Nusantarakini.com, Jakarta –
“Pada tahun 1998, Wiranto memerintahkan Rektor, agar mahasiswa dilarang ada kegiatan di luar kampus. Pada bulan September 2017, Jokowi juga mengumpulkan seluruh Rektor. Setipe Wiranto, cuma beda gaya.”
Memasuki tahun 1998, para Rektor Perguruan Tinggi diperintahkan memberkakukan kembali Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Dengan NKK itu, semua kegiatan mahasiswa di luar kegiatan akademik pun harus atas seijin Rektor. Demikian pula kegiatan di luar kampus dilarang, kecuali yang bersifat pribadi. Menyusul instruksi itu, Panglima TNI Wiranto mengancam untuk “tembak di tempat” siapa saja mahasiswa yang membikin kegiatan di luar kampus.
Pada 11 Maret 1998 Soeharto terpilih menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya dan Habibie diambilnya menjadi Wakil Presiden. Wiranto Arismunandar, mantan Rektor ITB terpilih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Melanjutkan kebijakan Wiranto Panglima, Wiranto Mendikbud meminta seluruh Rektor untuk berkumpul. Di situ Mendikbud Wiranto mengulang permintaan Wiranto Panglima, agar mahasiswa dilarang melakukan kegiatan apa pun di luar kampus. Dan siapa pun yang melanggar bisa ditembak di tempat.
Akhirnya kita semua tahu, empat orang mahasiswa Trisakti terbunuh karena bersama-sama temannya yang lain melakukan unjukrasa di luar kampus untuk pergi menuju DPR/MPR-RI. Sekalipun mereka sudah dihadang seregu Polri, digiring masuk kampus dan keempatnya sengaja ditembak mati di halaman kampus; di samping mereka yang terluka.
Jokowi rupanya ingin mengulang kembali peristiwa itu, sadar atau tidak sadar. Akhir September kemarin Joko mengumpulkan seluruh Rektor dan Pimpinan Perguruan Tinggi di Bali. Di situ digelar tema “Gerakan Kebangsaan Anti Radikalisme dan Anti Intoleransi.” Di sini tentu bisa disimpulkan, bahwa target Pak Joko jauh lebih besar, lebih luas dan lebih menakutkan daripada yang dipikirkan oleh Pak Harto waktu itu. Pak Harto hanya ingin agar para mahasiswa tenang menghadapi gejolak ekonomi akibat Krisis Moneter, dan tidak mengganggu Pilpres untuk memilihnya kembali, agar Pak Habibie bisa pula diangkatnya sebagai Wapres. Memang ada soal personal dari target Soeharto, karena beliau ingin mewujudkan janjinya kepada Habibie menjadikannya Presiden RI ketiga.
Sedang Joko ingin mengubah wajah Indonesia. Bukan main! Tidak masuk di akal, seperti menegakkan benang basah! Dugaan saya, Pak Joko mempunyai “Tiga Kacamata,” sebagai bagian tak terpisahkan dari Senjata Trisulanya. Kacamata Merah, Hijau dan Kuning. Kalau memakai Kacamata Merah, seakan-akan dia menjadi Pemimpin Komunis yang mendorong kebangkitan PKI. Kalau memakai Kacamata Hijau, seakan-akan menjadi Pemimpin Barat semacam Donald Trump atau Benyamin Netanyahu yang Anti-Islam. Sedang kalau memakai Kacamata Kuning, seakan-akan menjadi Pemimpin Kolonialis Pendatang macam di Israel, Amerika Serikat, Singapura dan Australia, yang Anti-Pribumi, mau menggusur Penduduk Asli dan menggantinya dengan bangsa pendatang, khususnya Cina.
Jokowi mengajak semua Rektor dan Pemimpin universitas untuk bersama-sama mengubah wajah Indonesia. Faktanya, itulah yang sedang berkembang dewasa ini, yaitu adanya Gerakan-gerakan Pro-Komunis, Anti-Islam dan Anti-Pribumi. Tidak hanya Pak Joko yang membiarkan Gerakan-gerakan itu, tapi para Pembantunya ikut pula aktif mendukung Gerakan-gerakan itu.
Lihatlah, bagaimana sibuknya Polri mengkriminalisasi para Pembela Islam, tetapi membiarkan dengan bebas banyak Penista Islam. Lihat pula bagaimana masuk dan membanjirnya orang-orang Cina RRC ke Indonesia menjadi pekerja, dengan alasan buruh Indonesia tidak cakap dan tidak punya ketrampilan.
Lihat pula, bagaimana para simpatisan Komunis berkeliaran di masyarakat dan di antara para penjabat publik. Sementara Pak Joko sendiri mengatakan, bahwa Peristiwa 65 bukan karena kesalahan PKI, dan bahwa PKI terkena fitnah.
Kopertis III DKI Jakarta yang menghimpun Perguruan Tinggi Swasta sudah mulai termakan oleh isu Anti Radikalisme dan Intoleransi dengan mengadakan Pertemuan di Kampus UKI, Universitas Katolik Indonesia. Lalu yang amat menarik, konon para Rektor dan Pimpinan Universitas itu akan menurunkan para Mahasiswanya menjelang Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober mendatang untuk mengadakan unjukrasa besar-besaran bertemakan “Aksi Kebangsaan Menangkal Radikalisme dan Intoleransi.”
Tentulah Pak Joko pula yang langsung atau tidak langsung, melalui Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang namanya lain), mengkoordinir unjukrasa tersebut. Tentulah ini merupakan Gerakan Memecah-belah Kekuatan Akademik yang menjadi salah satu pilar Kemerdekaan Akademik, Penguasaan Iptek dan Pencerdasan Kehidupan Bangsa.
Di lain pihak para Alumni berbagai universitas, diawali oleh Institut Teknologi Bandung, diikuti oleh Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, Institut Pertanian Bogor, dan universitas-universitas swasta seperti ISTN, Institut Sains dan Teknologi Nasional dan lain-lain menyatakan menolak Proyek-proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Proyek Kota Cina Meikarta. Dari para Konglomerat Taipan Mafia-mafia Cina yang didukung Rezim Jokowi.
Sepanjang Sejarah Indonesia belum pernah terjadi kekacauan menuju keporak-porandaan semacam yang terjadi sekarang. Apa sebenarnya maksud Jokowi?! Saya kira semua orang waras tidak mungkin punya pikiran begitu.
Soekarno yang tidak mau membubarkan PKI saja jatuh. Soeharto yang represif terhadap rakyatnya juga jatuh. Habibie yang tidak mau mengadili Soeharto pun jatuh. Tokoh-tokoh di dunia yang hanya korupsi pun sudah bertumbangan. Sekarang Jokowi mau menjual negara. Terikat kontrak apa dia dena RRC dan pihak Asing?! Tidak hanya wajah Indonesia yg mau diubahnya, melainkan lebih besar dan menakutkan daripada itu, yaitu menghancurkan Indonesia; menghapus Indonesia dari Peta Dunia.
Maka Jokowi harus dihentikan, lewat gerakan menolak Jokowi. Sebelum terjadi korban semacam tahun 1998 itu. Banyak orang hanya ingat tentang korban Trisakti; empat mahasiswa Pahlawan Revolusi itu! Padahal, rentetannya lebih besar daripada itu. Sesudahnya, ada 16 Pemuda dan Mahasiswa yang terbantai oleh pelor-pelor alat negara dalam Peristiwa Semanggi-1. Satu dalam Semanggi-2. Tapi belasan yang gugur dalam Perkara Pam-Swakarsa 1998. Lalu Peristiwa Maluku 1999 yang menyebabkan tewasnya ribuan pemuda Islam dan Kristen di Maluku. Apakah itu yang diinginkan Jokowi?!
Tidak heran, banyak orang mulai menduga, bahwa jatuhnya Soeharto, pada hakekatnya, adalah awal dari gerakan menghancurkan Indonesia. Karena itu, semuanya harus dihentikan. Sebelum tentara Cina RRC dan lain-lain benar-benar ikut membantai Rakyat Pribumi dan Umat Islam Indonesia. [mc]
*Sri Bintang Pamungkas, Dewan Penasehat Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI)