Nusantarakini.com, Jakarta –
Dia berdiam seorang diri menatap gelapnya malam di luar bangunan asrama, tepatnya di selasar menuju masjid sambil termenung. Sementara santri-santri lainnya asyik bercengkrama di kamar asrama dan sebagian bersiap siap untuk tidur, karena waktu sudah menunjukkan pukul 21.45 WIB.
Aku lihat dia melihatku keliling di depan 2 asrama besar, karena kebetulan malam itu aku punya kesempatan untuk nengok keadaan santri di malam hari. Kemudian aku hampiri santri tersebut.
“Assalamualaikum kaifa hal Hanif?” Tanyaku. “Bekher ustadz”, jawab santri tersebut sambil malas menanggapi sapaanku, kemudiaan aku lanjutkan, berbincang dengannya, ” Eich udah kabir (besar) kok nangis ?”, tanyaku lagi, “Iya ustadz kemaren katanya mama, mau kesini jenguk aku, tapi g jadi jadi. Padahal janjinya hari ini ke sini,” katanya dengan wajah murung.
Oh… mau telepon mama nanya jam berapa berangkat ke sininya ?” Tanyaku…
Ia mengangguk dan wajahnya jadi sumringah.
Kupinjamkan HP, dan dia bercakap di depanku…
Mama jadi kesini jam berapa? Tanyanya….
Wajahnya tiba-tiba berubah, matanya berkaca-kaca.
Oh …. iya…. iya udah gak apa-apa… tapi nanti mama jenguk aku yaa?? Kapan ma??
Wajahnya terlihat semakin kecewa dan air matanya mulai jatuh, di serahkan hp yang masih tersambung.
Halo.. assalamualaikum… afwan um, gimana? Tanyaku…
Iya ustadz.. tolong kasih pengertian anak saya yaa… saya gak bisa jenguk. Sebenernya sih kita emang gak mau sering jenguk, karena kita gak mau dia terlalu manja. Dia bulak-balik minta ijin pulang, cuma takutnya kalau dibawa pulang dia gak mau balik lagi ke pondok. Biarin aja lah mau nangis terus sekarang ini, ana insya Allah percaya sama pondok, nanti juga lama-lama biasa, kata sang bunda di ujung telepon sana.
Keningku mengernyit mendengar ucapan sang bunda, gak dijengukin aja um, barang sesekali, soalnya tidak hanya sekali ini saya dapatin putranya nangis terus, mohon kasih pengertian putranya? Kasihan um putranya sedih. Ku coba melobby hatinya…
Enggak lah ustadz, biarin aja. Nanti juga lama-lama biasa, suaranya terdengar yakin diujung telepon…
Baiklah… bukankah setiap orang tua memiliki hak memilih cara mendidik anak-anaknya.
Ku tutup telepon, ku tarik nafas panjang dan menghembuskanya pelan-pelan. Kutatap mata berurai air mata tanpa isak, hanya ditemani tatapan kosong entah memandang apa.
Mama belum bisa kesini Nif… nanti kalau mama gak repot mama mu nanti ke sini. Sementara ini biarkan ustadz yang jadi orang tua buat mu yaa… boleh? Tanyaku…
Dia mengangguk lemah, air matanya semakin banjir, kali ini pundaknya hingga terguncang-guncang menahan isak. Sesak rasanya dada ini melihatnya, tapi kucoba untuk berusaha menenangkannya.
Yaa sudah… keluarin aja sedihnya sampai puas.. boleh kok nangis..boleh kataku…kubiarkan dia menangis.
Aku kayak dibuang ustadz, santri lain di telepon, ditengok, diajak jalan ke Salatiga, Solo, Yogya, sedangkan aku enggak. Ana sedih tadz, gak ada tempat ngadu, gak ada tempat cerita, ana sendirian ucapnya ditengah isak.
Iyaa… sekarang kan yang nengok ustadz, kamu kan g sendirian, ada musyrif ada wali kelas. ada teman teman kamu yang juga dari jauh mondok disini.., sudahlah nanti kamu boleh cerita ke ustadz, boleh ngadu, “g usah takut dibilang “lemes” (*_sering ngadu*_) “istilah santri di pondok”. Sembari menenangkan.
Dia menganggukk.. perlahan tangis dan isaknya mereda. Dia bercerita bagaimana dia merasa tertekan atas sikap teman-teman sekelasnya, merasa terintimidasi dengan sikap teman sekamarnya. Ia sedang merasa sedih karena merasa diperlakukan tidak adil. Aku hanya mendengarkan hingga ia selesai bercerita lalu memberi sedikit nasehat. Ia semakin terlihat tenang.
Makanan kesenanganmu apa? Tanyaku
Sop Iga.. jawabnya..
Ya udah nanti minggu depan In sya Allah kita jalan ke Salatiga, tahu Joglo Bu Rini kan… disana sop iganya enak lho…
Beneran ustadz soalnya ana sering denger santri lain klo diajak makan sama ortunya kesitu, katanya “Ajib stadz” tpi ana g tahu tempatnya ? Tanyanya…
Insya Allah nanti ustadz ajak kamu. cuma enak apa enggaknya enggak tau, kan ustadz g tahu kayak apa seleramu, yang penting nanti kita jalan….kataku
Dia tersenyum….
Ustadz g pulang… ini sudah malam ?
Iya bentar lagi ? Tapi kamu jangan nangis lagi yaaa…
ustadz sdh biasa kok sampai malam kayak gini, kan g sering sering.
Wajahnya jadi sumringah….
Udah sana segera tidur sudah hampir jam 23.00, jangan lupa lapor musyrif nanti dighoib lho.. semangat yaa nak…
Dia tersenyum dan kembali bersemangat.
Melihatnya berlari-lari kecil membuatku terharu…sesederhana itu saja sebenarnya menyenangkan hatimu…
Bagiku intensitas kita berkomunikasi dan menjenguk anak-anak bukan soal percaya tidak percaya pada pihak pondok. Tapi soal kewajiban orang tua memenuhi hak psikologis anak yang masih jadi kewajiban orang tua.
Anak laki-laki usia 12-13 tahun belum usia baligh dimana dalam islam dianjurkan untuk dekat dengan orang tuanya.
Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Ada yang bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, sampai kapan?” “Sampai mencapai baligh bila laki-laki dan haidh bila perempuan,” jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya. Al Hakim berkata bahwa hadits tersebut sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim).
Hadits tersebut sebenarnya membicarakan tentang pengasuhan anak ketika terjadi suami-istri bercerai, siapakah yang berhak mengasuh anak tersebut.
Namun hadits itu juga mengandung faedah lainnya. Hadits tersebut berisi penjelasan bahwa sebaiknya anak tidak jauh dari ibu atau orang tuanya ketika usia dini. Karena usia tersebut, anak masih butuh kasih sayang orang tua, terutama ibunya.
Namun dikarenakan kondisi lingkungan dan berbagai media yang mengancam aqidah dan akhlak, maka kebanyakan orang tua yang sadar akan dampak negatif tersebut, banyak memilih memasukkan anaknya kedalam pesantren agar tertanam erat aqidah dan akhlaknya, tapi bukan berarti boleh melepaskan begitu saja hak anaknya untuk dekat dengan orang tua.
Dari Abu ‘Abdirrahman Al Hubuliy, dari Abu Ayyub, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dan orang yang dicintainya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi no. 1283. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).
Maka untuk mengakomodir kewajiban orang tua menanamkan aqidah dan akhlak mulia anak dan melindungi dari lingkungan yang berpotensi merusak akhlak, sebelum usianya baligh beberapa orang tua yang memiliki dasar pemahaman sesuai hadits ini akan menjaga kualitas komunikasi dan kedekatan dengan anak.
Banyak orang tua berpikir..aah lama-lama juga terbiasa…lama-lama juga betah tanpa mempertimbangkan hak psikologis dan batin anak. Menjadi betah di pondok karena sekedar terbiasa akan berbeda hasilnya dengan menjadi betah karena merasa pondok tak ubahnya rumah yang tetap terisi aroma kasih sayang orang tua karena proses adaptasi bertahap dengan pendampingan orang tua.
Pondok yang paling cocok dengan anak-anak diusia dini bukanlah pondok yang walaupun jauh dengan memiliki asatidzah yang hebat dan fasilitas yang mantap, tapi pondok yang dekat dan tidak menjauhkan anak anak baik dari segi jarak maupun mental, agar chemistry kedekatan anak dan orang tua tetap terjaga. Dan ingatt usia 12-14 tahun adalah masa pubertas anak yang sarat dengan gejolak jiwa yang perlu kedekatan komunikasi.
Berapa banyak anak yang lulus pondok kualitas akhlak dan aqidahnya lebih buruk daripada yang tidak mondok?
Berapa banyak orang yang hafidz Alquran namun gagal mengimplementasikan makna alquran sesungguhnya.
Berapa banyak anak yang lulus dari pondok kehilangan kelembutan cinta karena merasa kurang dicintai.
Berapa banyak anak yang justru hambar hubungannya dengan orang tua dan menjalankan kewajibannya pada orang tua hanya sekedar kewajiban tanpa cinta.
Walau bagaimanapun semua tergantung anaknya dan orang tuanya. Karena ustadz / ustadzah hanyalah fasilitator dan fasilitas hanyalah pendukung. Sedang dasar akhlak dan aqidah anak anak tetaplah kewajiban kita sebagai orang tua karena kita yang akan dihisab soal itu, bukan ustad/ustadzahnya.
Banyak orang tua mampu menjadikan anak-anak yang shalih, tapi tidak semua anak shalih ingat untuk selalu ingat mendoakan orang tuanya saat ada, apalagi setelah tiada. Karena antara ada dan tiada orang tua, mereka biasa merasa orang tuanya tidak ada di masa-masa ia membutuhkannya. (sed)
Disarikan dari internet