Nusantarakini.com, Jakarta –
Banyak orang bingung, kemanakah para pemuda yang dulu gagah berani melawan kezaliman? Kemanakah mahasiswa yang katanya Avant Garde pergolakan rakyat melawan ketertindasan? Kemanakah anak anak muda yang suka menyingsingkan lengan baju untuk menegakkan keadilan?
Ternyata mereka menjadi anak millenial yang suka berdandan. Ternyata mereka menjadi anak anak super modern yang hingar bingar di dunia virtual. Ternyata mereka lebih banyak hidup dalam kenyamanan di atas penderitaan rakyat. Ternyata mereka kebanyakan hanya pelacur pelacur intelektual untuk merintis masa depan.
Maka kemudian, ketika dialektika sejarah membutuhkan agen agen perubahan, anak anak muda hilang tak berbekas. Mereka adalah produk produk millenial tanpa jiwa. Manusia yang tidak compatilbe pada tuntutan perubahan, baik jalan reforma maupun Revolusioner.
Ketika sejarah memanggil, untuk menghancurkan Ahok Sang Penindas, kolaborator kapitalis, para pemuda mungkin sedang mimpi basah. Tertidur dalam selimut lembut.
Untunglah sejarah tidak menghiraukan lagi, harus pemuda atau orang tua yang menjadi “Gatot Kaca” yang lahir dari “kawah candradimuka”. Siapa pun boleh asal seorang pemberani, lelaki pemberani.
Sejarah kontemporer memanggil Buni Yani, seorang lelaki pemberani, meski sudah bukan pemuda lagi. Seorang lelaki, seorang dosen, seorang peneliti dan sosok bersahaja. Buni Yani lah yang menggerakkan dan mengguncangkan Jakarta, dengan keberaniannya menyebar “video hina Islam” yang dilakukan Ahok. Buni Yani lah Sang Lelaki Tangguh yang menggerakkan amarah, yang menggerakkan Sukma sukma, yang mengguncangkan jagat raya, sehingga perlawanan rakyat membara dan membakar Jakarta.
Meski Buni Yani bak sebatang lilin kecil yang akan habis terbakar, yang akan di vonis penjara dari rezim yang berjiwa balas dendam, namun Buni Yani adalah lelaki Pemberani. Tidak pernah menangis, tidak pernah mengeluh, tidak pernah minta dikenang.
Namun sejarah akan mencatat, bahwa hari sumpah pemuda hari ini adalah hari sunyi. Hari ini adalah hari di mana para pemuda penikmat mimpi basah. Hari dimana kita tidak perlu bangga dengan pemuda. Hari ini justru Buni Yani lah yang perlu dikenang sebagai lelaki pemberani, seperti jiwa jiwa pemuda di masa 1928.
“Mari hadiri Sidang Vonis Hakim atas Buni Yani, Selasa, 31 Oktober 2017, Pengadilan Negeri Bandung, sambil berdoa buat ketulusan hakim membebaskan Buni.”
*Dr. Syahganda Nainggolan, mengenang Hari Sumpah Pemuda.