Nusantarakini.com, Jakarta –
Jika Hanura mau diselamatkan, Oesman Sapta Odang (OSO) harus keluar. Dan, kembalikan Ketum Hanura kepada Jenderal Wiranto. Masalah utama kasus ini, perlunya tokoh yang mampu membawa Hanura selamat hingga tujuan di tahun politik ini.
Hingga saat ini, Hanura hanya memiliki tokoh semata wayang: Wiranto! Tapi kesalahan terbesar Wiranto, adalah menyerahkan kekuasaan Hanura kepada OSO. Tentu saja OSO bukan orang yang tepat untuk membawa Hanura kepada cita-cita komunitas parpol hati nurani rakyat ini. OSO piawai di urusan bisnis, tapi tak ada bukti bahwa OSO mampu memimpin parpol. Parpol PPD dan PPN adalah bukti kasus kegagalan OSO.
Memimpin parpol itu laksana masinis kereta api. Pesan harus disampaikan ke tiap gerbong yang isinya tidak seragam. Ada profesor, ada buta huruf, ada kaya raya, ada sangat miskin. Tapi semua harus ikut. Maka pesan dalam perintah manajemen harus disampaikan hingga gerbong terakhir, baru baik lagi ke gerbong pertama. Lamban, rumit, disparitas tinggi, baru manajemen mengambil keputusan.
OSO tak punya karakter ini. Ia one man show, pemarah, arogan, otoriteriterian dengan tricky menyimpang dari azas manajemen partisipatif. Sebaliknya, Wiranto punya, humble, dan teruji. Tak ada memang jalan lain bagi Wiranto untuk menyelamatkan Hanura, selain mengeluarkan OSO. Ketika Presiden Jokowi mengizinkan rangkap jabatan oleh Airlangga menjadi Menteri Perindustrian merangkap Ketum Golkar, manuver penyelamatan Hanura ia lancarkan. Jabatan Ketum Hanura harus ia ambil dari OSO. Sebelumnya, merangkap Ketum Hanura sekaligus Menkopolhukam belum boleh. Setelah kasus Airlangga, sudah boleh. Ini manuver Presiden Jokowi yang menghilangkan standar manajemen kabinet kerja kerja kerja.
OSO membalas dengan manuver: membawa Presiden Jokowi ke rumahnya, selfie-selfie, sebagaimana kiat medsos membentuk pola komunikasi untuk pressure. OSO adalah satu dari empat pembisik Presiden Jokowi bersama Jenderal Gores Mere, Jenderal Tito Karnavian, dan Jenderal Luhut Binsar Panjaitan. Tentu saya paham kiat OSO karena saya jadi Wasekjen Hukum DPP HKTI OSO sejak kongres Bali, pemecahan dari HKTI Prabowo, sebelum periode itu saya Ketua Komite Hukum HKTI sepanjang dipimpin Jenderal Prabowo, sebelum pecah belah di Inna Hotel.
OSO juga dengan cepat meminta pengesahan Menkumham, atas kepengurusannya. Kemarin saya dengar Tommy Sihotang telah mengajukan gugatan terhadap surat pengesahan Laoly itu, order Wiranto. Karena itu, saya tak yakin sudah ada islah Manhattan vs Ambhara, lebih dari dramaturgi as if ala sosmed: Manuver vs Manuver di lingkungan Presiden Jokowi. Kali ini, pusing rapopo Pak Bro.
Jika fokusnya untuk menyelamatkan masa depan Hanura, harus diakui bahwa Ketum Hanura kudu kembali dijabat Wiranto. Itu juga segera memberikan peran penting bagi Wiranto, lebih dari sekadar Menkopolhukam dan nilai strategik bagi pilpres Jokowi. Juga bagi existing Hanura. Saya memang tak melihat ada masa depan Hanura di tangan OSO, apa yang bisa ia lakukan? Toh duit sudah berkelimpahan, sementara OSO sudah lama tak panen. Niscaya berakhir seperti PPD dan PPN. Gone with the win! [mc]