Nusantarakini.com, Jakarta –
Bila ingin mengenali apa isi pikiran dan pandangan pihak yang tidak ridlo dengan pencapaian Aksi Bela Islam 1-3 yang melahirkan suatu golongan yang terkristal yaitu alumni 212, maka bacalah Kompas, Tribun, Detik, dan Tempo ketika mereka menulis segala hal yang terkait dengan alumni 212 dan aksi bela Islam itu. Di sana Anda akan mendapatkan suatu framing yang senantiasa bertendensi pendiskreditan, stigmatisasi dan pemojokan tentang gerakan 212 dan aksi bela Islam. Dan uniknya, framing itu tetap berlanjut hingga hari ini dan sudah mengarah ke tendensi kriminalisasi aksi gerakan tersebut yang menurut pandangan saya diarahkan untuk mendeligitimasi hasil politik yang dicapai dari serangkaian aksi yang membangkrutkan agenda politik mereka yang terpersonalisasi pada sosok Ahok.
Saya membaui, mereka benar-benar tidak ridlo dengan realitas yang sudah terjadi dan dendam berkarat hingga mereka dapat membalaskan kesumat mereka. Lantas, masihkah Anda membeli produk informasi mereka? Terlalu!
Apakah Anda memiliki “pembacaan” seperti saya: dikaitkan dengan isu saracen sebagai tumbal sekaligus alat penyapu bersih, sampai kemudian penangkapan Asma Dewi yang diidentifikasi sebagai bagaian yang tak terpisahkan dengan Aksi Bela Islam, alumni 212 dan karakteristiknya sebagai citra baru ibu-ibu Muslimah urban yang aktif dan kritis? Jika Anda tidak membaca gejala ini, Anda perlu sejenak bertafakur dan minta ampun kepada Allah semoga jiwa solidaritas dan kepekaan Anda dilimpahkan lebih tajam lagi.
Sekarang adalah tugas Anda bagi pembaca yang ikut arus jutaan manusia pada aksi bela Islam ketiga yang fenomenal itu untuk membela saudari Anda yang terzalimi saat ini, namanya Asma Dewi.
Dia ini seorang ibu rumah tangga. Dia ini bukan politisi partai. Dia ini bukan aktivis mahasiswa. Dia ini suatu golongan baru yang tumbuh di dalam masyarakat yang melek media sosial, kemudian terdorong untuk aktif bersuara dan menjerit atas ketidakadilan yang ditimpakan oleh suatu rezim yang agak budek dengan suara-suara rakyat.
Jadi, ibu kita, Asma Dewi ini, mewakili golongan baru di dalam masyarakat urban yang tumbuh secara kritis berdasarkan pengalaman keseharian mereka di dalam interaksi sosial yang melibatkan media sosial.
Ketika dia diciduk dan langsung dikurung, tentu terasa tidak adil. Sama tidak adilnya ketika tak seorang tokoh umat pun mau pasang badan untuk menangguhkan penahanannya, mengingat dia tidak mungkin melarikan diri dan juga harus diingat bahwa dia adalah ibu-ibu yang sederhana. Tega betul negara memperlakukan ibu-ibu semacam itu, langsung tangkap langsung kurung. Ini berdasarkan sejauh info yang beredar.
Bila kita bandingkan dengan Ahok, tak satupun gambarnya muncul beredar dalam sesi di dalam kurungan. Aneh sekali. Pantas jika orang berspekulasi: jangan-jangan bukan dikurung seperti ibu Asma Dewi.
Beginilah situasi kehidupan hukum dewasa ini, dimana masih jauh dari harapan rakyat supaya setiap orang diperlakukan sama di depan hukum, bukan alat represif bagi penguasa.
~ John Mortir