Nusantarakini.com, Jakarta –
Politik itu ketika sudah bersentuhan dengan kekuasaan biasanya menjadi kehilangan “pijakan moralnya”. Politik yang digandengi oleh kerakusan kekuasaan inilah yang kemudian menjadi “jembatan” berbagai fitnah, bahkan intimidasi dan kekerasan.
Menjelang pilkada serentak di Indonesia kali ini luar biasa. Mulai dari berbagai intrik masing-masing calon untuk memenangkan pilkada, termasuk pembagian sembako gratis, beras, kecap, indomie, gula, bahkan uang tunai. Hingga kepada dibangunnya persepsi buruk tentang lawan tandingnya dengan berbagai cara, termasuk dengan fitnah-fitnah yang keji.
Satu hal yang perlu diingat bahwa sadar atau tidak, pada pilkada kali ini nuansa ideologi keagamaan cukup kental. Tentu tidak perlu saya sebutkan penyebabnya sehingga harus demikian. Karena memang saya secara pribadi yakin bahwa secara komunal di mana saja ada “solidaritas sosial” yang mempengaruhi pilihan orang. Sehingga wajar saja kalau kecenderungan memilih karena kesamaan agama, ras, dan lain-lain memang ada.
Pilkada DKI secara khusus dalam hal ini nampaknya lebih dominan. Bukan hanya karena kasus Al-Maidah 51. Tapi karena memang fenomena-fenomena komunal (kemasyarakatan) yang sensitif selama ini terbangun. Tentu disebabkan salah satunya karena sikap pribadi, maupun kebijakan publik yang ada. Keduanya memicu terjadinya polarisasi pilihan berdasarkan ideologi ini.
Yang terjadi kemudian adalah propaganda besar-besaran dilakukan untuk membangun persepsi buruk tentang kandidat tertentu sehingga calon pemilihnya dari kalangan kelompok komunitasnya bisa menjauh. Saya kira dalam dunia kekebasan hal ini sah-sah saja. Toh di negara-negara maju sekalipun melakukan hal sama, termasuk di Amerika.
Salah satu hal yang dibangun oleh tim kampanye tertentu adalah tuduhan jika calon gubernur Anies Baswedan adalah penganut Syiah. Tuduhan ini sesungguhnya bukan baru. Karena tuduhan itu juga ada ketika Anies memutuskan untuk memberikan dukungannya kepada calon Jokowi-JK saat itu.
Munculnya tuduhan kepada Anies sebagai Syiah, sebagaimana ketika itu, jelas didorong oleh kepentingan politis (pilkada). Beberapa polesan justifikasi pun diadakan antara lain kunjungan Anies Baswedan ke Iran ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan maraknya pusat-pusat studi Iran di beberapa universitas di Indonesia.
Justifikasi yang dipaksakan itu jelas tidak dapat diterima secara akal sehat. Pertama karena kunjungan seorang pejabat negara ke sebuah negara lain tidak harus diartikan sebagai kunjungan ideologi. Apakah kunjungan petinggi PDIP ke China, bahkan bertemu dengan petinggi Partai Komunis China dapat juga diartikan jika PDIP adalah penganut komunisme? Tentu tidak harus demikian.
Oleh karenanya kunjungan Anies ke Iran saat itu murni sebagai kunjungan seorang pejabat (menteri) yang melihat potensi kerjasama dalam pendidikan kedua negara. Bukan karena kepentingan ideologi syiah atau sunni.
Alasan kedua tuduhan Anies Baswedan sebagai Syiah adalah karena maraknya kajian Persia atau Iran, yang biasanya berselimutkan kajian “budaya persia” (persian culture) di beberapa universitas di Indonesia. Tuduhan ini jelas sangat tidak pada tempatnya, mengingat Anies Baswedan bukan Menteri Pendidikan Tinggi yang membawahi perguruan-perguruan tinggi. Justeru beliau adalah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah saja.
Maka menghubungkan Anies dengan maraknya kajian budaya persia di beberapa universitas sangat tidak bersambung (disconnected). Terjadi sebuah tuduhan yang kadang nampak ilmiah karena ditulis oleh oleh yang “merasa pintar”. Tapi sesungguhnya ada kedunguan besar karena terjadi “missing link” yang jelas. Kira-kira saya bisa menyebutnya sebagai penampakan keilmiahan yang “irrational” (tidak masuk akal). Dan itu dengan sendirinya bersifat paradoks.
Mungkin dari semua argumentasi yang dapat diajukan untuk mengkounter tuduhan itu adalah bahwa semua orang juga tahu jika Syiah Indonesia di bawah komando Jalaluddin Rachmat adalah bagian dari PDIP pendukung Ahok. Sehingga tidak masuk akal jika Jalaluddin Rachmat sebagai pimpinan Syiah di Indonesia mendukung lawan calon yang diusung oleh PDIP.
Lebih nyata lagi berkali-kali isteri Jalaluddin Rachmat membawa rombongan Syiah bertemu Ahok dan menyampaikan dukungannya. Bahkan beberapa waktu lalu Emilia, isteri sang Imam Kang Jalal, membawa seorang pemuka Syiah dari Iran dan bertemu Ahok. Sang Imam itu bahkan memberikan pujian selangit ke Ahok saat itu.
Kesimpulannya teman-teman Muslim se DKI, jangan ragu dengan ideologi calon gubernur Anies. Beliau hanya seorang Muslim yang cendekia, tidak pernah dan tidak penting menyebut dirinya dengan label apapun kecuali sebagai Muslim. Dan jika anda setuju dengan kata Muslim itu sangat cukup menjadi alasan untuk anda singkirkan keraguan dan mantapkan pilihan anda untuk memilih seorang calon gubernur Muslim yang bersih dan kapabel, cendekia, berwawasan luas dan global, serta santun dan bermoral.
Pilihlah gubernur yang sejalan, senyawa dan sehati dengan karakter dan wawasan nusantara. Jangan sampai nusantara yang kita banggakan itu kehilangan karakter dan jati dirinya karena pemimpinnya tidak peduli lagi dengan nilai-nilai luhurnya. Dan gubernur seperti itu pula yang akan tetap menjaga keutuhan bangunan NKRI di atas dasar Pancasila dan UUD 45.
Bismillah dan jangan pernah ragu!
New York 17 April 2017
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation (mc)