Nusantarakini.com, Jakarta –
Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara dimulai tanggal 30 Mei 1619, yaitu ketika Jan Peieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC keempat mengalahkan Jayakarta dan kemudian mengganti namanya menjadi Batavia.
Sejak itu juga dengan iming-iming berbagai privileg, Belanda memboyong sekitar 400 pedagang bangsa Cina dari Banten pindah ke Batavia untuk bekerjasama dalam berbagai bidang, terutama bidang perdagangan, karena bangsa Cina telah memiliki jaringan di Nusantara dan ke Cina. Untuk dipekerjaan di berbagai perkebunan, mereka mengimpor kuli-kuli dari Cina daratan. Kerjasama perdagangan juga termasuk dalam perdagangan budak dan perdagangan candu (opium) yang merupakan monopoli pemerintah kolonial.
Setelah mutlak menguasai seluruh wilayah Nusantara, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijakan yang sangat diskriminatif, dan hanya memberikan sedikit kesempatan bagi pribumi untuk memperoleh ilmu pengetahuan melalui jalur sekolah. Pendidikan lanjutan dan sekolah setingkat perguruan tinggi, hanya disesuaikan berdasarkan kebutuhan politik Pemerintah Hindia Belanda.
Selain Eduard Douwes Dekker, seorang Belanda lain, Dr. Conrad Theodore van Deventer, setelah berhasil mengumpulkan kekayaan sebagai pengacara di Semarang, pulang ke Belanda tahun 1897 dan bergabung dengan Partai Liberal. Tahun 1899 di majalah “De nieuwe Gids” dia menulis kritik terhadap politik kolonial Belanda. Karangannya berjudul “Een Eereschuld” (Utang kehormatan), di mana dia menggambarkan kesengsaraan rakyat di Hindia Belanda sebagai akibat sistim tanam paksa serta liberalisasi perdagangan.
Dari kontribusi hasil bumi yang diserahkan kepada pemerintah yang dinilai sebagai pajak, rakyat tidak menerima imbalan pembangunan di daerahnya. Di suatu negara, pemerintah membiayai pembangunan sarana sosial, kesehatan, sekolah dll. dari hasil pajak yang dipungut dari rakyatnya, namun tidak demikian halnya dengan pemerintah Hindia Belanda.
Kritik yang dilancarkan oleh van Deventer telah membuat malu pemerintah Belanda; bahkan ratu Belanda, Wilhelmina, tahun 1902 menjanjikan untuk dilakukannya penelitian mengenai kemiskinan rakyat di Jawa. Sejak itu, pemerintah Belanda mulai merubah politik kolonial dengan mempropagandakan kebijakan baru yang dinamakan “Opheffingspolitiek”, atau politik untuk mengangkat; kemudian lebih dikenal sebagai “politik etis.”
Setelah lebih hampir tiga ratus tahun menguras kekayaan dan menindas rakyat setempat, karena malu akibat kritik tajam dari orang Belanda sendiri, baru dimulai program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah jajahan mereka. Pembangunan sekolah ditingkatkan, dan makin terbuka peluang bagi rakyat jajahan untuk belajar di Eropa, terutama tentu di Belanda, yang hingga akhir abad 19 hanya dinikmati oleh bangsa Cina dan segelintir anak bangsawan pribumi serta anak-anak pribumi kaya pendukung Belanda.
Tahun 1903, di seluruh wilayah Hindia Belanda terdapat tidak sampai 2.000 sekolah dengan jumlah murid tidak mencapai 200.000. Jelas sangat kecil bagi penduduk India Belanda yang waktu itu telah berjumlah lebih dari 50 juta jiwa.
Namun politik etis ini ditentang oleh orang-orang Belanda “garis keras” dan mengeluarkan pendapat mereka melalui media massa waktu itu, “Het Nieuws van de Dag” dan “Java Bode.” Subarjo tidak melupakan kalimat yang sangat menyakiti hati pribumi di wilayah jajahan Belanda seperti:
“Over opheffing gesproken, de inlander kan alleen worden opgeheven tot op de hoogte van de galg.”
(Berbicara tentang pengangkatan, penduduk asli hanya dapat diangkat setinggi tiang gantungan).
Bahkan yang sangat menyedihkan adalah pandangan para dokter Eropa yang tergabung dalam European Medical Association (Himpunan Dokter Eropa), terhadap pribumi di Sekolah-sekolah dokter. Mereka mengeluarkan pernyataan dalam Bulletin of the Association of Physicians in Dutch East Indies yang berbunyi:
Mereka (pribumi) dilahirkan dengan pembawaan membenci pekerjaan yang membutuhkan ketekunan (seperti jelas terlihat dalam bidang pendidikan misalnya, tidak ada orang-orang Indo yang jadi guru); mereka tak menyukai orang lain mengawasi tindak-tanduk mereka dalam pekerjaan, karena mereka, kecuali dalam hal-hal yang salah, sehingga tak banyak yang dapat diharapkan dari mereka.
Belum lagi disebut mengenai orang-orang yang jahat, yang mencuri uang dengan melakukan pengguguran kandungan dan mengisi waktu senggangnya, dengan berzinah. Apakah orang-orang seperti itu dapat dijadikan dokter?
Pertimbangan-pertimbangan moral tak perlu dikemukakan di sini, karena semua orang tahu, bahwa moralitas mereka berbeda jauh daari moralitas kita. Dan pada dokter-dokter semacam itulah penduduk Jawa di tempat-tempat yang tidak mempunyai dokter Eropa harus mempercayakan isteri dan anak gadisnya.”
Sungguh pandangan yang sangat rasistis. Profesi sebagai dokter manusia sebenarnya adalah suatu pekerjaan mulia yang mensyaratkan sikap yang humanis, namun tidak demikian dengan para dokter Eropa tersebut.
Selain pengurasan kekayaan alam serta permbodohan rakyat secara sistematis, rakyat India Belanda juga mengalami diskriminasi dalam banyak hal, seperti antara lain dalam hal perdagangan, sosial atau perlakuan secara umum..
Tahun 1920 pemerintah kolonial mengeluarkan Regeringsreglement (Peraturan Pemerintah) untuk membagi penduduk dalam tiga kelas. Kelas satu jelas bangsa Eropa dan yang disetarakan dengan bangsa Eropa, seperti halnya bangsa Jepang. Warganegara kelas dua adalah Vreemde Oosterlingen (bangsa-bangsa timur asing), yaitu Cina dan Arab. Pribumi (Inlander) menjadi warga kelas tiga di negeri sendiri.
Sebagaimana dengan kebijakan-kebijakan Belanda lainnya, politik etis juga hanya “cantik” di atas kertas, sedangkan praktek di lapangan, tidak berbeda dengan yang telah dilakukan Belanda serta kroninya selama sekitar dua ratus tahun, yaitu exploitation de l’homme par l’homme –penghisapan manusia oleh manusia lain.
Sebagian terbesar pekerja Indonesia, kebanyakan hidup sebagai buruh harian dengan gaji yang sangat kecil. Tan Malaka memberikan contoh penghasilan kuli kontrak asal Jawa di perkebunan tembakau di Deli, di mana dia bekerja, pada tahun 1919:
“Gaji kuli perkebunan misalnya, menurut kontrak, sebesar f 0,40 sehari (f = florint, mata uang Belanda, biasa disebut gulden-pen.). Kuli perkebunan, laki-laki atau perempuan, biasanya harus bangun pukul 4 pagi, karena kebun tempat mereka bekerja letaknya jauh. Pukul 7 atau 8 malam mereka baru tiba di rumah …
…Kekurangan dalam segala-galanya menimbulkan keinginan untuk mengadu nasib dengan bermain judi, nafsu yang sengaja diciptakan oleh maskapai sesudah gajian. Yang kalah berjudi –biasanya lebih banyak yang kalah daripada yang menang- diizinkan berutang. Karena terikat utang, maka 90 dari 100 kuli yang habis masa kontraknya terpaksa memperpanjang kontraknya lagi…
…Hanya satu atau dua di antara 1.000 orang mempunyai harapan naik pangkat. Ada yang dijadikan mandor, kemudian menjadi mandor kepala, atau penjaga bengkel mobil, mesin listrik ataupun rumah sakit. Tetapi gaji mereka tetap sangat rendah, f 20,- sampai f 30,- sebulan buat mandor, dan f 60,- buat mandor kepala, yaitu mereka yang sudah bekerja selama 15 – 20 tahun…”
Perbedaan mencolok antara gaji buruh dengan pendapatan yang diterima oleh orang Belanda dipaparkan oleh Tan Malaka, dengan mengambil contoh lingkungan di mana dia bekerja. Tan malaka menulis sebagai berikut:
“…Saya teringat beberapa kejadian di Tanjung Morawa, tempat kantor pusat Senembah Mij (Maatschappij – pen), tempat saya bekerja (dari tahun 1919 – 1921-pen.). Tuan V.D., insinyur listrik sudah kebingungan karena mesin listriknya tak mau dijalankan. Semua kemungkinan dia pikirkan dan semua perintah untuk membetulkan mesin itu sudah dilakukan. Konon mesin listrik terus mogok. Kario, pengawas listrik bekas kuli kontrak, dipanggil. Kario masuk ke bawah mesin, memutar sekrupnya, dan mesin listrik berjalan seperti biasa. Kario bekas kuli kontrak lama mendapat gaji f 25,-, dan insinyur V.D. f 500,- plus ini dan itu tak putus-putusnya …
… Sedangkan penghasilan tuan-tuan besar orang Belanda (atau Eropa lain yang bekerja di sana) mencapai puluhan ribu setahun ditambah bagian keuntungan sebesar f 200.000,-. Pemilik perusahaan bahkan lebih dari itu. Dari perkebunan tembakaulah lahir milyuner Deli yang pertama dan terkenal kaya dan kejam, Cremer, yang di Belanda dijuluki “kuli Cremer.”
Demikian uraian Tan Malaka, yang nama lengkapnya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka.
Kekayaan yang dikuras oleh Belanda pada awal abad 20, dapat dilihat dari data ekspor Indonesia, seperti yang dipaparkan oleh Dr. Emil Helferich, seorang pengusaha asal Jerman, yang hidup di Lampung dan Batavia dari tahun 1901 – 1928; dia menulis:
“Ekspor Nederlands Indie sejak tahun 1900 sampai 1922 telah meningkat dari 230 juta menjadi 1.136 juta gulden, sedangkan impor juga meningkat, dari 176 juta menjadi 700 juta gulden. Peningkatan setiap tahun hampir lima kali lipat. Keuntungan perdagangan meningkat dari 54 juta menjadi 445 juta gulden. Tahun 1923, keuntungan dari bilans perdagangan mencapai 700 juta gulden…
…Diperkirakan, akumulasi kekayaan modal orang Eropa di India Belanda sekitar 3 ¼ milyar gulden.”
Apabila Helferich memberikan gambaran tersebut hanya sebagai ilustrasi riwayat hidupnya, Ir. Sukarno memandang akkumulasi kapital dengan kacamata seorang pribumi, yang kekayaan negerinya dikuras oleh para penjajah beserta kroninya. Sukarno melihat, bahwa imperialisme tua telah digantikan oleh imperialisme moderen. Imperialisme moderen ini sudah berbentuk imperialisme internasional, di mana sejak ada “kebijakan pintu terbuka” bukan hanya modal Belanda yang “berpesta di kalangan rakyat Indonesia dan berdansa di atas bumi Indonesia”, melainkan juga modal Inggris, Amerika, Prancis-Belgia, Jepang, Swiss dan juga Jerman.
Pengurasan kekayaan alam Indonesia oleh dapat dilihat dalam perbandingan angka-angka impor dan ekspor:
Tahun Impor Ekspor
1920-f.1.116.213.000-f. 2.224.999.000
1924-f.678.268.000-f. 1.530.606.000
1925-f.818.372.000-f. 1.784.798.000
1926-f.865.304.000-f. 1.568.393.000
1927-f.871.732.000-f. 1.624.975.000
1928-f.969.988.000-f. 1.580.943.000
1929-f.1.072.139.000-f. 1.446.161.000
1930-f.855.527.000-f. 1.159.601.000
Selanjutnya, bila dibandingkan dengan negara-negara jajahan lain, prosentase perbandingan ekspor dengan impor, menunjukkan tingginya angka ekspor dibandingkan dengan impor. Sebagai contoh, diambil angka ekspor-impor tahun 1924.
Negara Prosentase ekspor-impor
Afrika Selatan 118,7/100
Philipina 123,1/100 India 123,3/100
Mesir 129,9/100
Sri Lanka 132,8/100
Chili 175,4/100
India-Belanda 220,4/100
Dari perbandingan nilai ekspor dan impor, dapat dilihat berapa besar keuntungan para pengusaha Belanda dan kroni mereka. Ekspor dari Hindia Belanda seluruhnya adalah hasil bumi, baik pertambangan, perkebunan, hasil hutan perikanan dll., karena pada waktu itu belum ada industri. Pemerintah Hindia Belanda tidak berminat untuk membangun industri, melainkan sangat puas dengan perdagangan hasil bumi.
Impor ke India Belanda sebagian terbesar adalah barang-barang yang dahulu termasuk kategori luxus, yang kebanyakan hanya dapat dinilmati oleh para penjajah beserta kroninya.
Namun di tahun tigapuluhan seiring dengan krisis dunia, ekspor dari India Belanda terus menurun, seperti yang diteliti oleh Dr. Sam Ratu Langie:
Ekspor tahun 1933, sebesar 470 juta gulden;
Ekspor tahun 1934, sebesar 490 juta gulden;
Ekspor tahun 1935, sebesar 447 juta gulden.
Rata-rata, ekspor tersebut terdiri dari:
Hasil Pertanian (karet, kopi, gula, tembakau, teh dll) sekitar 65% – 68 %;
Hasil Galian (minyak bumi, aspal, timah putih, dsb.) sekitar 26%-28%;
Hasil lain (ternak, kulit, kerang, dll.) sekitar 5%-7%
Pemilikan kekayaan di Hindia Belanda waktu itu, digambarkan oleh Ratu Langie sebagai berikut:
“…kekayaan yang dapat dikenakan pajak tahun 1932, sebesar 650 juta gulden. Pembagian kekayaan ini pun memberi ciri-ciri khas bagi negeri jajahan ini. Kekayaan ini dibagi menurut suku bangsa penduduk sebagai berikut:
Orang2 Eropa 367 juta gulden;
Timur Asing (Cina, Arab)
261 juta gulden;
Pribumi 32juta gulden.
Kekayaan yang dikenakan pajak menurut pajak kekayaan, jadinya hanya 32 juta gulden yang ada di tangan orang-orang Indonesia, atau belum sampai 5%. Bagian terbesar (95%) ada di tangan orang-orang bukan Indonesia, dan karenanya tidak terikat untuk tetap berada selama-lamanya di Indonesia.”
Demikian penelitian Dr. Sam Ratu Langie, yang menyelesaikan studi di Zürich, Swiss, tahun 1919, dan sebagai orang PRIBUMI PERTAMA yang menggapai gelar Doktor di bidang Matematika dan Fisika.
Dari sedikit contoh yang dipaparkan oleh tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, terlihat betapa besar kekayaan yang dikuras oleh penjajah Belanda, dan kroninya, terutama bangsa Cina.
Begitu juga dengan pembagian kekayaan di bumi Nusantara. Dari penelitian Dr. Sam Ratu Langie pada tahun 1937, ternyata kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia di negerinya sendiri, tidak mencapai 5% dari seluruh kekayaan yang dikenakan pajak pada waktu itu. Melihat kenyataan ini, pasti tidak ada satu pun bangsa di dunia yang mempunyai harga diri, akan terus membiarkan keadaan seperti ini. Di lain pihak, tentu dapat diperkirakan, bahwa bangsa-bangsa yang selama ini sangat menikmati keadaan tersebut, akan terus berusaha mempertahankan status quo.
Yang sangat menyinggung perasaan Sukarno adalah pernyataan direktur BB pada tanggal 26 Oktober 1932, dalam sidang Rad van Indie, di mana “tuan besar” tersebut mengatakan:
“…Ternyata kini satu orang yang dewasa dapat cukup makan dengan sebenggol (dua setengan sen –pen.) sehari …”
Sukarno berkomentar:
“… Cukup nafkah-hidup sebenggol sehari –benarkah itu? Tentang pendapatan, yakni ‘inkommen’ kita kaum Marhaen, maka saya hampir di dalam tiap-tiap rapat umum telah memberi angka-angka yang mendirikan bulu.
Sering saya terangkan, bahwa pendapatan itu sebelumnya zaman meleset adalah 8 sen seorang/sehari, bahwa kemudian di dalam permulaan zaman meleset ia merosot menjadi 4 atau 4 ½ sen seorang/sehari, dan bahwa kemudian lagi ia lebih merosot lagi menjadi sebenggol sehari …”
Hal ini tentu mengusik rasa keadilan siapapun yang mempunyai nurani. Penduduk asli hidup dengan sebenggol (=2 ½ sen) sehari, sedangkan para penjajah beserta kroninya memiliki kekayaan hasil rampokan dengan nilai milyaran gulden! Keadaan ini –di beberapa daerah/pulau- berlangsung lebih dari seratus tahun, bahkan di Batavia dan Maluku, lebih dari tigaratus tahun!
Namun beberapa kerajaan dan kesultanan hanya sekitar 30-an tahun di bawah administrasi Belanda, karena rakyatnya tidk menghentikan perlawanan, seperti di Aceh (jatuh tahun 1904), Batak (jatuh tahun 1907), Kerajaan Badung di Bali (jatuh tahun 1906) dan Kerajaan Klungkung di Bali (jatuh tahun 1908).
Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara berakhir pada 9 Maret 1942, yaitu ketika Panglima Tertinggi tentara Belanda di India Belanda, Letjen Hein ter Poorten, menandatangani dokumen MENYERAH TANPA SYARAT kepada Balatentara Dai Nippon di bawah komando Letjen Hitoshi Imamura di Kalijati, dekat Subang. [mc]
*Catatan Batara R. Hutagalung, Sejarawan, Alumni Hamburg Universiteit, Deutch, Jerman.
********
Ini merupakan cuplikan dari buku saya:
Hutagalung, Batara, 10 November ’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?. Analisis Latar Belakang Agresi Militer Inggris, Millenium Publisher, Jakarta, 2001. 472 halaman.