Nusantarakini.com, Jakarta –
Wacana “radikalisme” yang identik dengan nilai-nilai keburukan. Inilah kesalahan berpikir kalau sudah dilembagakan akan menjadi kebenaran.
Kalau secara terminologi radikal artinya mendasar, dalam filsafat radikal artinya kritis, yang merupakan salah satu karakteristik filsafat, dalam pendidikan sering disebut Sekolahisme.
Jikalau dalam perspektif sosiologi, radikalisme disebabkan oleh ketimpangan, ketidakadilan, kemiskinan dan ketertinggalan.
Sikap radikalisme untuk menghadirkan, menegakkan, memperjuangkan dan mempertahankan kebenaran, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan lainnya yang distigma oleh penjajah Belanda dengan radikalisme dan inteloran.
Oleh karena itu, Indonesia Merdeka karena sikap radikalisme dan inteloran terhadap keburukan yang menjauhkan manusia dari Allah SWT. Hal ini yang pernah dilakukan para pahlawan sehingga Indonesia merdeka kurun waktu yang telah dijajah oleh penjajah selama 350 Tahun.
Menurut saya, sikap dan Inteloran boleh apabila sesuai dengan koridor nilai-nilai Islam, misalnya Amar Ma’ruf Nahir Mungkar, seperti adanya perang Badar dan perang Uhud.
Bahkan, sikap toleransi itu mempunyai keterbatasan dalam sejarah kehidupan manusia.
Tanggapan terhadap wacana radikalisme dan Inteloran merupakan cerminan dari mentalitas kita sendiri.
Sikap radikalisme bukan mentalitas budak dan jongos kepada keburukan dan kezaliman tetapi membebaskan, mencerahkan dan memerdekakan untuk mencapai manusia utama melawan kezaliman dan keburukan. [elR]
*Suparman, Panglima Qomat