Nusantarakini.com, Jakarta –
Anda pernah dihina, tapi Anda tidak berbuat revolusioner, bukan? Anda mungkin diremehkan karena miskin, tapi hidup Anda tetap miskin, bukan? Itu karena efek penghinaan dan peremehan yang Anda alami tidak membuat Anda terpukul kuat sehingga memaksa Anda mengubah keadaan.
Tapi lain cerita di India. Di sana ada seorang suami dari sebuah kasta rendah berbuat suatu tindakan revolusioner.
Bapurao Tajne, itulah nama laki-laki hebat asal Kalambeshwar, Distrik Washim, Nagpur, India. Apa yang membuatnya hebat ialah bahwa dia menggali sebuah sumur, sendirian, di lokasi yang orang memandangnya tidak mungkin terdapat mata airnya. Dia menggali sumur, setelah sang istri, Sangita, mendapat hinaan saat meminta air kepada keluarga kaya raya di kampungnya.
Tajne merupakan seorang Dalit, sebuah kasta terendah di India. Pekerjaannya hanya buruh rendahan yang miskin. Seperti keluarga papa lain yang tak kuat membuat sumur, Tajne dan istrinya selalu minta air kepada orang kaya. Kasta di atasnya.
Di hari yang bersejarah itu, sang istri minta izin ke pemilik sumur, dari keluarga kaya raya, untuk mengambil air. Bukan air didapat, malah penghinaan.
“Aku tak mau menyebut pemilik sumur itu. Bagaimanapun aku merasa dia melecehkan kami karena kami miskin dan Dalit,” tutur Tajne, dikutip Dream dari laman Times of India, Jumat 13 Mei 2016.
Hancur. Itulah perasaan Tajne. Dia benar-benar merasa terhina. Hati kecilnya meraung, tak terima diperlakukan seperti itu. “Aku pulang hari itu, di bulan Maret, dan hampir menangis.”
“Aku memutuskan tak akan pernah lagi mengemis air kepada siapapun,” tambah dia. Tak mau lama-lama meratap, Tajne segera pergi ke kota terdekat, Malegaon, untuk membeli peralatan untuk menggali sumur.
Sebelumnya, Tajne tak pernah menggali sumur. Sebuah pekerjaan berat, yang biasanya dilakukan oleh 4 hingga 5 orang. Namun, tekadnya sudah mengeras. Bisa jadi lebih keras dari cadas dan bebatuan yang akan dia gali.
Penduduk desa melihatnya gila. Tapi Tajne terus menggali dan menggali. Saat pagi sebelum berangkat kerja, dia habiskan 4 jam untuk menggali. Selain itu, 2 jam setelah pulang kerja.
Dengan pekerjaan menggali sumur ini, dia bekerja 14 jam dalam sehari. Itu dia lakukan selama 40 hari, tanpa terputus. “Sulit untuk menjelaskan apa yang aku rasakan saat itu,” ujarnya.
“Aku hanya ingin memberikan air kepada semua penduduk, sehingga kami para Dalit tidak mengemis air dari kasta lain,” tambah dia.
Alat yang dia pakai sangat sederhana. Sudah begitu tak ada pengetahuan tentang hidrologi. Yang ada hanya semangat dan otot saja. Ditambah insting. Gali dan gali, tanpa henti.
Dan upaya itu akhirnya tidak sia-sia. Sumur yang dia gali itu akhirnya menyemburkan air. “Aku berdoa kepada Tuhan sebelum mulai menggali. Aku sangat bersyukur upayaku dikabulkan,” tutur Tajne.
Kini, setelah air muncul dari sumur galiannya, tak ada lagi hinaan. Yang ada pujian. Warga yang sebelumnya mencibir Tajne berbondong ke sumur itu. Mereka mengambil air hasil keringat Tajne yang mereka olok-olok sebelumnya. Kaum Dalit tak lagi bergantung pada air sumur milik keluarga kaya.
Sumur yang digali Tajne itu memiliki kedalaman 4,5 meter. Tajne ingin menggali 1,5 meter lagi agar lebih dalam agar sumur dengan lebar 2 meter itu bisa menampung air lebih banyak.
Kisah ini menunjukkan, hinaan kadang memberi dampak positif jika yang dihina dapat membuatnya menjadi tindakan positif. Lalu, kapan hinaan orang pada dirimu kamu ubah seperti yang dilakukan seorang kasta Dalit dari India ini? (sed)