Nusantarakini.com, Jakarta –
Rasulullah Muhammad Saw, sebelum wafat masih berucap, “Ummati…ummati…ummati”. Begitulah dalamnya perhatian Rasulullah terhadap keadaan umatnya, kendati nyawa sudah dekat batasnya.
Ummat di masanya, terbukti menjadi yang terbaik sepanjang masa. Tapi bagaimana dengan umatnya sekarang ini?
Bila umat di masanya mampu berhadapan dengan gagah tanpa takut sedikit pun dengan dua kekuatan di masa itu, Imperium Romawi dan Persia, sekarang umatnya tercabik-cabik dan kehilangan harga diri. Kepemimpinan yang menyatukan tidak ada. Setiap ada yang bangkit membangun kekuatan umat, dihancurkan tidak saja oleh orang kafir, tapi juga oleh orang munafik yang mendaku penganut Islam.
Bermilyar penduduk Muslimnya, tapi sama sekali tidak ada wibawa. Karena masing-masing bikin negaranya sendiri-sendiri yang tidak terkoordinasi dan terinterkoneksi.
Mereka hidup dalam plot dan design orang kafir yang akibatkan mereka terperosok dalam daftar mangsa bisnis, politik dan perang orang kafir.
Sekiranya Nabi Muhammad hidup dan melihat realita umat Islam hari ini, dari Indonesia hingga Nigeria, dari India hingga Suriah, dari Rohingya hingga Libya, kita tidak bisa bayangkan betapa terlukanya perasaannya.
Umat yang demikian besarnya, yang tidak sedikitpun sebanding dengan besaran umat di masanya, tapi mutu mentalnya demikian parahnya, kekuatannya demikian rapuhnya, mutu persaudaraannya demikian payahnya, keberanian dan dedikasi keimanannya demikian rendahnya, tentu Beliau akan memikul kesedihan yang mendalam.
Ulama-ulamanya, yang harusnya mewarisi pikiran, mental, daya juang, dan harga diri Nabi yang mulia itu, justru di Indonesia banyak yang menjadi pembela, pelindung sekularisme dan pembantu penggempuran orang-orang yang bermaksud menegakkan marwah dan izzah umat.
Ya Tuhan, ya Nabi, maafkan kami telah menjadi umat yang cemen dan tidak membanggakan padamu.
Jumlah kami banyak. Di Jawa Timur menumpuk. Di Jawa Barat juga. Di Sulawesi juga banyak. Di Sumatera juga melimpah. Di Kalimantan, NTB pun sama. Tapi untuk menuntut hak kami saja, menerapkan syariat yang kami warisi darimu, kami tak mampu. Padahal ini bukan di negeri kafir. Di negeri kami sendiri. Di negeri yang datuk-datuk kami dari generasi Sultan Agung, Diponegoro, hingga Abu Bakar Baasyir menuntut hak historis itu ditegakkan.
Ini semua karena mutu iman dan mental kami tidak selevel Mus’ab bin Umair, Huzaifah, apalagi Umat, Abu Bakar, Ali hingga Utsman. Tentu akan ada generasi sesudah kami yang akan bangkit menuntut hak dan warisannya. Kami boleh mati. Misi dan gagasan akan terus hidup.
~ Syentot Ali Pasha