Nusantarakini.com, Jakarta –
Menuliskan “kata pembuka” untuk buku Prof Dr M Dawam Rahardjo (MDR) merupakan kehormatan tersendiri. Mas Dawam –demikian ia biasa dipanggil oleh kalangan dekatnya– adalah mentor dan pembimbing, khususnya bagi banyak mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, pada awal 1980-an. Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Hadimulyo, Azyumardi Azra, Iqbal Abdurrauf Saimima (almarhum), Hari Zamharir, Ahmad Rifai Hassan (Pipip), dan saya sendiri, adalah sebagian dari mereka yang beruntung memperoleh tutorial langsung darinya.
Pada tahun-tahun itu, setiap hari Rabu siang, kami bertemu di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) –sebuah lembaga studi prestisius yang pernah dimotori oleh beberapa pemikir dan aktivis yang mempunyai asal usul sosial, bahkan mungkin genealogis, PSI dan Masyumi. Di situ, kami diperkenalkan secara lebih lanjut dengan sejumlah teori sosial –termasuk ide-ide Richard Falk tentang peace research, Andre Gunder Frank, Cardoso, dan Johan Galtung tentang teori ketergantungan, atau de-schooling society-nya Ivan Illich.
Meskipun demikian, adalah jauh dari maksud Dawam untuk menjadikan kami sebagai students of social sciences. Alih-alih, yang dikehendakinya adalah membukakan pintu bagi kami untuk mempertim-bangkan pentingnya perspektif ilmu-ilmu sosial dalam pengembangan akademik kami yang berlatar belakang agama itu.
Demikianlah, maka yang justru sering menjadi agenda kami adalah diskusi tentang agama (Islam), baik yang menyangkut aspek filsafat, teologi, fiqh siyasah, sejarah, atau pemikiran Islam pada umumnya. Al-Quran pun –khususnya dalam hal bagaimana kitab suci ini dipahami– tak luput dari perbincangan kami.
Tak puas menjadikan kami sebagai counterpart dalam mendiskusikan al-Quran (kendatipun sudah ada Pipip yang sering dijadikannya sandaran ensiklopedik, dengan menggunakan Mu’jam al-Mufahrasy li al-fadh al-Quran sebagai rujukan). Dawam mendatangkan Ustadz Isa Bugis yang dinilainya memiliki pendekatan alternatif.
Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa perhatian Dawam terhadap pemikiran keagamaan Islam bukan sesuatu yang tumbuh pada masa-masa itu. Ia sendiri lahir di lingkungan santri di desa Tempursari, Solo. Beserta keluarganya, ia tidak saja akrab dengan pranata-pranata sosial kemasyarakatan Islam, seperti Pondok Pesantren Jamsaren, Perguruan al-Islam, Pesantren Krapyak, atau organisasi Islam perkotaan Muhammadiyah, tetapi juga dekat dengan kyai-kyai berpengaruh seperti KH Imam Ghozali, KH Ali Darokah, Ustadz Abdurrahman –orang-orang yang mengajarkannya bahasa Arab, Fiqh, Tafsir, Hadits, dan Tajwid di tingkat dini. Walaupun dalam hal karir akademiknya, orang lebih mengenalnya sebagai “jebolan sekolahan” yang pernah mengenyam –melalui program American Field Service (AFS)- pendidikan SMA di Boisie, Idaho, Amerika Serikat, dan berhasil menggondol gelar sarjana ekonomi dari UGM.
Kalau Solo merupakan tempat di mana Dawam mendapatkan dasar-dasar pemahaman mengenai Islam, maka di Yogyakarta-lah minatnya terhadap pemikiran ke-Islam-an berkembang. Setidak-tidaknya ada tiga hal penting yang perlu disebut sehubungan dengan yang terakhir ini. Pertama adalah situasi sosial-keagamaan dan politik Indonesia. Sebanding dengan periode-periode sebelumnya, Indonesia pada dasawarsa 1960-an masih disibukkan oleh antagonisme ideologis dan politis antara Islam dan negara. Situasi demikian muncul antara lain karena idealisme dan aktivisme para pemikir dan praktisi politik Islam generasi pertama yang tempo-tempo kental nuansa formalistik dan legalistiknya. Kecenderungan demikian telah mendatangkan implikasi-implikasi sosial-politik yang tidak menguntungkan komunitas Islam. Inilah kemudian yang menimbulkan dialektika pemikiran dan aktivisme baru, yang dikembangkan oleh generasi yang lebih muda, untuk menemukan sintesa yang memungkinkan dalam soal hubungan antara Islam dan politik/negara. Dalam kerangka itulah, mereka merasa perlu melakukan kajian ulang atas posisi agama (Islam) dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik keseharian –khususnya yang menyangkut dasar-dasar teologisnya.
Kedua, keterlibatan Dawam di dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Yogyakarta. Sebagai organisasi mahasiswa Islam kota terbesar pada waktu itu, HMI tidak kebal dari pengaruh-pengaruh situasional seperti digambarkan di atas. Sebaliknya, aktivis-aktivis HMI justru memainkan peranan penting dalam memberikan respons terhadap situasi sosial-politik Indonesia. Hal ini tampak dalam wacana yang dikembangkan oleh para tokohnya, baik yang ada di Yogyakarta maupun di Jakarta, yang berusaha untuk mengkaitkan Islam dengan persoalan-persoalan keseharian yang lebih empirik sifatnya. Meskipun secara keorganisasian, keharusan untuk mengembangkan dialektika pemikiran dan aktivisme baru ini tidak pernah menjadi kebijakan resmi organisasi, tetapi HMI tetap memberikan semacam institutional leverage kepada para kadernya melalui training-training yang diselenggarakannya secara periodik. Untuk itu, tidak terlalu berlebihan jika Victor Tanja mengingatkan bahwa dalam kurun-kurun itu HMI memiliki posisi ideologis penting dalam pengembangan wacana pemikiran baru.
Ketiga, aktivitas Dawam di dalam kelompok diskusi yang dipimpin Prof. Dr. Mukti Ali –Limited Group. Kelompok diskusi yang dihadiri secara rutin oleh, antara lain, Syu’bah Asa, Saifullah Mahyuddin, Djauhari Muhsin, Kuntowijoyo, Syamsuddin Abdullah, Muin Umar, Kamal Muchtar, Simuh, Wadjiz Anwar –di samping Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Mansyur Hamid, dan Dawam Rahardjo sendiri, ini terbiasa membahas masalah-masalah keagamaan, sosial, politik dan sebagainya secara terbuka, tanpa perlu merasa takut untuk dicap telah keluar dari kaidah-kaidah religius dan teologis yang lazim.
Ketiga faktor ini memberikan Dawam –bersama-sama aktivis dan pemikir Islam muda lainnya, termasuk Djohan Effendi dan Ahmad Wahib– kesempatan untuk melihat Islam dalam konteks ke-Indonesia-an secara lebih empiris. Ia tak lagi tertarik untuk memahami Islam dalam konteks tekstual per se tetapi dalam konteks persoalan yang berkembang di bumi Nusantara. Ia pun tak lagi melihat al-Quran dalam perspektif Ilmu Tajwid saja, tetapi membacanya dan membahasakannya dalam konteks kebutuhan-kebutuhan yang lebih riil. Karenanya, ketika kebuntuan hubungan ideologis antara Islam dan negara masih saja terasakan, ia misalnya menulis dalam majalah Islam yang didirikan dan dipimpin Buya Hamka, Panji Masyarakat, tentang hal ini. Tulisnya, “meskipun Islam –sebagai agama– mengandung ajaran-ajaran sosial politik, ia dalam dirinya sendiri bukanlah sebuah ideologi. Ideologi Islam [pada dasarnya] tidak pernah ada.
Ketika kehidupan mahasiswa dan HMI-nya usai (akhir 60-an), Dawam pindah ke Jakarta. Pada mulanya ia membina karir dengan bekerja di Bank of America. Barangkali bekerja di lembaga perbankan memang bukan habitatnya. Setelah hanya dua tahun berada di Bank of America, ia memutuskan untuk keluar dan memilih bergabung dengan LP3ES. Di lembaga inilah sebenarnya tempat Dawam dalam pergumulan pemikiran Islam Indonesia terumuskan. Kesediaannya untuk membimbing sejumlah mahasiswa IAIN Jakarta pada awal tahun 1980-an memberinya kesempatan untuk secara prolifik mendiskusikan dan menuliskan kaitan-kaitan antara Islam ideal dengan Islam historis atau empiris.
Akan tetapi, posisinya sebagai aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengharuskannya untuk melangkah lebih jauh, sehingga membuat Islam tampak lebih relevan bagi kebutuhan publik sehari-hari. Dalam konteks inilah ia –bersama-sama dengan Sudjoko Prasodjo, Adi Sasono, dan Utomo Danandjaja– memilih untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih konkrit, sebagai ekspresi dari semangat kesantriannya di satu pihak, dan pemahamannya atas persoalan-persoalan kerakyatan di pihak lain.
Sebenarnya Dawam menyadari bahwa masalah yang dihadapi umat Islam lebih banyak bersumber pada persoalan politik. Pemikiran dan praktik politik Islam lama ikut mempengaruhi pandangan pemerintah terhadap komunitas Islam. Demikian kuatnya pengaruh itu sehingga baik pemerintahan Soekarno maupun Soeharto sampai pada kesimpulan untuk melakukan domestikasi terhadap Islam. Akibatnya, tidak saja Islam ditolak sebagai dasar ideologi dan agama negara, tetapi komunitasnya berkali-kali diperlakukan sebagai “kelompok minoritas” atau “kelompok luar” dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik nasional. Pendeknya, seperti pernah disinggung oleh Donald K. Emerson, Islam telah berhasil dikalahkan sepanjang sejarah politik Indonesia moderen, baik secara konstitusional, fisik, birokratis, elektoral maupun simbolik. Di atas itu, yang paling menyedihkan adalah bahwa Islam seringkali menjadi sasaran ketidakpercayaan, dicurigai menentang ideologi negara Pancasila.
Fenomena seperti ini mempunyai implikasi sosial-ekonomi dan politik yang sangat luas. Demikian buruknya perlakuan yang diterima oleh komunitas Islam, sehingga dalam persepsi almarhum Mohammad Natsir, negara telah memperlakukan Islam seperti “kucing kurap.”
Dalam pandangan Dawam, apa yang dilakukannya sejak akhir 1960-an bersama-sama pemikir dan aktivis Islam lainnya, khususnya mereka yang tergabung dalam HMI, adalah untuk mengubah situasi politik yang tidak menguntungkan ini. Dalam konteks ini, menurutnya ada tiga mazhab pemikiran. Pertama, pembaharuan keagamaan / teologis yang memfokuskan diri pada pencarian dasar-dasar teologi baru yang memungkinkan terciptanya sintesa yang memungkinkan antara Islam dan negara, terutama dilihat dari sudut hubungan politiknya. Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, dan Munawir Syadzali merupakan tulang punggung aliran ini. Kedua, pembaharuan politik / birokrasi yang bertujuan untuk menjembatani hubungan antara Islam dan pemerintah, sehingga kecurigaan-kecurigaan politik dan ideologis bisa dikikis –paling tidak dikurangi. MS Mintaredja, Sulastomo, Akbar Tanjung, Bintoro Tjokroamidjojo, Mar’ie Muhammad, Sya’dillah Mursid merupakan sebagian dari aktivis yang bergerak di jalur ini. Ketiga, aliran transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan. Perhatian utama kelompok ini adalah melakukan pemberdayaan sosial-ekonomi dan politik masyarakat bawah, baik yang ada di pedesaan maupun perkotaan. Sudjoko Prasodjo, M. Dawam Rahardjo, Tawang Alun, Utomo Danandjaja, dan Adi Sasono adalah pionir gerakan ini.
Secara konkordan, ketiga aliran di atas terbukti telah bergerak secara sinerjik –meskipun benturan dan gesekan antara satu aliran dengan aliran yang lain seringkali tak terhindarkan. Akan tetapi, periode akhir 1980-an atau awal 1990-an menunjukkan bahwa kerja keras mereka selama kurang lebih dua dasawarsa membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Kecurigaan menipis, dan akomodasi negara atas sejumlah aspirasi Islam terlaksana.
Untuk pihak-pihak tertentu, pengelompokan di atas sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak bersifat clear cut. Dawam sendiri, sejak awal telah menaruh perhatian yang cukup besar pada dua aliran pertama –pembaharuan keagamaan dan politik / birokrasi. Meskipun dalam hal yang terakhir ini (i.e. pembaharuan politik / birokrasi), ia lebih banyak terlibat dalam pengembangan wacana, dan bukandlm kegiatan praktis –sampai kemudian ia bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) di era reformasi (1998).
Seperti telah disebutkan, LP3ES merupakan lingkungan kerja yang kondusif bagi Dawam untuk menempatkan transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan sebagai prioritas perhatiannya. Dalam kerangka ini, pada awal tahun 1970-an, bersama Sudjoko Prasodjo yang bergerak melalui lembaga Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) dan Tawang Alun yang juga bekerja di LP3ES, mereka merupakan figur yang menonjol yang mengawali program-program transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan.
Dalam hal ini, mula-mula Dawam mengembangkan program industri kecil –sesuatu yang dianggapnya mempunyai makna strategis-ekonomis untuk diperkenalkan kepada masyarakat bawah. Di situ secara inheren juga tercakup semangat perlunya meningkatkan daya kewirausahaan rakyat. Yang relatif monumental adalah agenda pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren. Ia melihat lembaga pendidikan tradisional Islam ini jumlahnya banyak. Melalui serangkaian program pemberdayaan, tak pelak pesantren akan mampu berperan sebagai agent of change –demikian istilah yang paling populer ketika itu– bagi masyarakat di tingkat paling lokal. Ini diyakini akan mempunyai dampak sosial-ekonomi yang cukup berarti di tingkat akar rumput.
Agar kegiatan-kegiatan seperti ini berhasil, Dawam percaya bahwa hal itu tidak bisa dilakukan “sendirian”. Keterlibatan pemerintah, yang memang mempunyai networking birokratis dan program pembangunan yang sebanding, adalah perlu. Untuk itu, ia melihat Departemen Perindustrian, Departemen (waktu itu) Nakertranskop, dan Departemen Agama sebagai partner yang layak untuk dilibatkan. Bahkan ia berusaha memasukkan program pembangunan masyarakat melalui pesantren ke dalam agenda resmi Departemen Agama untuk dijadikan proyek nasional. Menarik untuk disebutkan, ketika itu Departemen Agama dipimpin oleh Mukti Ali –mentor dan pembimbingnya di kelompok diskusi Limited Group.
Demikianlah, pesantren-pesantren di seluruh Indonesia diramaikan dengan berbagai program Pendidikan dan Latihan Ketrampilan (Diklatram). Sejumlah program ketrampilan diselenggarakan untuk memberdayakan pesantren secara sosial-ekonomi. Karena program seperti ini, banyak pesantren yang antara lain mulai mengembangkan peternakan ayam, sapi, dan kambing; melakukan sejumlah kegiatan pertanian yang mempunyai nilai ekonomis; bahkan menyelenggarakan kegiatan perbengkelan, fotografi, dan sebagainya. Intinya adalah memberdayakan potensi sosial-ekonomi rakyat.
Meskipun bersifat sosial-ekonomis, bidang yang digeluti Dawam ini bukan tanpa intonasi politis. Dalam konteks tertentu, apa yang dilakukannya –tentu beserta teman-temannya– sebenarnya dapat juga disebut sebagai the political arm dari mazhab pembaharuan keagamaan/teologis yang memang tidak mempunyai “kaki.” Sebab, salah satu tujuan utama dari kegiatan transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan ini adalah untuk menciptakan suatu infrastruktur yang kuat. Dalam hal ini adalah, membangun basis politik Islam yang sesungguhnya pada tingkat akar rumput, yang dapat mendukung sebuah sistem politik yang terbuka dan partisipatif.
Karenanya, agenda transformasi sosial-ekonomi dan kemasyarakatan ini juga dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan kesadaran masyarakat luas (societal empowerment). Syukur-syukur, strategi ini dapat menciptakan kelas menengah yang otonom –unsur pokok dalam pembentukan masyarakat yang kuat dalam hubungannya dengan negara. Dalam kerangka teoritis, keberadaan kelas menengah yang otonom atau masyarakat madani yang kuat merupakan faktor penting bagi pengembangan kehidupan politik yang demokratis.
Meskipun demikian, itu semua diagendakan bukan dalam konteks persaingan antara masyarakat dan negara. Apalagi diwarnai oleh kebencian-kebencian yang tidak kontributif terhadap negara –sesuatu yang sering dituduhkan pemerintah Orde Baru kepada kalangan intelektual-aktivis. Alih-alih, Dawam –sambil tetap berlaku kritis– menunjukkan pentingnya bahu-membahu dengan negara demi kepentingan rakyat yang sebenarnya, seperti yang ia tunjukkan dalam kerjasamanya dengan sejumlah departemen di atas.
Di sinilah, saya kira, letak sinerginya pendekatan dan “proyek” yang dipilih Dawam dengan agenda pembaharuan keagamaan/teologis di satu pihak, dan pembaharuan politik/birokratis di pihak lain. Masing-masing bekerja sesuai dengan bidangnya, untuk mencapai sesuatu yang telah digariskan bersama.
Bahtiar Effendy
Dosen Pasca-Sarjana IAIN Jakarta
Tulisan merupakan Kata Pengantar dalam Buku M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat), Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1999.
Source: http://adibsusila.blogspot.com/2012/?m=1