Nusantarakini.com, Jakarta –
Ketika masih duduk di bangku sekolah menengah, sering muncul sebuah pertanyaan yang tak terjawab terkait kisah perjuangan para nabi rasul, khususnya ketika Allah mengutus Nabi Musa AS untuk melawan dan meruntuhkan kekuasaan Fir’aun.
Untuk maksud apa Tuhan yang maha besar dan maha kuasa itu harus menempuh proses yang sangat panjang, berliku dan alamiah untuk meruntuhkan kekuasaan Fir’aun yang kecil dan menyimpang itu?
Bukankah dengan kekuasaan Allah yang maha besar dan maha agung itu, dengan “kun fayakun”, dalam sekejap saja kesombongan Fir’aun yang kecil dan hina itu dapat saja dibenamkan ke dalam perut bumi.
Bukankah kekuasaan Allah itu absolut yang berdiri di luar dari hukum kedunian, hukum sebab-akibat, dan lain-lain; yang dapat saja mewujudkan seluruh kehendaknya tanpa harus melalui perantara atau kehadiran seorang nabi atau rasul sebagai utusan Tuhan.
Jika kita tarik ke dalam logika Hindu, maka pertanyaannya untuk apa dewa Wisnu bersusah payah melakukan reinkarnasi atau penjelmaan dalam berbagai wujud di setiap zaman, hadir ke dunia, untuk memimpin mengubah keadaan sebuah masyarakat yang menyimpang dan tidak beradab.
Bukankah cukup dengan kedipan mata saja dari dewa Wisnu yang maha kuasa itu, keadaan sebuah masyarakat pasti langsung berubah menjadi lebih baik sesuai dengan kehendak para dewata.
Everything is by Design
Dengan berguru kepada Allah melalui kitab-kitabnya yang tidak tertulis (ayat-ayat kauniyah) dan kitab-kitab tertulis (ayat-ayat qauliyah) yang diwahyukan kepada para nabi dan rasul (Quran, Injil, Taurat dan Zabur), kita dapat belajar tentang filosofi, design dan rekayasa sebuah perubahan sosial.
Kisah tentang Nabi Musa di dalam Quran misalnya, Allah SWT menggambarkan secara sangat detail tentang sebuah filosofi, design, rencana dan program besar untuk melakukan sebuah rekayasa perubahan sosial (social engineering), mengubah keadaan sebuah bangsa, untuk mencapai “a better life” (kehidupan bersama yang makin baik).
Dimulai dari menciptakan terlebih dahulu sebab-sebab subjektif nya yang akan mengusung rekayasa perubahan sosial tersebut, yaitu menciptakan utusannya nabi Musa yang berlangsung secara alamiah, ibunya mengandung selama sembilan bulan, lalu lahir ke dunia sebagai bayi yang tak berdaya.
Ketika nabi Musa yang masih bayi dan tak berdaya itu terancam oleh keganasan tentara Fir’aun, maka Allah mem-back up-nya melalui memberi ilham kepada ibunya Nabi Musa untuk menghanyutkan bayinya itu ke sungai. Sang bayi Musa terapung di dalam sebuah peti dan hanyut mengikuti arus sungai menuju kolam pemandian istana Fir’aun.
Peti yang berisi nabi Musa yang masih bayi itu lalu ditemukan oleh istrinya Fir’aun, Siti Asiyah, yang kemudian dibawanya ke dalam Istana. Di dalam istana Fir’aun itu, Allah juga telah menyediakan back up-nya, baik back up secara lahiriah maupun batiniah, untuk keselamatan nabi Musa, sang pelopor perubahan.
Salah satu bentuk back up secara batiniah adalah ketika Allah menganugerahi rasa kasih sayang di dalam hati siti Asiyah kepada nabi Musa yang masih bayi itu. Nabi Musa yang masih bayi itu lalu diangkat oleh Asiyah menjadi anaknya.
Tahap awal dari design dan rencana besar Allah sebagai sang maha dalang untuk menenggelamkan kesombongan Fir’aun itu telah berhasil dilalui secara alamiah, yaitu disusupkannya nabi Musa masuk ke dalam lingkaran inti menjadi bagian dari keluarga Fir’aun.
Penggalang kisah nabi Musa di atas telah menjelaskan dan mengajarkan kepada kita tentang bagaimana Allah membuat design dan rencana yang berjalan dan berlangsung secara sangat alamiah dan sempurna.
Di dalam filosofi British Intelligence disebut “everything is by design”, tak ada celah dari sebuah tindakan yang terjadi di luar dari sebuah perencanaan. Seluruh tahapan dan langkah yang terjadi adalah produk dari sebuah design atau rancangan besar untuk mencapai tujuan dari sebuah perubahan.
Dalam bahasa Quran dikatakan “wa makaru wa makarallah wallahu khairul makirin” (mereka membuat rencana, Allah juga membuat rencana. Sesungguhnya rencana Allah adalah sebaik-baiknya rencana).
Kapasitas dan Karakter Dibentuk Melalui Pertarungan dan Pengorbanan
Kembali kepada pertanyaan di awal tulisan ini, kenapa dan untuk apa Allah harus mengutus para nabi dan rasul untuk berjuang, bertarung dan berkorban menghadapi berbagai resiko dan ancaman untuk mewujudkan misi Allah di muka bumi?
Demikian juga, jika menggunakan logika agama Hindu, untuk maksud apa dewa Wisnu yang maha kuasa itu harus melakukan reinkarnasi dalam berbagai wujud di setiap zaman, terutama ketika datang zaman kegelapan?
Salah satu maksudnya lantaran masalah yang diciptakan dan ditimbulkan oleh manusia harus dihadapi dan diselesaikan sendiri oleh manusia, dengan menggunakan logika dan cara-cara sebagai manusia. Masalah yang dihadapi oleh manusia tak mungkin diatasi dengan logika dan cara-cara di alam Dewata.
Tuhan yang maha bijaksana itu bermaksud mengutus para nabi dan rasul untuk mendidik, menggembleng dan menempa jiwa budak dan bebal, yang berkarat dan kerdil tersebut melalui sebuah proses perjuangan, pertarungan dan pengorbanan.
Melalui pertarungan, pengorbanan dan penderitaan, jiwa manusia digembleng untuk dapat merasakan langsung keterbatasannya sebagai makhluk ciptaan yang lemah.
“Sesungguhnya pengorbanan dan penderitaan adalah faktor terpenting yang membentuk peradaban umat manusia. Setiap pengorbanan dan penderitaan akan mengkristalkan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusian dan keadilan di dalam jiwa manusia”.
Karena itu, Tuhan yang maha bijaksana itu bermaksud mengutus para nabi dan rasul untuk mendidik, menggembleng dan menempa jiwa budak dan bebal, yang berkarat dan kerdil tersebut melalui sebuah proses perjuangan, pertarungan dan pengorbanan.
Melalui pertarungan, pengorbanan dan penderitaan, jiwa manusia digembleng untuk dapat merasakan langsung keterbatasannya sebagai makhluk ciptaan yang lemah.
“Sesungguhnya pengorbanan dan penderitaan adalah faktor terpenting yang membentuk peradaban umat manusia. Setiap pengorbanan dan penderitaan akan mengkristalkan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusian dan keadilan di dalam jiwa manusia”.
Jika saja Tuhan Yang Maha Kuasa itu bertindak secara “instan” dan “kampungan”, tujuannya semata merubah keadaan sebuah masyarakat yang nista menjadi menjunjung tinggi nilai-nilai. Maka dengan sifatnya yang maha perkasa tersebut, “kun fayakun”, dalam sekejap sebuah masyarakat dapat disulap berubah menjadi lebih baik dan beradab.
Namun tidak demikian, karena sesungguhnya jiwa manusia juga dalam kekosongan di saat penciptaan, seringkali berkarat, bebal dan kerdil oleh perubahan lingkungan zaman. Persis seperti batangan besi yang berkarat yang harus dibakar dan ditempa berulangkali untuk menghasilkan sebilah pedang atau keris yang tajam menghunus.
Tuhan yang maha bijaksana tak mendidik dan membentuk kapasitas dan karakter manusia melalui kemenangan dan kesenangan. Melalui proses pertarungan, pengorbanan, silih berganti kalah dan menang, silih berganti penderitaan dan kebahagian, setiap “up and down” kehidupan itu terkadung upaya sang maha pencipta untuk mendidik dan membentuk kapasitas dan karakter jiwa manusia, baik karakter sebagai individu maupun sebagai masyarakat.
Jiwa Manusia Dididik untuk Mengubah Sendiri Nasibnya
Melalui diutusnya para nabi dan rasul atau melalui reinkarnasi dewa Wisnu dalam berbagai wujud di setiap zaman, jiwa manusia juga dididik dan ditempa untuk mengubah sendiri nasibnya, tidak bersikap fatalis, bertapa sambil menanti hadiah perubahan nasib dari langit, tanpa usaha, pertarungan dan pengorbanan.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka”.
Ratusan nabi dan rasul telah diutus membawa wahyu dari Allah, berjuang, bertarung dan berkorban melawan kedzaliman dan meluruskan arah sejarah yang menyimpang.
Perhatikan penggalangan kisah nabi Musa di atas, walaupun pertolongan atau back up dari Allah senantiasa datang menyertai setiap kesulitan dan ancaman yang dihadapi.
Namun, perjuangan nabi Musa, sejak masih bayi, tetap menempuh dan melewati tahap-tahap yang alamiah, penuh pertarungan yang beresiko, yang menuntut jiwa berkorban untuk mengubah sendiri nasib kaumnya, bani Israel, yang ditindas dan diperbudak oleh Fir’aun.
Demikian juga jika dijelaskan menggunakan keyakinan Hindu, demi membentuk kapasitas dan karakter manusia melalui pengorbanan, demi mendidik manusia melalui perjuangan untuk mengubah sendiri nasibnya. Maka, dewa Wisnu yang maha kuasa itu melakukan reinkarnasi ratusan bahkan ribuan kali di dalam berbagai wujud di setiap zaman.
Pada suatu zaman ketika jiwa umat manusia telah berkarat, kerdil, lemah tak berdaya dan menyerah menghadapi raja setan Rahwana atau Prabu Dasamuka, maka dewa Wisnu melakukan reinkarnasi dalam wujud Rama. Tujuan dari reinkarnasi tersebut adalah untuk mendidik jiwa manusia untuk bekerjasama, bertarung dan berkorban mengubah sendiri nasibnya.
Demikian juga untuk tujuan menempa dan menggembleng jiwa manusia melalui pertarungan dan pengorbanan, maka dewa Wisnu melakukan reinkarnasi untuk kesekian kalinya dalam wujud Sre Kresna yang sangat cerdik men-design dan menciptakan seluruh sebab dan syarat bagi terwujudnya sebuah perang saudara, bharatayudha, antara Pandawa versus Kurawa.
“Manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, pada saat itu aku akan turun menjelma (reinkarnasi) ke dunia. Untuk menyelamatkan orang-orang baik yang ditindas dan membinasakan orang-orang jahat. Untuk menegakan kembali kebenaran, aku sendiri akan menjelma dalam berbagai wujud dari zaman ke zaman”. (Sre Kresna di dalam kitab Bhagawad Gita).
Dalam memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke-72, kita dapat merasakan telah musnahnya jiwa bertarung dan berkorban dari kaum muda Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian Indonesia.
Kapasitas moral dan karakter bangsa Indonesia telah terkubur, tak akan sanggup lagi bangkit menghadapi predator zaman yang sangat keji dan kejam.
Jika jiwa pemuda Indonesia tak kembali digembleng dan ditempa di dalam kawah candradimuka, menjadi jiwa yang berkobar-kobar bertarung dan berkorban untuk masa depan Indonesia yang berdiri di atas nilai-nilai (Pancasila dan Trisakti), maka nasib negara Indonesia dapat dipastikan menyusul nasibnya kerajaan Majapahit dan kerajaan Demak yang telah dimangsa oleh sejarah. [mc]
*Haris Rusly, Petisi 28 dan Kepala Pusat Kajian Nusantara-Pasifik (PKNP)