Nusantarakini.com, New York –
Barangkali tidak ada kontrak dalam hidup manusia yang lebih penting dari kontrak pernikahan (akad nikah) dua hamba Allah beda jenis (pria dan wanita). Institusi pernikahan ini adalah institusi tertua dalam hidup manusia. Institusi nikah bermula sejak diciptakannya pasangan manusia (Adam dan Hawa). Sejak itu pula pernikahan menjadi sunnatullah (aturan Allah) yang berlaku bagi semua hambaNya.
Pada tataran individu pernikahan itu adalah kunci ketentraman dan kedamaian hidup. Melalui pernikahan seseorang akan menemukan ketentraman hidup dan ketenangan batinnya. Realita ini yang diekspresikan oleh Allah Yang Maha Tahu: “Dan di antara tanda-tanda kebesaranNya adalah Dia menciptakan kamu dari diri-diri kamu pasangan-pasangannya agar kamu merasakan ketenangan kepadanya. Dan Dia (Allah) mengadakan rasa cinta dan kasih sayang di antara kalian. Sungguh pada yang demikian itu adalah tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berilmu.”
Pada tataran sosialnya pernikahan itu adalah peletakan batu pertama (corner stone) bangunan masyarakat. Dalam perjalanannya masyarakat akan banyak ditentukan oleh bentuk keluarga yang terbangun dari pernikahan itu. Tanggung jawab sosial (masyarakat) seseorang sejatinya bisa diukur dari tanggung jawab keluarganya. Kegagalan tanggung jawab dalam keluarga boleh jadi sebuah indikasi kuat jika orang itu tidak akan mampu bertanggung jawab secara sosial masyarakat yang lebih luas. Dalam sebuah bangsa yang mengalami banyak “broken family” (keluarga rusak) juga rentang menjadi a broken nation (bangsa yang rusak).
A life journey
Saya menyebut pernikahan sebagai perjalanan hidup. Sebuah tekad untuk bersama dari awal hingga akhir. Dimulai dari kontrak yang besar (mitsaq ghalizh) perjalanan itu dimulai bersama hingga masuk ke dalam syurgaNya.
Untuk perjalanan hidup ini bisa langgeng dan barokah hendaknya pasangan suami isteri memahami beberap realita serius dari pernikahan.
Pertama, bahwa perjalanan ini adalah tanggung jawab. Menikah itu adalah mengambil sebuah tanggung jawab besar. Itulah sebabnya dalam Al-Quran menikah diistilahkan memasuki “kontrak yang berat.” Maka wajar saja jika Rasul SAW menyampaikan bahwa “barangsiapa yang dikaruniai seorang isteri salehah (suami saleh bagi isteri) maka dia telah menyempurnakan seperdua agamanya.” Kenapa menikah menyempurnakan seperdua agama? Karena agama adalah tanggung jawab. Dan tanggung jawab ini terbagi dua: fardi (individu) dan jama’i (sosial). Dan menikah adalah mengambil secara penuh tanggung jawab sosial itu.
Kedua, agar perjalanan hidup itu berhasil hal pertama yang harus diperbaiki adalah visi. Dalam hidup manusia tidak ada yang akan berhasil kecuali dengan visi yang benar. Visi inilah yang lazim disebut dalam bahasa agama dengan niat. Niat itu pula yang akan mewarnai kehidupan seseorang. Sebagaimana disabdakan: “Sesungguhnya amal-amal itu ditentukan oleh niatnya.” Maka bentuk dan warna rumah tangga seseorang akan banyak ditentukan oleh visi pernikahan. Jika niat pernikahan itu karena kecantikan atau harta atau popularitas, maka itulah yang akan didapatkan. Tapi jika visinya untuk mencari ridho Tuhan maka semua akan mengikut di belakang ridho Tuhan yang maha besar itu.
Ketiga, pernikahan itu juga adalah proses pembelajaran terus menerus. Mungkin tidak salah kalau saya katakan bahwa suami dan isteri itu perlu melakukan saling belajar terus menerus. Kata orang learning is a life process (belajar itu adalah proses hidup). Maka untuk pernikahan sukses jangan pernah mencari calon yang sempurna karena tidak akan ditemukan. Tapi belajarlah terus menerus menjadi pasangan yang lebih baik, walau mungkin takkan pernah sempurna.
Keempat, perjalanan ini menuntut kesadaran untuk rendah hati. Bahwa tak satu dari pasangan itu sempurna. Untuk itu keduanya harus belajar untuk rendah hati. Rendah hati atau tawadhu itu berarti mengakui kekurangan diri di satu sisi. Dan mengakui hal positif yang ada pada pasangan di sisi lain. Itulah sebabnya suami bagi isteri dan isteri bagi suami adalah “libaas” (pakaian). Tentu pakaian ini bisa bermakna kesesuaian dan keselarasan. Tapi yang terpenting pakaian itu adalah menutupi aurat (kekurangan) yang ada.
Kelima, perjalanan ini adalah perjalanan yang penuh tantangan (bumpy). Cara yang paling efektif dalam menghadapi tantangan itu adalah dengan membangun solidaritas sosial. Tantangan dalam hidup ini akan semakin ringan di saat pasangan suami dan isteri mampu membangun partnership (kerjasama) yang solid. Itulah sebabnya pula suami dan isteri dalam agama diistilahkan “zauj” atau partner. Tapi untuk kerjasama ini dapat terbangun secara positif, pasangan harus menumbuh suburkan apa yang saya sebut 5 T: ta’aruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), tarahum (saling kasih sayang) ta’awun (saling membantu) dan ta’atsur (saling mengedepankan/self sacrifice).
Keenam, perjalanan ini adalah perjalanan masa depan. Sekali lagi pernikahan itu adalah perjalanan hidup hingga akhir (akhirat). Tapi yang saya maksud di sini adalah mempersiapkan transisi generasi masa depan. Maka menjadi tanggung jawab suami istari mempersiapkan generasi yang solid. Yaitu generasi yang secara fisik dan materi solid, secara akal tajam, dan yang terpenting secara hati sehat.
Ketujuh, bahwa perjalanan ini adalah akhirah oriented journey (perjalanan yang berorientasi akhirat). Suami dan istarti harus menanamkan tekad dari awal bahwa kebersamaan ini adalah kebersamaan abadi dengan izin Allah. Kebersamaan ini jangan cepat berlalu. Tapi kebersamaan dunia-akhirat. Disebutkan dalam Al-Quran bahwa ada sekelompok malaikat yang tugasnya mengangkat “Arsy Tuhan.” Para malaikat ini terus menerus mendoakan para keluarga: “Wahai Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam syurga yang Engkau janjikan kepada mereka. Mereka dan pasangan-pasangan mereka, orang-orang tua mereka yang saleh, dan juga anak keturunan mereka.”
Sedemikian pentingnya pernikahan dan membangun rumah tangga maka tidak ada aturan sosial yang paling terinci penyebutannya dalam Al-Quran melebihi aturan-aturan dalam rumah tangga. Dari mencari calon, menikah, tentang keturunan, bahkan ketika harus terjadi perpisahan (perceraian), bahkan juga yang terkait dengan kematian (wasiat dan warisan). Perhatian ini juga yang menjadikan Rasulullah SAW memberikan perhatian yang luar biasa kepada keluarganya. Sehingga hingga hari Kiamat beliau menetapkan agar sholawat kepada beliau juga harus diikuti oleh sholawat kepada keluarga beliau. “Allahumma sholli alaa Muhammad wa alaa aali Muhammad.” [mc]
*Iman Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.