Nusantarakini.com, Jakarta –
Kalau Jokowi gonta-ganti gaya dan stelan pakaian, sudah lumrah. Memang dia hobby-nya begitu.
Kadang pakai beskap plus blankonnya. Kadang pakai stelan Metalica. Lain waktu pakai bajunya tukang tambal ban. Malah pernah pakai kostum lebih gila, bagaikan raja dari negeri lampau, dengan mahkota bercabang-cabang.
Itu Jokowi. Yang sejak semula suka bergaya. Lha ini Pak Jeka. Yang selama ini orang kenal sebagai pribadi yang konvensional.
Dandanannya konvensional. Jika dalam keadaan resmi, kadang pakai batik, kadang pakai jas hitam lengkap dengan dasi.
Tiba-tiba, di forum yang paling resmi, di hadapan wakil rakyat, di dalam suatu acara pidato kenegaraan menyangkut nota APBN, tumben-tumbennya Pak JK seperti lakon yang tertukar.
Jokowi pakai busana bugis, dimana Pak JK adalah bugis, sementara Pak Jeka pakai busana Jawa, dimana Jokowi adalah orang Jawa.
Mana bugis, mana Jawa, jadi tertukar. Yang lucu, tetap saja Pak JK gagal memerankan figur seorang Jawa walaupun dia memakai blankon.
Mungkin si pengatur busana dari dua orang terpenting di negara ini mengharapkan adanya kesan harmonis dari dua tokoh sekaligus menunjukkan pesan bahwa Indonesia hadir dari busana yang mereka kenakan.
Cuman bagi kita yang suka memperhatikan sedikit lebih detail, tetap saja Pak JK tidak cocok dengan pakaian Jawanya. Akibatnya Pak JK kelihatan lucu dan hilang wibawa.
Kalau Jokowi hilang wibawa dengan busana-busana yang ia kenakan, beliau sudah terbiasa. Memang begitulah citra Jokowi. Tidak butuh wibawa. Butuhnya kerja, kerja, kerja.
Nah, sekarang kita bertanya, deh, sejak kapan Pak JK jadi Pak Turut, turut ikut-ikutan gaya Jokowi?
~ Putera Ali