Nusantarakini.com, Jakarta-
Diskusi mingguan yang diselenggarakan Majelis Akhir Zaman (MAZ) dengan lakon “Dasamuka Mlebu Istana” yang diselenggarakan Selasa malam (8/8/2017) kemarin, diawali oleh terawangan moderator Wibowo Arief bahwa pertanda dasamuka mlebu istana saat kera-kera mengamuk di kampung halaman Pak Jokowi di Boyolali. Kejadian tersebut dibahas oleh media internasional layaknya gambaran saat Rama ingin menyelamatkan Shinta. Berbeda dengan saat Jokowi nengunjungi Gunung Lawu, konon katanya kera-kera justru memberi hormat padanya.
Selanjutnya Ki Burhan Rosyidi memberikan komentar karena judul “Dasamuka Mlebu Istana” muncul dari penyelenggara acara Majelis Akhir Zaman dan kemudian disodorkan ke Ki Burhan sebagai pembicara. Menurutnya, tema ini bukan rekayasa, maka kita perlu menyikapi judul itu merupakan sebuah fenomena seperti fenomena alam lainnya.
Sementara itu, memangnya ada fenomena yang ada di luar kehendak Allah SWT, sekali pun fenomena ketika Iblis berhasil memperdaya Adam dan Hawa. Artinya, bagi latar belakang hidup Ki Burhan, judul yang disodorkan itu mengandung unsur “ndilalah”.
Ki Burhan Rosyidi menyebutkan “Ndilalah” itu maknanya bukanlah kebetulan, tapi lebih merupakan sesuatu yang memang sudah menjadi kehendak Allah.
Jadi, judul yang disodorkan itu mengandung pesan langit yang perlu kita eksploitasi untuk keselamatan kita semua.
“Ndilalah” yang kedua yang dialami Ki Burhan yaitu ketika sedang konsentrasi mengeksploitasi judul yang disodorkan, tiba tiba, Ki John Mempi mengirim pesan melalui WA tentang kasus monyet mengamuk di Boyolali.
Info dari John Mempi melengkapi dan memantapkan judul yang disodorkan. Dalam latar belakang hidup saya, Dasamuka adalah simbol “nafsu angkara murka” dengan bentuk bermacam-macam wajah.
Nafsu angkara murka itu senjatanya tipu daya dan bila segala sesuatu sudah berada seutuhnya di dalam genggamannya; maka tidak ada cara untuk melepaskannya dari genggaman angkara murka, kecuali melalui prosesi “Hanoman Obong,” yang ongkos politiknya sangat mahal.
“Sastra Jendra Hayuningrat sebagai metode yang universal, tapi setelah menjadi informasi menjadi tidak universal lagi. Artinya, informasi itu hanya bagi kualitas batin tertentu. Bila kualitas batinnya tidak memadai maka akan mengandung resiko, bagi si penerima informasi akan dikuasai oleh hawa nafsunya sehingga informasi itu justru akan menimbulkan kerusakan alam semesta,” kata Ki Burhan.
Oleh karenanya, maka cara penyampaian informasinya dalam tradisi di Jawa lebih dengan lisan atau pitutur daripada tulisan, yang orang jawa menyebut dengan cara “glenak glenik,” yang kemudian, “glenak glenik” itu diplesetkan sebagai klenik. Istilah klenik itu sendiri pada dasarnya adalah serangan asymetric war terhadap kearifan lokal kita.
Ki Burhan melanjutkan bahwa dengan mengolah sukma, jiwa dan rasa, menggerakkan kekuatan intuisi mengeksplor dan mengeksploitasi fenomena akan memperoleh data dari rahasia alam semesta. Sedang dengan mantra, yang pada dasarnya adalah password, untuk mengakes ke dimensi api maka yang diperoleh adalah informasi, bukan data. Jadi, yang diperoleh adalah data yang sudah diolah berdasarkan asumsi-asumsi tertentu yang sama sekali tidak sesuai dengan asumsi dunia manusia.
Sementara itu Ki John menjelaskan bahwa Boyolali adalah tempat asal keluarga jokowi. Tentu ini adalah pertanda alam. Menjelang kasus 65, dalam pertemuan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), muncul beberapa fenomena alam yang mengisyaratkan Arjuna ragu berperang.
Memang masyarakat, menurut Ki John, berbeda dengan American People yang rasional menyikapi krisis. Saat terjadi krisis Indonesia justru buat majelis dzikir sehingga munculnya bayangan hitam satu Agustus kemarin. Ini menunjukkan bahwa kultur masyarakat nusantara yang selalu meminta pertolongan dijawab dari alam.
Sedangkan Wibowo Arif alias Ki Jemek menjelaskan, menjelang 1998 terdapat lagu “Obong-obong” yang berkembang di Jawa. Ini menunjukkan suasana batin tergantung kondisi alam dapat mendeterminasi. Belum lagi media sosial anak indigo yang menyebar dan kemampuan telekinesis generasi Z. [mc]