Nusantarakini.com, Jakarta –
Salahsatu gejala makin rusaknya Hukum dan HAM di Negeri ini adalah menguatnya praktek Mafia Peradilan. Praktek ini mulai muncul di zaman Soeharto.
Mafia Peradilan dalam definisinya secara mudah adalah praktek jual-beli vonis. Vonis yang seharusnya merupakan Putusan Hukum yang luhur dan adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sekarang dikotori oleh hawa nafsu “Keuangan Yang Maha Kuasa.” Putusan sudah dibuat di luar Sidang-sidang Pengadilan, lalu tinggal dibacakan.
Di zaman Soeharto, praktek Mafia Peradilan diawali oleh Kediktatoran Penguasa yang mengintervensi Putusan Majelis Hakim agar membebaskan Terdakwa atau menghukumnya dengan berat. Sebagai gantinya, Majelis Hakim memperoleh promosi. Campur tangan terjadi melalui tangan-tangan Hakim, Jaksa, Panitera, Pengacara dan Penyidik Polri/Jaksa. Mereka pada hakekatnya bermufakat jahat.
Di zaman yang lebih maju, bukan rezim kekuasaan yang berinisiatif, tetapi para Cukong dan Taipan. Hanya sebagian kecil para Hakim, Jaksa dan Pengacara yang masih konsisten di ruang Sidang mempertahankan Prinsip Negara Hukum. Apalagi kalau menghadapi lahan perkara yang basah semua ikut berpesta. Kalau ada orang-orang penting dalam jajaran pengadilan tertangkap basah, itu karena mereka ceroboh saja.
Di zaman Jokowi-Ahok, Pengadilan benar-benar berada di bawah kendali para Taipan Mafia itu. Lihatlah di Pengadilan Ahok, bagaimana JPU minta menunda pembacaan Tuntutan untuk alasan politik kepentingan Ahok yang tidak terus-terang disampaikan. Di luar pengadilan orang membicarakan kemungkinan “belum ada deal” antara di JPU dengan si Cukong. Bahkan kemudian JPU sengaja “mengubah” Pasal yang dipakai menuntut untuk bisa “membebaskan” Ahok. Mungkin di sini “deal” sudah tercapai. Sungguh berani!
Hukuman dua tahun bagi Ahok yang dinilai kurang berat, bisa saja masih diwarnai oleh campur tangan para Mafia dalam Putusan Majelis Hakim.
Sesudah Ahok terpidana, entah pula di mana dia “disimpan,” tentu tidak lepas dari campur tangan para Mafia. Pasti Tuan Presiden Jokowi tahu di mana karibnya itu berada, tapi Jokowi sengaja membiarkannya. Sungguh rusak hukum ini di tangan para Bandit ini!
Kalau Ahok sudah dinyatakan terbukti secara meyakinkan bersalah, maka sudah semestinya Jamran dan Rijal harus dibebaskan dari segala tuntutan. Semua postingan mereka tentang Ahok dan para Ahokers secara tidak langsung dibenarkan oleh Putusan Pengadilan Ahok. Perasaan benci dan permusuhan memang wajib ditujukan kepada Penista Agama, agar mereka jera. Sebuah konsekuensi logis tentang keadilan. Padahal bukan perasaan benci dan permusuhan pula yang disampaikan Jamran dan Rijal, melainkan pendapat yang faktual, yang memperkuat kesalahan Ahok. Sebab kalau kedua pihak dihukum, maka tidak jelas siapa yang sebenarnya bersalah dan harus dihukum. Bukankah pasal yang digunakan menghukum juga sama-sama Pasal 156/KUHP?!
Ketidakadilan terhadap Jamran dan Rijal tentulah terkait dengan peranan para Mafia Peradilan demi membalaskan “sakit hati dan dendam” Ahok.
Yang menarik adalah Perkara Buni Yani. Postingannya tentang kalimat yang diucapkan sebagai “penistaan” terhadap Islam justru diulang-ulang di Pengadilan Ahok. Tapi masih saja Buni Yani dianggap menghina, membenci dan memusuhi Ahok. Sekali lagi, kalaulah tuduhan kepada Buni Yani benar, itu pun konsekuensi logis yang harus diterima Ahok. Padahal Buni Yani tidak pernah mengekspresikan kebencian atau permusuhan: Dia hanya “memotong” video Penistaan Ahok itu. Dan Ahok tidak diadili berdasarkan video Buni Yani, tapi yang “tidak dipotong” dan resmi.
Di sini terbukti begitu berkuasanya para Taipan Mafia Peradilan ini, sehingga bisa menggiring Ketua Pengadilan Negeri Bandung dan Majelis Hakim mengangkat perkara ini. Lihatlah bagaimana Jaksa Agung RI juga melibatkan dirinya dalam Mafia Peradilan ini. Dia mengatakan, Tuntutan dua tahun untuk Buni Yani dibuat seimbang dengan hukuman kepada Ahok. Ini jelas sebuah pernyataan balas dendam yang tanpa basa-basi. Sungguh Hukum di Negeri ini sudah berada di tangan para Bandit!
Lalu Perkara Ki Gendeng Pamungkas yang memberi Peringatan lewat video tentang bahaya Cinaisasi yang sekarang berlangsung dan mengarah kepada penjajahan. Dari 10 orang Pribumi berjiwa nasionalis sejati, cinta NKRI, cinta UUD45, cinta Pancasila, cinta Sumpah Pemuda dan Cinta Bhinneka Tunggal Ika, maka hampir bisa dipastikan minimal 8 orang di antaranya akan mengatakan Mafia Cina sedang menjajah Indonesia. Dua yang tidak setuju tentulah yang mendukung Putusan Hakim, Tuntutan JPU dan Penyidik Polri.
Hakim Ketua juga mengatakan dalam Putusannya, bahwa hukuman kepada KGP 8 bulan kurungan dan denda 2 juta rupiah adalah untuk membikin efek jera. Hakim rupanya lupa, bahwa hukuman kepada mereka yang bekerjasama dengan Penjajah bisa mencapai seumur hidup. Bahkan di jaman Perang Kemerdekaan, mereka langsung ditembak mati oleh Tentara Pelajar; yang usianya tidak lebih dari si Hakim Ketua Pengadilan Negeri Bogor.
Ketika Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu kembali, para hakim Jerman Timur yang terlibat dalam Mafia Peradilan hampir seluruhnya dipecat. Juga para Jaksa dan Penyidik. [mc]
*Sri Bintang Pamungkas, Aktivis Senior dan mantan Politisi yang pernah menjadi korban sebagai Napol/Tapol.