Nusantarakini.com, Jakarta –
Kemunculan kasus Ahok harus dibaca sebagai cicilan dan rangkaian dari kasus-kasus konflik dan ketegangan agama pasca reformasi. Ahok dan turbulensi sosial politiknya hari ini harus dikaitkan dengan konflik Ambon, Poso dan sejenisnya yang timbul pasca era Soeharto.
Esensial designnya jelas, yaitu mewujudkan rekomposisi kekuasaan politik dan birokrasi yang menguntungkan Non Muslim di wilayah-wilayah konflik berdasarkan agama. Bukan kebetulan konflik tersebut meletus di wilayah yang dominan Kristen dan minoritas Muslim.
Konflik tersebut ditujukan untuk mengubah komposisi kekuasaan politik dan birokrasi. Dalam bahasa lainnya, yaitu konflik diletuskan untuk menjadi alat politik dan penekan agar keseimbangan politik dan birokrasi terjadi dengan menguntungkan pihak tertentu.
Hal ini bisa dibuktikan dengan apa yang terjadi setelah konflik usai dan rekonsolidasi politik dan birokrasi terjadi. Golongan Kristen dengan jelas menuai hasil dari rekonsolidasi tersebut. Bahkan hasil tersebut diamankan dengan konsensus tak tertulis dimana yang pantas berkuasa adalah golongan Kristen di daerah yang minoritas penduduk Muslimnya. Sekurang-kurangnya, golongan Muslim sebagai pelengkap, bahkan dinegasikan.
Setelah mereka berhasil merebut dominasi politik dan birokrasi dalam skala daerah, kemudian mereka beranjak merebut dengan pola dan gaya yang sama dalam skala nasional. Figur Ahok adalah eksprimennya. Sayangnya, strategi mereka patah di tengah jalan.
Mereka ingin menanamkan konsensus secara nasional bahwa golongan Kristen harus menjadi paket dalam suatu kepemimpinan nasional.
DKI adalah uji cobanya. Tetapi karena nafsu untuk berkuasa tak dapat mereka kontrol, sehingga penempatan profil Ahok yang tidak simpatik menjadi blunder yang menghancurkan grand design mereka.
Sampai di sini, mayoritas Muslim belum menyadari agresivitas aksi cepat mewujudkan grand design tersebut. Reaksi kaum Muslim lebih karena kehabisan toleransi untuk menanggung perasaan hina dan tertekan di bawah kekuasaan Ahok yang arogan dan kasar. Jadi bukan karena menyadari grand design tersebut dan berupaya mematahkannya.
Melihat realita semacam ini, adalah sangat rawan bagi masa depan Indonesia jika betul grand design di atas tengah dipaksakan ke masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim. Hal ini sama saja memancing reaksi balik.
Ada dugaan, untuk mengkamuflase grand design dekomposisi dan rekomposisi kekuasaan politik dan birokrasi tersebut, dimajukanlah bahwa tuntutan grand design tersebut diajukan oleh segmen Islam moderat dan tradisional. Dalam hal ini, Islam dipecah-belah demi grand design tersebut. Kelompok dengan apa yang mereka juluki Islam moderat dipakai untuk tujuan politik mereka dengan konsesi yang tak seberapa diterima oleh kelompok Islam moderat.
Bahasa kamuflase yang digunakan pun sangat halus seperti mengawal Pancasila, Kebhinnekaan dan NKRI. Padahal targetnya ialah agar grand design tersebut diterima sebagai konsensus yang didasari oleh sumber moral politik Indonesia, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Sesungguhnya mereka sudah mendomimasi di sektor ekonomi, lalu mengapa masih belum puas juga?
Sekarang setelah situasi yang tak terduga seperti dinamika sekarang ini terjadi, dengan risiko konflik horizontal berskala nasional menunggu di depan mata, masihkah mereka memaksakan grand design di atas terwujud secara nasional?
Menurut hemat kita, hanya yang tidak sayang dan tulus menjaga negara dan bangsalah yang akan memaksakan hal itu terjadi di Indonesia. Hanya manusia-manusia egois dan berjiwa gelaplah yang sanggup memaksakan wujudnya grand design semacam itu di hadapan fakta bahwa umat Islamlah yang mayoritas di Indonesia dari segi agama. Dan jangan sampai, komposisi demografis umat Islam dipreteli dengan mensahkan agama-agama baru dan aliran kepercayaan demi memuluskan grand design di atas.
~ Kyai Kampung, disarikan dari wawancara dengan seorang yang paham inteligen strategis