kini terbaring tidak bergerak. Hanya suara nafas yang tersendat-sendat kedengaran dari mulutnya.
Adik-adik saya yang setia menunggui ayah senantiasa mentalqiin “laa ilaaha illallah” ke telinga ayah. Saya bahagia melihat ayah seolah merespon dengan isyarat di bibir.
Ketika saya duduk di sampingnya saya mencoba membisikkan ke telinganya: “Puang, nakke Utteng” (Ayah, saya Utteng). Utteng adalah nama kecil yang selalu beliau pakai sampai akhir hayatnya. Entah masih mendengar, atau itulah ikatan emosiaonal sang ayah ke anaknya, saya melihat air mata mengalir dari matanya.
Mungkin itu kegembiraan, bukan kesedihan. Kegembiraan bahwa anak-anaknya setelah sekian lama tidak pernah berkumpul, kini semua ada di sampingnya. Bahkan cucu-cucunya semua ada, kecuali yang jauh di Amerika.
Di malam hari saya harus kembali ke Makassar untuk sebuah acara malam itu dan keesokan harinya. Di saat saya sedang berada di kediaman KH Sanusi Baco, tokoh sepuh NU Sul-Sel dan Ketua MUI Sul-Sel, bersama para pimpinan agama Makassar, saat itulah saya kembali mendapat pesan singkat: “inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun. Puang telah tiada”.
Bagaikan disambar halilintar saat itu. Berat untuk saya berkata-kata. Walau saya memperlihatkan sikap tenang, saya merasakan ketidak menentuan. Ada perasaan bersalah karena saya harusnya ada di sisi beliau di saat menghembuskan nafas terakhirnya.
Ketika itu saya hanya mampu menyampaikan ke Bunda Majdah, Ketua Dewan Pembina Forum Kajian Cinta Al-Quran, Rektor Universitas Islam Makassar, dan tentunya isteri calon Gubernur Sul-Sel, Bapak Agus Arifin Nu’mang.
Beliaulah yang mengumumkan ke hadirin, sekaligus meminta Kyai Sanusi Baco untuk memimpin doa bagi ayah tercinta. Saya bahagia siang itu karena puluhan ulama Sul-Sel mendoakan alrmarhum. Apalagi dipimpin oleh seorang ulama besar Sul-Sel, Tuan Gurutta Kyai Sanusi Baco.
Setelah saya memberikan orasi singkat dan doa di acara kampanye akbar paslon Gubernur dan Wakil gubernur no. 2 Sul-Sel siang itu saya langsung cabut ke kampung, Kajang.
Di tengah perjalanan itu seolah semua memori masa lalu bersama Puang (ayah) hadir kembali. Teringat ketika dimarahi, maklum saya cukup nakal waktu kecil. Teringat ketika berada di sawah dan di kebun. Teringat waktu bersama mengigiring kerbau-kerbau piaraan ke sungai untuk dimandikan. Teringat saat-saat indah bersama beliau, dengan segala keindahan hidup di perkampungan.
Tapi yang paling terngiang adalah ketika beliau akan meninggalkan saya di pondok pesantren, di bawah sebuah pohon mangga beliau berpesan: “Nak, kamu sudah saya serahkan. Kamu bukan lagi milik saya”.
Di perjalanan itulah saya menemukan jawaban dari teka-teki yang selama ini masih menggeluti pemikiran. “Kamu sudah saya serahkan”….”kamu bukan lagi milik saya”.
Betapa tidak, saya kembali untuk hadir mendampingi beliau di akhir-akhir perjalanan hidupnya. Justeru karena panggilan tugas, panggilan misi suci, panggilan dakwah Islam, saya harus kembali ke Makassar. Dan beliau meninggalkan dunia sementaranya tanpa kehadiran saya di sisinya.
Sungguh saya sedih. Menyesal tidak hadir memegang dan memeluk beliau menghadapi masa-masa kritis itu. Saya sangat ingin menuntun beliau mengakhiri semua detak jantung hidupnya dengan “laa ilaaha illallah”.
Tapi karena panggilan tugas mulia itulah saya harus pergi. Berat hati ini. Tapi panggilan itu juga Saya yakin menjadikan beliau tersenyum.
Tersenyum karena telah berhasil meyakinkan dan menanamkan dalam diri saya arti “pengabdian” totalitas dalam perjalanan dakwah. Di setiap pori-pori kehidupan ini mengalir darah tanggung jawab dakwah itu.
Dan itulah rupanya makna: “Nak, kamu sudah saya serahkan….”. Saya diserahkan untuk jalan dakwah. “Kamu bukan milik saya lagi..” karena memang saya telah diwakafkan untuk jalan ini.
“Katakanlah inilah jalanku mengajak orang-orang kepada Allah dengan bashirah…” (Al-Quran).
Saya kemudian tersadarkan. Sungguh inilah amanah ayahku. Amanah yang akan saya junjung tinggi dan jalani kapan dan di mana saja hembusan takdir akan membawaku.
Sayapun berjanji: “Wahai ayahku, saya adalah wakafmu di jalan ini. Akan saya jalani sepenuh hati. Dan engkau akan selalu hadir dan menjadi bagian terpenting dari perjalanan ini. Setiap jengkal kebajikan di jalannya, engkau pasti menjadi bagian darinya”.
Saya sedih karena tidak hadir di penghembusan nafasnya yang terakhir. Tapi saya bangga karena amanahnya telah dan akan saya jalani. Saya bukan lagi miliknya. Tapi milik wakafnya di jalan Allah Ta’ala.
Kajang, 20 Juni 2018.
*Utteng, Satu dari sebelas putra-putri Puang Ali bin Ka’ru Patippangi.