Nusantarakini.com, Jakarta –
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat berlalu, tidak terasa waktu begitu cepat bergulir meninggalkan bulan madu kekuasaan Pemerintahan Jokowi sejak mengucapkan sumpah sebagai Presiden RI Ke-7 tanggal 20 Oktober 2014 silam. Hari ini genap sudah 3 tahun Jokowi memimpin pemerintahan yang menyelenggarakan kehidupan bernegara bagi Bangsa Indonesia. Maka genap sudah waktunya bagi seorang pemimpin atau seorang presiden memenuhi janjinya, karena waktu efektif 3 tahun sudah terlampui.
Besok memasuki tahun ke-4, tentu efektifitas kinerja akan menurun dan konsentrasi akan terpecah menghadapi masuknya tahun politik menuju Pemilu awal tahun 2019 nanti yang dimulai dipanaskan dengan Pilkada 171 daerah pada awal tahun 2018 yang akan tiba beberapa bulan lagi. Dengan demikian, ukuran pemerintahan Jokowi secara umum atau sekitar 80% sudah bisa kita nilai dari 3 (tiga) tahun pemerintahan yang sudah berjalan.
Hari ini, publik juga bisa melihat laporan singkat capaian pemerintahan Jokowi yang disebar terutama dalam situs www.presidenri.go.id/kerjabersama yang meliputi 4 bidang laporan yaitu Ekonomi dan Produktivitas, Pengentasan Kemiskinan, Pembangunan Kewilayahan, dan terakhir Polhukam dan Kebudayaan. Empat bidang ini menjadi fokus pemerintah didalam laporan yang disampaikan.
Sayangnya, membaca laporan tersebut rasanya sedang membaca sebuah artikel opini yang hanya menyampaikan persepsi tanpa fakta dan data serta hampir tidak sesuai dengan realitas kehidupan ditengah masyarakat.
Dari ke-4 bidang yang dilaporkan, semua informasi menyatakan bahwa Indonesia Hebat, kemiskinan menurun, pengangguran menurun, politik stabil, penegakan hukum berhasil, ekonomi tumbuh, infrastruktur daerah dibangun dengan sukses.
Sedikit menggelengkan kepala, saya dengan berpikir dan merenung, beginikah kualitas kejujuran pemerintah menyampaikan informasi kepada rakyatnya? Padahal dari beberapa data termasuk data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia melansir data peningkatan angka kemiskinan. Belum lagi sulitnya lapangan kerja hingga masyarakat berbodong-bondong menjadi tukang ojek dan sopir angkutan online yang sebentar lagi juga terancam ditutup, lemahnya daya beli masyarakat hingga inflasi pun tertahan, mahalnya harga-harga bahan pokok dan bertambahnya beban hidup masyarakat akibat dicabutnya subsidi yang sesungguhnya menjadi hak rakyat.
Realitas yang berbanding terbalik dengan laporan capaian keberhasilan pemerintah. Sekali lagi, semua itu semakin membuat publik berpikir tentang betapa rendahnya kualitas kejujuran pemerintah dalam memeberikan informasi kepada publik.
3 tahun Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi, memang berbagai macam telah dilakukan. Niat Presiden Jokowi dalam membangun infrastruktur harus diapreasi, namun apreasiasi itu kemudian menjadi negatif dalam implementasi dan realisasi.
Presiden dan jajarannya seperti yang sering dilakukan Menko Maritim Luhut Panjaitan, selalu mengklaim kinerja yang luar biasa dari pemerintahan Jokowi. Salah satunya tentang Papua yang menurut Luhut baru dibangun setelah Jokowi, namun Pemerintah, Jokowi atau Luhut tidak pernah menyampaikan secara jernih ke publik tentang Trans Papua yang dibangunnya lokasi dimana, kontrak dengan siapa, anggaran berapa dan dari mana, dimulai kapan dan akan selesai kapan.
Semua sebatas klaim yang disampaikan, padahal Trans Papua sudah dimulai sejak era SBY dengan dasar hukum Peraturan Presiden. Demikian juga dengan klaim jalan tol yang diklaim dengan membandingkannya dengan Pemerintahan SBY dan Pemerintahan Soeharto, tapi tidak berani membandingkan dengan Pemerintahan Megawati.
Jalan tol yang diklaim terpanjang itupun tidak pernah ada rilis data lengkap tentang Lokasi, Kontrak dengan siapa, dimulai kapan, selesai kapan, anggaran dari mana, dasar hukumnya apa.
Hal inilah yang belum pernah dirilis pemerintah, entah mengapa rilis data tersebut tidak pernah ada. Apakah karena takut malu bahwa jalan tol tersebut ternyata adalah peninggalan program pemerintah sebelumnya?* Kembali kepada kualitas kejujuran pemerintah.
Terkait dengan program prestisius Jokowi pembangunan listrik 35 Ribu MW atau 35 GW itupun kini menuju karma mangkrak. Tidak kepastian dan kejelasan dari pemerintah, berapa MW yang selesai dibangun dan COD (Comercial On Date) pada 2019 nanti. Tidak ada pernyataan resmi bahwa pemerintah akan merevisi target capaian dari 25 Ribu MW tersebut, meski sesungguhnya pemerintah telah gagal merealisasikan 35 Ribu MW tersebut hingga 2019.
Sesungguhnya tidak masalah jika target direvisi, namun beranikah pemerintah untuk jujur mengakui kegagalannya? Inilah barang langka dan mahal dari pemeritahan Jokowi, kejujuran.
3 tahun Jokowi menjadi presiden, hanya infrastruktur yang selalu menjadi andalan kampanye dini menuju periode kedua yang selalu di suarakan oleh pemerintah.
Sekali lagi, niat dari Jokowi untuk mebangun infrastruktur patut kita acungi jempol dan apresiasi potif. Namun apakah niat saja cukup? Kejujuran sangat perlu dari pemerintah dalam hal ini, agar publik mengetahui prestasi pemerintah yang sesungguhnya, dan tidak hanya subur serta surplus dalam opini bentukan semata.
Disektor lain, ekonomi dan kualitas kehidupan sosial masyrakat pun menurun. Hampir semua indikator ekonomi menyatakan bahwa bangsa ini merosot dan menurun pertumbuhannya. Dari pertumbuhan diatas 6% era SBY sekarang hanya bertengger dikisaran 5% bahkan itupun patut diragukan mengingat lesunya pergerakan ekonomi ditengah masyrakat. Mungkin pertumbuhan itu bahkan di awah 5%, faktanya banyak retail yang akhirnya harus menutup gerainya karena sepi pembeli. Laba retail anjlok cukup siginifikan.
Realitas ini berbanding terbalik dengan angka-angka statistik tentang cadangan devisa yang tertinggi maupun angka investment rate Indonesia yang meningkat. Dimana investornya? Bahkan untuk mencari hutangan baru pun tampaknya pemerintah mulai kesulitan hingga mengahlihkan kebijakan dari hutang menjadi menjual aset-aset BUMN sebagai cara mencari dana.
Dalam sektor politik dan hukum, ada situasi yang sangat berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Bahkan saat ini penegakan hukum sangat jauh dari cita rasa keadilan, jauh dari tujuan penegakan hukum, jauh dari hakekat hukum itu sendiri. Politik nasional tidak stabil. Bahkan terjadi konflik antar lembaga negara, konflik antar elit dan konflik horizontal yang berpotensi menjadi konflik vertikal antara rakyat denga pemerintah.
Publik tentu belum lupa tentang impor senjata yang meresahkan, publik juga masih bertarung dengan pemerintahnya sendiri terkait reklamasi teluk Jakarta. Selain itu, isu tentang PKI dan beredarnya dokumen dari Amerika yang menyudutkan Tentara tampaknya akan menjadi bahan bakar yang memanasi konflik bangsa ini.
Saran kepada pemerintah, kepada Jokowi sebagai presiden, agar tidak hanya fokus dengan berita-berita infrastruktur, karena ada masalah kebangsaan dan masalah negara yang sedang terdegradasi tajam, yang semuanya mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai presiden sibuk dengan infrastruktur, namun di sisi lain, negara sedang diaduk-aduk sebuah kekuatan untuk memecah belah bangsa ini.
Presiden harus menghentikan degradasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang saat ini terjadi dan mendera bangsa yang kita cintai ini. Jayalah Bangsaku Indonesia..!!
Jakarta, 20 Oktober 2017
*Ferdinand Hutahaean, Rumah Amanah Rakyat. [mc]