Nusantarakini.com, Jakarta –
Akhir-akhir saya banyak mendapat pertanyaan di Amerika, baik dalam kapasitas saya sebagai seorang Muslim sekaligus sebagai orang Indonesia, perihal orang-orang Islam memilih pemimpin non Muslim. Pertanyaan ini pada umumnya dipicu oleh hiruk pikuk politik mutakhir di Jakarta. Dan lebih khusus lagi pasca pelecehan Al-Quran yang dilakukan oleh gubernur DKI di kepulauan seribu beberapa waktu lalu.
Saya sangat sadar bahwa pertanyaan atau isu memilih pemimpin non Muslim ini memiliki konsekwensi besar terhadap eksistensi dan keterlibatan komunitas Muslim dalam “public engagement” (partisipasi politik) khususnya di Amerika.
Ketakutan atau phobia yang semakin meninggi di Amerika akan mencoba menemukan justifikasinya. Salah satu di antaranya adalah bahwa memang benar Islam itu adalah agama yang egois dan diktatorisme. Agama yang ingin menang sendiri, ingin berkuasa, ingin memimpin tapi menolak menerima kepemimpinan orang lain.
Justifikasi itu yang akan dijadikan senjata untuk semakin menakut nakuti warga Amerika untuk menjauhi dan berhati-hati terhadap Islam.
Dan mungkin yang paling mereka akan lakukan adalah menghalangi dengan segala cara agar Muslim tidak diberikan kesempatan untuk memegang posisi publik.
Apapun itu, yang paling pasti adalah tuduhan jika Islam adalah agama diktator, agama yang memang selalu memaksakan kehendak. Agama yang ingin menang sendiri, untung sendiri, dan yang lain harus tunduk kepada keinginannya.
Mereka kemudian mengaitkan tuduhan-tuduhan itu dengan terjemahan kata Islam dengan “surrender” (menyerah). Terjemahan inilah yang paling populer di kalangan mereka. Seolah Islam menginginkan semua non Muslim untuk “surrender” (menyerah) kepada orang-orang Islam. Pemahaman terbalik (twisted) ini menjadi justifikasi untuk menakut-nakuti orang Amerika tentang Islam.
Istilah-istilah seperti dominasi (dominate) dan mengambil alih (take over) Amerika sangat populer di kalangan mereka. Ketidak inginan orang Islam memilih non Muslim tentu juga bermakna ketidak inginan mereka untuk dipimpin oleh pemerintahan non Muslim. Dan karenanya komunitas Muslim perlu dicurigai jika mereka memang punya niat untuk menggulingkan pemerintahan non Muslim yang sah.
Proses kesimpulan hukum
Salah satu kekeliruan sebagian orang adalah mengambil sebuah kesimpulan hukum adalah dengan mendasarkan semata kepada arti ayat atau hadits, atau bahkan mengambil langsung dari penafsiran ayat dan/atau hadits. Padahal sumber hukum (Mashodirul ahkam) bukanlah kesimpulan hukum itu sendiri.
Sejatinya sebuah kesimpulan hukum asal (di Al-Qur’an dan hadits) bisa berubah jika ada hal-hal terkait yang mengharuskannya berubah. Hal terkait yang kita maksudkan adalah merujuk kepada kaidah-kaidah dasar fiqh dalam Islam yang lebih dikenal dengan “Ushul Al-Fiqh).
Jangankan yang memang memungkinkan ada perbedaan arti dan penafsiran. Termasuk di dalamnya ayat tentang pemimpin. Bahkan ayat-ayat yang jelas bersifat mutlak (qath’i) dapat berubah hukum jika ada tuntutan sikon yang dapat merubahnya. Haramnya daging babi bisa berubah menjadi “dibenarkan” untuk dikonsumsi (bukan menjadi halal tapi dibenarkan), jika seseorang berhadapan dengan keadaan yang memaksanya. Keadaan yang jika tidak mengkonsumsinya maka hidupnya terancam.
Perubahan hukum itu terjadi bukan karena tafsiran haram berubah menjadi halal. Tapi karena ada kaedah hukum yang mengatakan: “keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang” (ad-dharurat tubihul mahzurat).
Oleh karenanya saya biasanya tidak langsung mengambil kesimpulan hukum sebelum merujuk kepada kaedah-kaedah dasar pengambilan hukum (Ushul) tadi. Termasuk dalam memahami ayat kepemimpinan salam Islam ini.
Perbedaan tafsir
Tentu perlu diakui bahwa dalam pemahaman atau penafsiran teks-teks agama, termasuk Islam, memang tidak selalu bersifat monolithic (tunggal) sifatnya. Dalam agama mana saja akan selalu ada perbedaan-perbedaan interpretasi atau pemahaman sumber-sumber keagamaan (religious sources).
Oleh karenanya wajar saja jika ada perbedaan dalam memahami ayat-ayat kepemimpinan. Terjemahan “wilayah” (wali, jama’ awliyaa) itu sendiri ada beberapa antara lain teman, pelindung, dan juga pemimpin. Maka sangat wajar jika ayat itu memiliki multi interpretasi di kalangan umat.
Oleh karenanya untuk mengambil sebuah kesimpulan hukum, haram atau tidak, agak berat untuk dipaksakan dengan sekedar pendekatan “tafsir” sematan. Diperlukan pendekatan-pendekatan fiqhi dengan memakai standar “dasar-dasar intinbat” hukum fiqh itu sendiri. Dasar-dasar intinbat yang kita maksud adalah “ushulul fiqh” yang menjadi acuan dalam mengambil sebuah kesimpulan hukum dalam Islam.
Memilih pemimpin dalam kacamata ushul fiqh
Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa dalam melakukan keputusan hukum, Islam selalu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain:
1) Merujuk kepada ahdaaf as-Syari’ah.
2) Saddu az-zaraai’ muqaddam alaa jalbil manaafi’.
3) Pertimbangan least evil (akhaffud dhorarain).
Jika ayat-ayat kepemimpinan itu dipahami berdasarkan ushul fiqh di atas, saya yakin setiap orang Islam akan dapat memahami kenapa dalam memilih pemimpin, persyaratan “iman” menjadi sebuah keharusan. Atau lebih tegasnya kenapa memilih pemimpin non Muslim bisa dikategorikan “haram”?.
Pertama: maqashidu As-Syariah
Dalam Islam hukum-hukum itu bertujuan untuk menjaga lima hal:
1. Hidup
2. Agama
3. Akal
4. Kehormatan
5. Kepemilikan
Kelima hal tersebut tentu terkait dan tidak terpisahkan. Sebagaimana menjaga agama itu penting, maka dengannya kehidupan manusia akan lebih terjaga. Sebab dengan agama hidup manusia menjadi sakral. Dan melanggar kesakralan hidup (membunuh) maka agama akan berfungsi dan mengembalikan kesakralan itu dengan sebuah hukum (qishos).
Jika dasar-dasar fiqhi (Ushul fiqh) ini kita tarik ke permasalahan memilih pemimpin maka tentu “outcome” (hasil atau ketetapan) hukumnya adalah sesuatu yang tidak diperselisihkan.
Karena sesunguhnya pemimpin dalam Islam itu adalah selain sebagai menejer kehidupan, juga sebagai “leadership” dalam menjaga kelima tujuan hukum tadi. Menjaga hidup, menjaga agama, menjaga akal, menjaga kehormatan, dan menjaga kepemilikan.
Pertanyaannya adalah bisakah seseorang yang tidak meyakini sesuatu untuk menjaganya? Bisakah seseorang yang tidak percaya dengan agama, lalu akan dijaga sebagaimana mestinya?
Silahkan dijawab sendiri dengan hati nurani!
Kedua: menjauhi keburukan lebih dikedepankan ketimbang meraih kebaikan.
Seringkali kita dengarkan perdebatan mengenai kelebihan-kelebihan dan juga kekurangan-kekurangan para calon. Calon non Muslim karena kekuatan media mampu membangun opini jika dia memiliki kemampuan-kemampuan lebih dari calon Muslim. Walaupun terkadang semua itu dibangun di atas bangunan opini yang jauh dari realita.
Tapi anggaplah opini itu memang benar jika memang calon non Muslim itu ada kelebihan-kelebihannya. Misalnya mampu membuat daerah atau negara itu lebih bersih, teratur, dan seterusnya. Tentu ini kelebih-kelebihan yang harus diakui dan dihargai.
Akan tetapi di balik dari kelebihan-kelebihan itu apakah ada jaminan bahwa kebijakan-kebijakannya akan berpihak kepada kebaikan yang lebih mendasar? Yaitu kebakan iman dan Islam yang menjadi dasar bagi kesuksesan hidup manusia, tidak saja di dunia. Tapi yang paling penting di Akhirat nanti.
Dilemanya adalah kepemimpinan dalam Islam itu adalah kepimimpinan yang utuh. Kepemimpinan yang tidak saja terkait dengan urusan fisik material kehidupan. Tapi juga terkait dengan hal-hal yang menjadi fondasi keselamatan dunia akhiratnya. Pemimpin dalam Islam adalah pemimpin yang berada di garda terdepan dalam ketakwaan (lil muttaqiina imama).
Pada tataran inilah jelas bahwa pemimpin non Muslim tidak mungkin akan menjadi “pemimpin ketakwaan” (imaman lil-muttaqin). Tidak mungkin mendukung atau berpihak kepada hal-hal yang tidak diyakininya. Sehingga akan sangat wajar jika kebijakan-kebijakan publiknya kelak akan menggilas kepentingan-kepentingan Islam yang tidak sejalan dengan keyakinannya.
Maka dari sudut pandang ini pula memilih pemimpin yang muslim juga menjadi sebuah keharusan.
Ketiga: the least evil
Ada kaedah populer di kalangan fuqaha dalam memutuskan sebuah hukum. Kaedah tersebut saya kira tidak saja populer di kalangan fuqaha (ahli agama). Tapi juga di kalangan awam, bahkan non Muslim. Bahkan boleh jadi kaedah ini menjadi sebuah “common sense” dalam pemikiran sehat manusia.
Bahwa untuk sampai kepada sebuah kesimpulan hukum, pertimbangan “akhaffu ad-dhorarain” (the least evil) menjadi sangat penting. Jika di hadapan kita ada kemungkinan dua kebajikan, atau sebaliknya, dua hal yang kita anggap kurang ideal, maka pertimbangan ini (mudhorat terkecil) didahulukan.
Pertimbangan politik saya kira memiliki kemungkinan adanya pertimbangan “baik buruknya” dari pilihan itu. Dan kemugkinan saja orang akan bingun menentukan karena keduanya mungkin saja baik. Atau keduanya boleh jadi tidak sesuai harapan. Di saat itulah kaedah ini berlaku. Pilih yang mudhoratnya lebih kecil.
Sebagimana disebutkan terdahulu bahwa memilih pemimpin itu bukan sekedar sosok yang akan memimpin dalam membangun dunia kita. Tapi tidak kalah pentingnya juga menjadi pelopor dalam ketakwaan. Lalu bagaimana mungkin non Muslim bisa menjadi pelopor dalam ketakwaan?
Intinya adalah interaksi yang akan terjadi antara pemimpin Dan yang terpimpin itu banyak menentukan masa depan yang lebih jauh. Masa depan ukhrawi kita. Bayangkan jika pemimpin itu non Muslim lalu kebijakan-kebijakan yang akan diambil itu tidak lagi sejalan dengan keyakinan kita. Apalah makna pembangunan gedung-gedung menjulang tinggi, mal-mal mewah, jalan-jalan tol, dan seterusnya, jika orang-orang yang menghuni gedung-gedung itu semakin jauh dari Tuhannya.
Maka bagaimanapun memilih pemimpin Muslim itu adalah yang terbaik, sekaligus yang paling sedikit mudhoratnya. Sebab pemimpin Muslim jika gagal dalam dunia ini, masih memungkinkan untuk menjadi wasilah kebajikan ukhrawi. Dan kalau Muslim masih memaksakan memilih non Muslim, maka dia akan ikut menanggung akibat dosa kolektif itu.
Aspek sosial dalam penafsiran
Memahami Al-Qur’an juga tidak mungkin terlepas dari sudut pandang sosial kemasyarakatan (sosiologi). Saya masih percaya bahwa dalam tatanan semua masyarakat ada “ikatan emosional” yang menjadi pengikat di antara anggotanya. Ikatan emosional ini yang biasa disebut sebagai “social solidarity” atau tenggang rasa sosial.
Seindividualistik bagaimanapun sebuah masyarakat, ikatan emosional di antara mereka pasti ada. Rasa ini akan selalu ada selama anggota masyarakat itu tidak mati rasa.
Oleh karenanya semua kelompok masyarakat akan merasa aman dengan kelompoknya. Baik itu secara ras dan etnik, kebangsaan, maupun budaya dan agamanya. Orang Kristen akan merasa dekat kepada sesama Kristen. Yahudi kepada sesama Yahudi. Demikian pula orang Islam harusnya memiliki kedekatan kepada sesama Muslim.
Dalam terminologi Islam ikatan emosional kolektif ini dikenal dengan “ukhuwah Islamiyah” (persaudaraan iman). Meminjam istilah Yahudi biasanya selain mereka yang beragama yahudi dikenal dengan “gentile”. Artinya perbedaan penyebutan ini mengindikasikan adanya kelainan perlakuan (treatment) antara sesama Yahudi dan non Yahudi.
Mungkin dari sudut pandang keindonesiaan saya ingin mengistilahkan ini sebagai “bonus” atau tambahan dari berbagai ikatan yang ada sebagai bangsa. Sebagai bangsa semua warga Indonesia terikat oleh ikatan nasionalisme kebangsaan yang didasarkan kepada Pancasila. Ketika kita sudah di luar negeri maka hubungan sebagai sesama Indonesia itu terasa dekat. Ada hubungan emosional kebangsaan.
Tapi ketika sudah berada dalam kesatuan kebangsaan itu kita diperhadapkan kepada keragaman partikularitas anggota bangsa yang satu itu. Secara kedaerahan misalnya orang-orang Bugis Makassar di Jakarta punya ikatan kedaerahan. Itulah yang diterjemahkan dalam bentuk organisasi KKSS.
Secara keagamaan juga demikian. Setiap kelompok keagamaan dalam tatanan kebangsaan itu punya ikatan partikular tadi. Maka saya tidal terkejut ketika Ahok misalnya dipilih oleh 80% lebih oleh umat kristen. Dan 79% lebih oleh ras China. Ini sangat wajar dari perspektif solidaritas sosial tadi.
Yang menjadi masalah adalah ketika kelompok masyarakat itu mati rasa. Rasa ikatan emosionalnya menjadi lumpuh. Maka mendukung atau memilih sesama itu tidak lagi dilihat penting.
Kesimpulan
Untuk sampai kepada kesimpulan hukum tentang haramnya memilih pemimpin Muslim memang tidak cukup hanya dengan landasan tafsir. Tapi diperlukan pendekatan lain, seperti pendekatan “ushul fiqh” dan juga pendekatan “sosiologi”.
Namun semua ini perlu disampaikan dengan argumen yang sehat. Salah satu di antaranya adalah bahwa kebebasan politik dan memilih adalah hak semua orang. Oleh karenanya biarkan setiap orang menentukan pilihannya. Dan jangan pula dibatasi orang dalam meletakkan kriteria pilihannya, termasuk di antaranya kriteri agama dan ukhuwah (solidaritas).
Sekali lagi biarlah semua orang bebas memilih dan hargai pilihan masing-masing. Kita hidup dalam dunia merdeka dan demokratis. Pada akhirnya kebebesan yang kita ambil, termasuk kebebasan memilih, adalah tanggung jawab tidak saja secara sosial. Tapi yang paling penting adalah tanggung jawab ukhrawi di hadapan mahkamah Ilahi kelak.
*Imam Shamsi Ali, Imam Masjid New York [mr]